Everlasting August

Tuesday, July 31, 2007

Jadi… saya harus pergi atau tidak?!

Hhh… masih saja dipusingkan dengan hal itu. Padahal waktu sudah menunjukkan lewat dari tengah hari, dan dalam hitungan dua jam ke depan, acara sudah akan dimulai. Kalau akhirnya memutuskan akan hadir, belum ada satupun yang saya lakukan untuk bersiap-siap. Mandi juga belum. Terakhir kali ya memang kemarin sore. Belum lagi mempersiapkan pakaian yang akan digunakan.

Akan menjadi lebih mudah jika keputusannya adalah untuk tidak menghadiri acara itu. Tinggal masuk ke kamar, membaringkan diri di atas tempat tidur, memeluk guling, lalu memejamkan mata.

Di saat-saat seperti ini, saya seringkali berharap memiliki sekumpulan teman-teman perempuan penyuka keriaan. Pasti mereka sudah ribut membujuk (baca: memaksa) untuk hadir, jadi saya tidak perlu lagi memikirkan hal seperti ini. Jawabannya menjadi jelas, saya pasti akan ikut dengan mereka. Karena menyukai acaranya, belum tentu. Merasa tidak enak dengan teman-teman, jelas itu alasan utamanya.

Sayangnya, bayangan itu pupus seketika saat menyadari bahwa apa yang terpikirkan barusan hanyalah sebuah harapan belaka.

Dan kenyataannya benar-benar menyakitkan.

Pertama, teman-teman saya bukanlah tipe penyuka keriaan. Apalagi model anak gaul yang selalu hype nan trendi pengikut segala kegiatan sebagaimana yang dilakukan oleh anak-anak seusia kami. Mereka (dan saya) memang menyenangi kegiatan yang memungkinkan kami berkumpul dengan teman-teman lain, tapi jelas bukan dengan berdiri di depan panggung, di tengah lapangan dengan sengatan terik matahari, dan berloncatan mengikuti irama musik yang dimainkan oleh siapapun yang sedang menampilkan aksinya di atas panggung sana. Seperti acara dua jam lagi ini.

Kenyataan pahit kedua, tidak ada satupun dari teman-teman yang saya maksudkan ini, berjenis kelamin perempuan.

So… what else should I expect from them?

Kriiinnnnggggg…

Aduuhh… siapa pula sih menelpon jam segini??

Kenapa juga harus ke telepon rumah?

“Ghe, lo jadi dateng gak?” tanya seseorang di seberang sana.

“Duh, belum tau nih… Males banget deh dateng ke acara begituan.”

“Kalo gue bilang pujaan hati lo dateng juga, gimana?”

Tiba-tiba dada saya berdegup kencang. Tidak sanggup memberikan jawaban apa-apa kepada si teman di seberang sana. Yang membuatnya kemudian tertawa terbahak-bahak.

Klik. Dan gagang telepon saya letakkan kembali ke tempatnya semula.

Siyal!

Kali ini saya ternyata benar-benar punya alasan untuk menghadiri acara itu. Darn! Sedang enak-enakan berbaring di sofa, sambil setengah berharap waktu akan berlalu begitu saja sampai tidak sadar bahwa acara di sana sudah dimulai dan saya masih di rumah, salah seorang teman malah membuat saya harus membalikkan keputusan itu. Tepatnya, memaksa saya untuk membuat keputusan.

Belum sampai satu jam, saya sudah menemui si penelpon tadi di tempat yang kami sepakati. Ia masih mesam-mesem saat melihat kemunculan saya. Membuat saya benar-benar malu, mengingat reaksi ternganga dan deg-degan yang tiba-tiba muncul saat ia memberitahukan kabar itu. Ah, peduli amat! Toh dia memang (salah satu) saksi mata kedekatan saya dan si pujaan hati ini.

Berjalan kaki menuju tempat dilangsungkannya acara, saya masih tidak mengajaknya berbicara. Ia memang tidak lagi menyinggung kejadian telepon yang tiba-tiba saya tutup tadi setelah mendengarnya tertawa. Tapi saya masih merasa tidak enak padanya. Malu sih, tepatnya. Teramat sangat. Dan ia juga malah membiarkan saya diam saja.

