Friday, June 08, 2007
Kenapa sakit perut seperti ini muncul di saat yang benar-benar tidak tepat? Perjalanan yang masih harus ditempuh akan menghabiskan waktu sekitar satu jam hingga saya dan si hitam tiba di tempat tujuan. Paling cepat empat puluh lima menit. Sementara mules-nya perut sudah menggedor-gedor seakan memaksa agar isinya dikeluarkan.
Haduh... bagaimana ini?
Saya masih harus menemui Ibu Dokter.
Menuruti ‘panggilan toilet’ di rumah sakit rasanya tidak disarankan. Begitu banyak pengguna yang juga mengantri agar dapat memenuhi panggilan yang sama. Jika saya menggunakan salah satu bilik saja, tinggal tiga lainnya yang tersisa. Membiarkan mereka mengantri di depan pintu bilik saya, padahal si penghuni ini baru akan keluar dalam waktu beberapa menit kemudian. Ditambah lagi efek dramatis aroma tidak menyenangkan yang tercium ketika mereka berdiri dan mengantri.
Belum lagi ritual mencarikan tempat parkir bagi si hitam yang tentunya juga akan memakan waktu hampir setengah waktu perjalanan sampai ke rumah sakit. Secara si Ibu Dokter berpraktek pada jam yang bersamaan dengan jam besuk bagi pasien rawat inap. Bisa dibayangkan seperti apa kondisi tempat parkir di sana.
Menunda pemenuhan panggilan hingga tiba kembali ke rumah? Yang itu jelas pilihan paling akhir yang akan diambil. Aarrgghhh gawat!!! Tunggu... tunggu... Ooohhh... saya tahu! Okay, si hitam saya titipkan dahulu di tempat parkir sebuah pusat keramaian yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Di sana pun saya bisa menuruti ‘panggilan toilet’ tanpa khawatir ada orang lain yang mengantri di depan pintu dan menunggu saya selesai menggunakan bilik itu. Setelah urusan selesai, saya bisa langsung meluncur ke rumah sakit. Bagaimana caranya jika si hitam dititipkan? Yah sudahlah... We’ll see... Benar saja! Langsung terasa plong begitu saya melangkahkan kaki keluar dari bilik kamar mandi. Baiklah, sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya saya akan menemui Ibu Dokter dari sini. Ojek? Rasanya tidak. Awan gelap di atas tampaknya mulai tidak bersahabat. Memang ada payung Barbie di dalam backpack saya, tapi jelas tidak akan mampu memuat kami berdua (baca: saya dan backpack). Dalam kondisi normalnya hujan saja, saya masih harus merelakan sebagian backpack tetap terguyur air. Lalu kali ini kami ada di atas sepeda motor? Pass it... Taksi mungkin memang pilihan yang cukup tepat. Saya akan mencari yang bertuliskan ‘tarif lama’ namun tetap dari perusahaan yang terpercaya. Yang itu, bukan. Nama perusahaannya sangat ternama, tapi tarifnya melaju bak kuda. Yang barusan itu, sama saja. Yang di belakang sana, tarif lama sih memang. Tapi nama yang terpampang di pintunya baru saya dengar sekarang ini. Yang sedang melaju dengan lambat itu? Mmm... tarif murah dengan nama yang sangat terkenal. Hanya saja jumlah rodanya adalah tiga. Ya sudah... tidak ada salahnya. Dengan menggunakan bajaj, sepertinya saya bisa tiba di rumah sakit lebih cepat. Selain karena ukurannya lebih kecil dibandingkan kendaraan beroda empat, kemampuan si abang bajaj untuk menemukan jalan-jalan tikus dan manuvernya yang hebat dalam menyetir tidak perlu diragukan lagi. Tanpa perlu menawar lagi, saya menyebutkan rumah sakit sebagai tujuan kepergian saya. Saya pun melangkahkan kaki ke dalam bajaj. Dan barulah ingat sesuatu. Ini dia! Getaran hebat yang ditimbulkan kendaraan ini memang tiada duanya! Bisingnya suara yang diakibatkan oleh mesinnya masih lebih bisa ditolerir, sekalipun telinga ini kadang terlalu sensitif dengan berbagai bentuk suara. Dampaknya masih bisa diredakan dengan menutup telinga, atau yaa... diacuhkan saja pun tidak menjadi masalah. Tapi getarannya? Menimbulkan guncangan yang lebih hebat lagi pada salah satu eh... maksud saya salah dua bagian tubuh saya (*hush! Jangan ketawa!). Jika berkali-kali seluruh tubuh saya saja sudah kehilangan landasan untuk duduk seiring dengan manuver ala pembalap F1 yang dilakukan oleh abang bajaj, bagian tubuh lain yang landasannya tidak sekokoh tempat duduk si abang tentunya semakin kehilangan ‘pegangan’. Eratnya genggaman tangan pada besi pembatas tempat duduk saya dan si abang pun tidak banyak membantu. Demikian pula halnya ketika genggaman dipindahkan pada bangku yang tengah saya duduki. Teriakan yang diarahkan ke dalam gua dan mengakibatkan gema pun rasanya tidak bisa menyaingi echo yang satu ini. Bagaimana mungkin saya bisa mengacuhkannya? Backpack rasanya terlalu besar dan tebal untuk dipeluk. Keras pula! Tapi mau bagaimana lagi? Saya toh tetap harus meredakan guncangan yang belum juga kunjung berhenti. Pilihannya jelas, ‘kan?! Lalu melihat nama rumah sakit terpampang di sisi jalan menjadi demikian melegakan. Apalagi ketika si abang menghentikan bajajnya dan saya melangkahkan kaki turun dari kendaraannya. Perjalanan penuh dengan cobaan ini pun berakhir sudah. Dan sambil berharap bahwa efek guncang ini segera berhenti sebelum saya mengunjungi Ibu Dokter. Bukannya apa-apa. Perjalanan menjemput si hitam rasanya akan kembali saya tempuh menggunakan kendaraan beroda tiga yang sama. Kalau dampaknya belum juga berakhir, saya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelah turun dari bajaj untuk menemui si hitam nanti (*dan kamu tidak perlu berbaik hati membantu saya untuk membayangkannya kok!) *sudah tahu ‘kan kenapa saya meletakkan kendaraan beroda tiga itu di urutan terakhir sarana transportasi yang mungkin saya gunakan?!
