Monday, July 16, 2007
Siapa yang berkunjung pagi-pagi begini?
Tukang koran? Jelas bukan. Ini malahan sudah terlalu siang baginya untuk mengantar koran.
Si Bibi? Dia sudah ada di dapur bersama Ibu sedari tadi.
Moncil?
Mungkin juga…
Ah, tapi tidak. Ini ‘kan hari pertamanya masuk sekolah, mana mungkin itu dia.
“Tante Apiii…”
Naahhh! Ternyata memang dia.
Pakai seragam baru! Kemeja putih bersih, dirangkap dengan terusan tanpa lengan berwarna biru. Tak lupa dasi berwarna senada dengan karet melingkari kerah kemeja, sementara dasinya sendiri terselip ke dalam terusannya.
Kontan sendok langsung saya letakkan kembali ke atas piring. Belum sempat melepas sepatu dan kaos kaki, ia langsung menghampiri saya. “Aku tadi sekolah. Mama sama Aji (baca: Ayah, dalam bahasa Bali) nunggu di luar. Aku nggak nangis dong… Tadi ada temenku yang nangis, minta Mama sama Papanya, tapi aku enggak. Terus temenku itu dimarahin sama Bu Guru. Ada satu lagi temenku yang nakal sekali. Gendut badannya…” Seolah tidak peduli bahwa lawan bicaranya belum dapat menyahut dan menanggapi karena mulut yang masih penuh terisi, ia tak henti-hentinya nyerocos. Menceritakan teman-teman baru yang ditemuinya, teman yang nakal, teman yang menangis, teman yang menyanyi bersama dengannya, teman yang ini, dan teman yang itu. Setelah lelah menceritakan kisah hari pertama sekolahnya kepada saya, ia beralih kepada ‘Nti-nya yang sudah beranjak dari dapur. Ditariknya Ibu ke dalam kamar beliau, duduk berdua di atas tempat tidur lalu kembali mengisahkan hal yang sama seperti yang sudah diceritakannya tadi. Usai giliran Ibu, kali ini Moncil meminta beliau menelponkan ‘Nkung. Dan untuk yang ketiga kalinya, ia menceritakan lagi bagaimana ia meninggalkan Mama dan Aji di luar kelas tanpa menangis, tentang teman yang nakal, teman yang duduk sebangku dengannya, dan semua teman yang diingatnya. Membuat ‘Nkung harus meninggalkan sejenak pekerjaan dan rekan kerja yang tengah ditemuinya. Ibu hanya tersenyum-senyum saja melihat cucunya ini mengerjai sang suami. Yah… hari ini memang benar-benar hari pertama bagi Moncil mengenal sekolah, dalam arti yang sebenarnya. Bukan sejenis playgroup yang pernah diikuti sebelumnya. Di playgroup ia hanya masuk tiga kali dalam seminggu, dan kegiatan dimulai pada jam sembilan pagi. Sedangkan sekarang ia harus masuk dari hari Senin sampai Sabtu, di mana jam tujuh setiap pagi kegiatan sudah dimulai. Jelas tidak mudah bagi Moncil yang seringkali baru naik ke tempat tidur menjelang tengah malam dan bangun pada jam delapan pagi. Kecuali jika sudah ada janji dengan ‘Nti untuk bepergian. Tapi ternyata pagi ini ia malah sudah terjaga dari jam empat dini hari. Katanya sih karena listrik di rumahnya padam, membuatnya kegerahan di kala tidur. Tapi toh setelah listrik berfungsi kembali seperti semula, ia tidak lagi melanjutkan tidurnya. Malahan merusuhi Mama dan Aji untuk menonton Playhouse Disney. Sementara saya… uhmmm… saya bahkan tidak bisa mengingat bagaimana jalannya hari pertama saat mengenakan seragam yang sama seperti yang dikenakan Moncil. Yang saya ingat, sekolah menjadi tempat yang saya benci namun sekaligus ingin saya kunjungi. Alasan utama saya membenci sekolah, jelas, karena saya diharuskan bangun pagi karenanya. Jam tujuh setiap pagi sudah harus memulai pelajaran. Sehingga paling lambat satu jam sebelumnya harus sudah terjaga dari tidur. Alhasil, rutinitas pertengkaran dengan Ibu atau kakak-kakak pun pasti terjadi hampir setiap pagi. Siapapun yang mendapat giliran untuk membangunkan, pasti juga akan mengalami pertengkaran dengan saya. Saya juga tidak bisa menemukan hari-hari di mana saya datang ke sekolah dengan sebuah senyuman (mudah-mudahan sih karena saya lupa akan kejadian di mana saya tersenyum, dan bukannya karena memang saya tidak pernah tersenyum). Kalau toh akhirnya bisa tersenyum, sepertinya itu baru akan terjadi di tengah berlangsungnya pelajaran. Alasan lain yang membuat saya tidak suka hadir di sekolah, adalah karena kegiatannya membosankan (*kecil-kecil udah keliyatan sombongnya ya?!). Tapi sungguh. Memasuki