Tiba di tempat parkir, ternyata pengunjung sudah membludak. Saya tidak menyangka akan sebanyak ini. Bahkan sudah tidak ada lagi antrian menuju pintu masuk, karena semua sudah merangsek berebutan hendak melintasi pintu pagar. Beberapa orang pria yang usianya kira-kira sama dengan saya, kelihatannya tidak lagi sanggup menahan pengunjung yang mulai saling mendorong.

Yang bertugas memeriksa tiket pun tidak lagi berdiri di depan pintu pagar, melainkan sudah nangkring di atasnya. Membuat mereka harus setengah mati menjaga keseimbangan saat meraih tiket-tiket dari tangan pengunjung, sementara tempat mereka me-nangkring-kan diri terus saja bergoyang-goyang akibat dorongan dari pengunjung yang ingin masuk. Tak lama, dari sebuah pintu kecil yang tertutup dan letaknya tidak jauh dari pintu masuk, muncullah beberapa orang pria. Sepertinya bala bantuan sudah berhasil didatangkan.

Lalu mendadak, saya merasa pusing. Dan mulai berpikir untuk membalikkan badan lalu melangkahkan kaki kembali pulang.

Tampaknya niat itu sudah tercium oleh teman di samping saya. Ia segera menarik tangan saya dan bergabung ke dalam kerumunan pengunjung sebelum saya sempat bereaksi apa-apa.

Matilah saya!!

Saya benar-benar tidak tahan! Panas, gerah, pengap, bau matahari bercampur dengan keringat. Mana didorong-dorong pula dari belakang! Kenapa sih semuanya harus dorong-dorongan begini?! Kalau antri toh juga semuanya malah bisa melewati pintu pagar. Belum lagi suara teriakan yang sepertinya hampir meledakkan gendang telinga. Harus pakai teriak-teriak juga memanggil si mas yang nangkring di atas itu ya?! Kalau semuanya bisa antri ‘kan dia juga tidak akan bingung mengambil tiketnya?!

Rasanya tidak ada lagi yang tampak oleh mata saya. Telinga, apa lagi! Terlalu banyak stimulus yang berebutan masuk ke panca indera, membuat saya bahkan tidak bisa menangkap satu pun dari mereka. Ingin pingsan saja. Tapi sayangnya kesadaran masih bekerja, dalam kadar penuh pula! Kalau saja si teman nan kompor tadi tidak menggenggam tangan saya erat-erat dan terus berjuang membawa kami berdua melewati kerumunan itu, bisa dipastikan bahwa saya pasti sudah menjadi pepes yang meleleh.

Begitu berhasil melintasi pintu pagar, beserta himpitan dan dorongan dan teriakan yang memekakkan telinga tentu saja, saya langsung menarik tangan teman kompor saya itu untuk berhenti sejenak. Lalu menghirup dalam-dalam udara yang ada di sekitar saya. Mengambil tisu di saku celana untuk menyerap tetesan keringat, yang sudah berubah menjadi guyuran.

Dari tempat kami berdiri, tampak beberapa orang teman lain di salah satu sudut keramaian. Teman-teman yang sudah diduga memang akan datang. Kami pun segera beringsut menuju tempat mereka berkumpul, sebelum lebih lama lagi teriakan mereka terdengar. Masih bagus kalau yang diteriakkan adalah AGATHA. Nyatanya mereka malah berteriak TUGHE (akronim dari kuTU GHEde) untuk memanggil saya. Kalau yang ikut mendengar keliru mengartikan salah satu hurufnya saja, artinya bisa sangat berbeda ‘kan (*hayooo sudah dibilang jangan mikir yang enggak-enggak!)?!

Baru beberapa saat menapakkan kaki di dekat mereka, seorang teman lain juga menghampiri. Baru saja kembali setelah beberapa saat berkeliling, tampaknya. Dan ia membawakan kabar teranyar, buat saya.

“Ghe, tuh… lagi di bawah sana, dia!” serunya tanpa basa-basi.