ADA 20 KOMENTAR:
wedew, kaya mo bikin film 17+ aja :D
ditunggu, non!
wakakakakak ... udah sempet baca. pertanyaannya kok ya bisa supir bajajnya tau?
lantas rasa apa yang cocok, strawberry, vanilla atau mocca?
anima:
bukan 'kaya' kok, tapi 'memang' ;D
mbilung:
rasa caramel tampaknya lebih pas, sir ;-)
mendingan mana mbak, bergetar di bajaj, atau bergetar di hati???
ama itu daerah selatan ya?ok kyny familiar... hehe
gue sampe baca ulang tuk ikut membayangkan getarannnya :D:D:D.. *cring jadi backpack!
mau deh jadi payung dalam backpacknya. hehehe :)
aku tau.. aku tau.. aku tau jadi apa bentuk akhirnya, jadi **lk sh*k* kan? ehm ehm...
betewe, alur ceritanya selalu komplit seperti ini deh, kagum jdnya. ikut jurnalistik jeng?
"... Menimbulkan guncangan yang lebih hebat lagi pada salah satu eh... maksud saya salah dua bagian tubuh saya ... " .. iki maksudnya kuping kan?
iin:
kalok hatinya bergetar di bajaj gimana?!
memed:
halah... masa iya harus dibaca ulang?! ;-)
rama:
hehehe gak mau kalah sekedar jadi backpack ya?! ;D
anyway, makasih...
ndoro kakung:
sejenis sih, ndoro... bedanya kalok kuping kan mendengar yang bergetar, lha kalok yang ini... bergetar biar terdengar *lho apa sih???
maap kemarin udah ke sini, baca komen2nya malah baru mudeng. Payah ya..KUping kan yak :D.
waaah.... mungkin memang 'keDUA bagian tubuh' tersebut membutuhkan penyangga tambahan non....
ada yang bersedia .....????? ;)
Tampaknya Anda naik helikopter tanpa dinding kabin, Bu eh Mbak Dos.
Salam untuk si Hitam. Kalo sudah bosan, hibahkan ke saya saja. :D
pakDok:
iya... kuping! :D
japro:
sok pake nawar2in! emang situ gak berminat? hehehehe ;D
pakdhe:
waahh belum bisa membandingkan... lha wong naik helikopter selalu tanpa dinding kabin...
yang mau dihibahkan yang mana? helikopter? lha ya monggo ;D
ah non nanti kalo saya berminat beneran, situ malah tambah tergetar hebat lagi..... :p
japro:
ooohhh maap kalok gitu... saya ndak tau kalo situ abang bajaj juga...
nae bajaj bener2 mrupakan siksaan
bu, udah lama perasaan ga update :D
bu guru:
stuju! siksaan yang hanya dimengerti oleh kita2 ini :D
anima:
duuhhh... gak di sini, gak di multiply, mengunjungi saya terus! sedemikiyan tak sabarnya ya?! ;D
pas mbaca blognya masih senyam-senyum...
giliran mbaca komen2nya, baru ngakak-ngikik...
gyaheuaheuhuaehuaehae...
gokil kabeh...
yah, ternyata pekerjaan menjadi tukang bajaj ada hikmahnya lah...
amien!
titip buat om Timo,
gimana kalau sebelum narik hari ini, sampeyan mendesign kaca spion bajaj yang memungkinkan melihat 'reaksi' penumpang di belakang....
timo:
ngakak-ngikik mbayangin maksudnya?! apa yang dibayangin moooo?? ;D
japro:
nah, tuh denger eh baca mo! jadi ntar lo gak kaget kalo tiba2 melihat gue melambaikan tangan memanggil lo dan bajaj lo ;D
*ini sebenernya buat timo atau buat bapak japro sih?