ruang kelas, kami akan duduk di bangku masing-masing. Mengucapkan, “Selamat pagi, Bu… Selamat pagi, teman-teman…” di awal hari, yang kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu tentang kerapihan posisi duduk yang diikuti dengan gerakan tangan. Lalu berdoalah kami. Usai berdoa, kami akan mulai menyanyikan beberapa lagu bersama-sama sambil bertepuk tangan dan menggerakkan anggota badan sesuai dengan syair lagu tersebut. Lagu yang paling saya ingat adalah ‘Kakak Mia,’ atau apalah itu judul yang sesungguhnya. Kenapa juga sirih yang harus dijual? Bukankah sirih itu hanya dikonsumsi oleh orang-orang sepuh seperti Mbah Putri? Apa iya ada teman-teman yang akan membeli sirih? Lalu siapa pula Kakak Mia ini? Kenapa bukan Kakak Agatha atau Kakak-kakak yang lain? Untunglah permainan Kakak Mia tidak dilakukan setiap hari, sehingga masih ada alasan buat saya untuk tetap mengikuti pelajaran. Menggambar, menggunting, melipat, atau kerajinan tangan lain, misalnya. Pelajaran-pelajaran yang tidak akan pernah saya lewatkan, bahkan juga tidak mengijinkan teman-teman atau siapapun mengganggu saat saya tengah mengikutinya. Pelajaran yang juga menjadi alasan kenapa saya tetap menjadi pengunjung sekolah. Selama satu tahun mengenakan kemeja putih dan terusan biru, satu hal yang saya ingat persis. Beberapa kali Ibu harus datang ke sekolah. Bukan untuk mengantar atau menjemput anaknya ini, tetapi karena mendapat panggilan dari Ibu Guru atau Kepala Sekolah. Karena saya tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan Ibu Guru saat pelajaran berlangsung. Atau karena anaknya ini mengejar-ngejar teman pria sampai mengelilingi ruang kelas karena mengganggu saat pelajaran menggunting dan melipat. Atau karena membuat seorang teman lain menangis setelah bertengkar di taman sekolah. Atau karena Ibu Kepala Sekolah hanya bermaksud menawari saya untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi atau langsung saja melanjutkan ke Sekolah Dasar. Untuk yang terakhir ini, Ibu hanya tersenyum. Membiarkan saya memberikan jawaban kepada Ibu Kepala Sekolah, karena sepertinya jawaban saya memang sudah diduga oleh Ibu. Sekarang… saya jadi merasa bersalah saat tadi Ibu tiba-tiba berpesan kepada Mama dan Aji agar tidak terkejut menemukan apa yang terjadi saat anak mereka bersekolah nanti. Kalau-kalau si Moncil akan mengakibatkan mereka berdua cukup sering berkunjung ke sekolah sekalipun tidak ada acara yang mengharuskan para orangtua berkumpul di sekolah. “Bukannya dia sama aja kaya’ Tantenya ya?!” SIYAL! Kakak Mia… Kakak Mia… minta anak barang seorang
Kalau dapat… kalau dapat… bolehlah ia menjual sirih
Anak yang mana akan kau pilih?
Anak yang mana akan kau pilih?
Itulah dia yang aku pilih
Akan kusuruh jualan sirih
Sirih… sirih… siapa beli?
Sirih… sirih… siapa beli?
Sampai sekarang saya masih belum mengerti, mengapa setiap permainan ‘jual-beli sirih’ itu dilakukan, saya selalu terpilih oleh si ‘Kakak Mia’ sebagai si penjual sirih. Sebalnya, karena sebagai penjual, yang dilakukan hanyalah berpura-pura membawa jinjingan dan berjalan berputar mengelilingi teman-teman sambil menjajakan sirih.
ADA 12 KOMENTAR:
kakak mia beranak banyak, semua dikasihkan orang, karena anaknya "bandel" semua?
Boleh kok diganti jadi "Tante Api, minta anak barang seorang..."
Aha, lama saya tak mendengar lagu ini. Lamaaaa sekali.
masa-masa seperti itu memang pas dijalanin menyebalkan, tapi kalo udah lewat dikangenin. tuh kan, jadi pengen mampir ke sma lagi..
mbilung:
untung saya bukan anaknya kakak mia ;D
pakdhe:
tapi saya ndak mau beranak banyak, apalagi sampe dikasihkan ke orang
anima:
ooohhh dirimu baru menyanyikan kakak mia semasa sma tho?!
cerpenis nggih, mbak? (kok ngakunya dosen?!?)
blonty:
lho iya... dosen matakuliah "mbikin cerpen" ;D
apa tumbuhku bensin berapa dong
kuda sebra adalah komunikasi apa
sekarang ya
disebut namamu
salah itu
actif
siapa itu
punya andi
seram ya
coklat
dwi @ sekarang ya
agi @ fadilah sini dulu rahma
ya sekarang
yua isiin ]
fadilah hazilah
fadimawaer
buat kue
artinya apa
cake
bikin cerpen
ya sayang