Kontan saya langsung melayangkan pandangan ke tengah lapangan. Memicingkan mata, mencoba menangkap sosok yang dimaksudkannya itu. Tapi jelas percuma. Mana mungkin bisa melihat sang pujaan hati dari sini?! Di tengah lapangan teramat sangat banyak orang berdiri menyemut menghadap ke panggung. Yang tampak dari sini hanyalah punggung dan bagian belakang tubuh orang-orang itu.

Sesaat dari sudut mata, saya melihat beberapa orang teman lain mulai tertawa-tawa kecil. Barulah saya menyadari sesuatu. Teman yang memberitahukan keberadaan pujaan hati saya itu bukanlah salah satu dari teman-teman dekat saya. Jadi artinya… sekarang semua orang sudah tahu?!

Dan semakin jelaslah semuanya saat sang pujaan hati tiba-tiba saja muncul di hadapan saya. Teman-teman langsung melangkahkan kaki sedikit menjauh, seolah memberikan tempat bagi pria ini. Masih dengan senyum dan tatapan mereka yang membuat saya jengkel, kesal, sekaligus malu.

Entah tidak tahu atau memang tidak mempedulikan reaksi teman-teman yang berlebihan, sang pujaan hati ini terus melangkahkan kaki mendekati saya. Memperlihatkan sandal jepitnya yang terputus akibat terinjak-injak orang-orang yang asik berloncatan di tengah lapangan. Ia pun menyarankan agar saya tidak ke sana.

Yah… siapa juga yang berminat ke sana kalau yang dicari sudah ada di depan mata?!

“Emang keliatan /rif-nya kalo nonton dari sini?” tanyanya tiba-tiba.

“Ya… enggak juga sih…” Jelas ‘kan, saya tidak mungkin mengatakan bahwa saya sebenarnya tidak terlalu peduli apakah saya bisa melihat aksi panggung Andy dan teman-temannya itu.

“Hahaha… dasar! Ini ‘kan ada kursi nganggur, kenapa gak dipake?”

“Hah?” Saya menatap dua buah kursi yang dijejer bersebelahan dengan sandarannya menempel di dinding. Lalu menatapnya. Dipakai bagaimana maksudnya?

“Yaelah! Takut? Ayo sini naik!”

Ia pun mengulurkan tangannya pada saya, setelah terlebih dulu berhasil menaiki salah satunya. Lagi-lagi teman-teman melengos, berpura-pura tidak melihat adegan menegangkan itu. Saya pun meraih tangannya, lalu menapaki kursi yang satu lagi.

Memang sih, dari atas sini band yang sedang tampil di panggung menjadi lebih terlihat. Tapi saya toh memang tidak terlalu berminat menyaksikan penampilan mereka. Pria di dekat saya ini jelas lebih menarik untuk dilihat, walaupun menjadi sulit menatapnya karena ia berdiri di belakang saya. Dan jelas lebih sulit lagi melihat bagaimana reaksi teman-teman.

Mereka pasti sedang berbisik-bisik sambil cengar-cengir melihat pemandangan di depan mereka ini. Melihat saya yang menjadi bodoh berpura-pura menikmati pertunjukan, padahal sebenarnya sedang deg-degan setengah mati. Melihat saya yang begitu salting karena benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat seperti ini. Melihat badan saya yang menjadi kaku seketika…

…saat tiba-tiba saja sepasang tangan sudah melingkari pinggang saya.

Oh my GOD!!! What the hell is he doing???

Tidak lagi membuat degupan kencang di dada saya, ia malahan berhasil membuatnya berhenti berdetak. Membuat saya tiba-tiba tidak bisa lagi memikirkan apa yang tengah saya lakukan. Membuat saya ingin sekali menghilang tertelan bumi, tetapi di saat yang sama juga tidak ingin pergi darinya. Membuat saya setengah berharap bahwa ini hanyalah sebuah mimpi, namun juga tidak rela jika apa yang terjadi bukanlah sebuah kenyataan.

Membuat saya benar-benar mencoba untuk tetap tersadar, saat ia mempererat dekapannya. Sampai bisa merasakan hembusan nafasnya menyentuh helaian rambut saya.

Lalu berhasil membuat saya semakin tidak berdaya saat merasakan sebuah kecupan mendarat di kepala saya.

Geez… Mind if I say that I… like it? A lot?!

It’s going to be another August.
Just like those letters that had been sent to my beloved Harry
just like the old times that we ever had…
just like the story that we had on our own…
as always.

Happy celebrating your 25th, Dear…



taken from my personal journal
December 10, 2005
in memoriam of Dwi Harry Wibowo



Hilang seketika.

Sesuatu yang kupikir tidak pernah ada.

Sesuatu yang kuyakini tidak terasa.

Kehilangannya telah membawa kembali seutuh kesadaranku padanya.

Setiap detik rasa kemudian membubung, tinggi...

perlahan habis bersama lalu angin.


Tapak tangan ini masih merasakannya,

juga hati ini,

dan seluruh jiwa ini.

Separuh hidup yang tidak pernah hilang, musnah.

Hanya meninggalkan lubang hitam, dalam, gelap, tempat setiap keindahan pernah singgah.

Terus terjaga, seperti adanya.

to my dear Harry...
for ever being the part of me
thank you

website page counter

ADA 14 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

waw, diceritakan dengan keren. and what's with evelasting august? am I missing something here? O_o

July 31, 2007 3:08 PM  
» Anonymous Anonymous:

suit..suit... :P

July 31, 2007 8:26 PM  
» Blogger rymnz:

sebentar...
terlalu banyak puzzle neh..
kaseh clue yg laen mungkin .. :D ..

August 01, 2007 9:02 AM  
» Blogger L. Pralangga:

Neng,

Too much hard work makes Agatha a dull-personality .. so go out and grab some festivities.. :-)

OOT: Neng, text me your postal address again to 021-92804583, need to send you some stuff. Urgent.

August 01, 2007 9:30 AM  
» Anonymous Anonymous:

SEMUANYAH!:
being puzzled already? then read this one first :-)


anima:
makasyih...

ndoro kakung:
jempol atau telunjuk? ;-)

memed:
tuh udah ada clue-nya ;-)

si akang kampred:
hahaha... justru ini sedang merayakan kesenangan dan kegembiraan lho, kang! :D
already send an sms over there.

August 01, 2007 1:56 PM  
» Anonymous Anonymous:

whuaa.. romantis amat...
salam kenal. nice 2 meet u :)

August 03, 2007 5:00 AM  
» Anonymous Anonymous:

toge maksudnya? *kabuuuurrrr*..sedang berbunga-bunga? :">

August 03, 2007 8:46 AM  
» Anonymous Anonymous:

kw:
nice to have you here too :-)

pakDok:
yaaaa dia sih disebuuuuttt!
...eh t*ge-nya lho ya yang disebut, bukan berbunga2nya :P

August 03, 2007 3:28 PM  
» Anonymous Anonymous:

ooohhh TUGHE itu akronim dari kuTU GHEde toh, kirain dari TUkul GHEde

btw nemplok dimana (depan /belakang, atas/bawah) dan seGEDE apa ?
Kok bisa keliatan gitu mbak... =))

August 06, 2007 1:30 PM  
» Anonymous Anonymous:

japro:
nah, kalo menurut dirimu, nemplok di mana coba?! secara keliyatan kan, berarti harusnya engkau pula salah satu pihak yang bisa meliyat ;D

August 06, 2007 4:07 PM  
» Anonymous Anonymous:

japro lagi:
hahaha baru mudeng saya!
iya sih, bisa juga jadi TUkhul GEdhe ;D

August 06, 2007 4:09 PM  
» Anonymous Anonymous:

wah mbak, (dulu) waktu pertama kali ketemu panjenengan saya malah gak bisa ngeliat KUTUnya.....
(sing ketok malah rikma ijo diberukuti kelambi flanel)

kalo sekarang, waaah gak berani nyebutnya... :D
(ora kroso to maringendi tumo-ne mbak? :p )

August 06, 2007 4:40 PM  
» Anonymous Anonymous:

japro:
rambut hijau dan kemeja flanel yang ini maksudnya kali??

emang sekarang kutunya di mana, om? ;D

August 06, 2007 4:51 PM  
» Anonymous Anonymous:

diminta nunjukin kutunya.... *gluck
terus ditangkepin ya mbak? *gluck

waaaah jadi deg-degan....

August 07, 2007 1:16 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS