Benci-Benci-Benci Tapi... Cinta?!

Sunday, July 22, 2007

Menemukan sebuah posting-an salah seorang teman, saya langsung senyum-senyum sendiri. Belum sempat membaca isinya, padahal. Tapi dari judulnya saja sudah cukup membuat saya tertohok: Mengapa Perempuan Ngga Akan Pernah Punya Cukup SEPATU.

Oke, sayalah salah satunya.

Dan kalau bukan karena membaca judul itu, saya bahkan tidak menyadari bahwa saya memang salah satu perempuan yang dimaksudkan di sana. Coba saja buka lemari sepatu di dalam kamar saya, dan berbagai jenis sepatu (dan sandal, tentu saja!) akan ditemukan di sana. Mulai dari sepatu keds, pumps, pointy, peep-toe, flat, ballerina, wedge-heels, maupun towering-heels. Belum lagi flat sandals kegemaran saya, yang entah apa saja jenisnya.

SI KRIWIL seringkali gerah setiap kali kami berjalan-jalan, saya memperlambat langkah saat mulai melintasi rak yang penuh dengan jajaran alas kaki. Apalagi kalau kakaknya ini tiba-tiba berhenti dan mulai meraih salah satu di antaranya. Ia kemudian akan mengajukan pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah diutarakannya juga, berulang kali.

“Aduuhhh… Kamu ngapain sih beli sepatu (atau sandal) lagi? Di lemarimu ‘kan masih banyak!”

Kalau sudah begitu, saya memilih untuk tidak menjawab dan membiarkannya cemberut. Karena jawaban, “Pengen aja,” yang biasa saya lontarkan malahan akan membuat wajah SI KRIWIL makin tertekuk.

Saya sendiri tidak tahu kapan persisnya kegilaan terhadap alas kaki ini dimulai. Yang saya ingat, sepertinya hukum karma telah memberikan tulah pada saya karena sebelumnya pertanyaan SI KRIWIL semacam itu sempat saya ajukan kepada Ibu. Juga berulang kali.

Rasanya sebal sekali melihat Ibu terus berhenti di depan rak yang memajang alas kaki, setiap kali kami bepergian. Apalagi kalau beliau memang sudah sejak lama menginginkan alas kaki dengan model tertentu, yang pada suatu hari secara tidak sengaja dilihatnya kala berjalan-jalan. Tidak peduli bahwa barang bawaan yang ada sudah memenuhi kedua tangan, alas kaki yang diinginkannya itu pasti akan dibeli juga. Apalagi-yang-kedua, jika ada suatu acara yang harus dihadiri Ibu dengan menggunakan kebaya, yah… tidak ada alasan yang cukup kuat bagi saya untuk membantah keinginan beliau memburu sepatu (atau sandal, tepatnya).

Saya tidak mengerti, mengapa alas kaki menjadi barang yang demikian berharga buat Ibu. Kalau dilihat dari segi investasi, jelas bukan itu manfaat yang dimaksudkan kala beliau mulai membelinya. Bagaimana bisa digolongkan sebagai investasi?!

Lalu kalau memang tidak seberharga itu, kenapa alas kaki tidak henti-hentinya menjadi sasaran penimbunan Ibu, bak orang sedang krisis sembako?

Coba saja bayangkan…

Ibu sudah punya sandal berwarna hijau tua, yang dibelinya sebagai padanan kebaya berwarna sama yang akan digunakannya dalam sebuah resepsi perkawinan. Lalu pada suatu hari, saya menemani beliau berjalan-jalan di sebuah mal, melintasi area penjualan alas kaki, tempat yang sama sekali tidak ingin saya kunjungi. Dan benar saja, Ibu segera memperlambat langkah dan mulai meraih satu-persatu alas kaki yang terpajang di sana.

Yang menyebalkan, beliau kemudian memutuskan untuk membeli sepasang sandal lagi. Yang juga berwarna hijau tua! Modelnya? Beda tipis!

“Mam, bukannya udah punya yang warna itu juga ya?!”

“He-eh.”

“Trus, kenapa beli lagi?”

“Habis bagus…”

Eerrgghhh…

Jadi… saya harus bilang apa lagi, coba?!

Pantas saja beliau tidak pernah membawa kotak berisikan alas kaki sebagai salah satu jinjingan sepulang dari acara jalan-jalan bersama Ayah. Kalau saya saja, yang sesama perempuan, bisa merasa sebal bukan main dengan kebiasaan Ibu yang satu itu, apalagi Ayah?!

Walaupun Ayah toh tidak lagi pernah mempertanyakan mengapa koleksi alas kaki di lemari sepatu Ibu rasanya terus saja bertambah. Sekalipun beliau tahu bahwa lemari milik Ibu itu seringkali terasa penuh sesak.

Kalau Ayah mungkin sudah cukup mengerti, sehingga tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang hal itu, saya justru sebaliknya. Saya masih tidak bisa memahami mengapa pertahanan diri Ibu terhadap rak pajangan alas kaki di pusat perbelanjaan benar-benar rapuh.

Tadinya.

Sampai suatu hari saya harus menjadi teman kencan Ayah saat menghadiri sebuah resepsi perkawinan, mewakili Ibu yang sedang sakit. Bukan kebaya yang saya kenakan, memang. Hanya sebuah dress berwarna hitam.

Lalu saya mulai bingung. Alas kaki seperti apa yang harus dikenakan ya?!

Oke… warna sih pasti hitam. Selain karena warna itu paling netral dan bisa dipadankan dengan pakaian apapun, gaun yang saya kenakan juga berwarna hitam. Tapi… high-heels or flat one? Sepatu atau sepatu sandal? Yang bertali atau yang tidak?

Saya buka lemari… stok alas kaki yang saya punya jelas tidak memungkinkan saya untuk rewel dan menentukan pilihan macam-macam. Bahkan alas kaki yang saya punya pun masih harus dipertanyakan kelayakannya untuk dipadankan dengan pakaian yang saya kenakan. Alhasil, lemari sepatu Ibu pun saya jajah. Tentunya setelah Ibu memberikan beberapa alternatif pilihan alas kaki yang kelihatannya cocok dipadankan dengan gaun yang saya kenakan.

Setelah penampilan perdana itu, tidak hanya Ibu yang meminta kehadirannya di sebuah resepsi perkawinan diwakilkan oleh saya (dan SI KRIWIL). Ayah pun mulai tertular. Jika mereka berdua harus menghadiri dua resepsi pada saat yang bersamaan, maka kamilah yang akan diutus untuk menghadiri salah satunya.

Mau-tidak mau, saya pun harus mulai menyediakan beberapa stok pakaian formal. Beserta alas kakinya, tentu saja. Saya mencari pakaiannya terlebih dulu, barulah kemudian mencari alas kaki yang sesuai untuk dipadankan dengan pakaian itu. And I prefer sandals! Selain tidak membuat kaki merasa terkungkung, model yang beragam membuat saya bisa memadankannya dengan lebih banyak pakaian. Jadi saya pun tidak perlu memiliki banyak stok sandal untuk dipadankan dengan berbagai model pakaian.

Tapi karena model yang beragam itu juga, kenapa saya justru jadi ingin memiliki semuanya?!

Sebenarnya sudah ada yang berwarna coklat, tapi rasanya saya belum punya yang ada batu-batunya seperti yang ini, jadi tidak ada salahnya saya membelinya, ‘kan?! Sandal berwarna hitam juga sudah ada, tapi yang ini modelnya unik, dengan tali pengikat berwarna merah dan belt dari stainless. Sepatu sandal coklat juga sudah ada, tapi ‘kan belum ada yang model jepit seperti ini, jadi memiliki satu lagi sepertinya tidak apa-apa.

Okay, don’t tell me… Just like my mother, don’t I?!

It’s kinda weird…

Mengoleksi alas kaki adalah sesuatu yang dulu saya benci dari Ibu, tapi kenapa sekarang saya justru melakukan hal itu juga?!

Saya memang tidak suka bagaimana Ibu dengan enteng bisa membeli sepatu dan sandal tanpa ada alasan yang cukup logis kenapa mereka harus dibeli. Memang karena kebaya yang akan dikenakan membutuhkan alas kaki yang sesuai, tapi selain itu… sebenarnya tidak ada alasan lain. Lalu kalau alas kaki yang dibelinya bukanlah alas kaki yang akan dipadankan dengan kebaya, apa alasan yang cukup tepat untuk membelinya?

Rasanya Ibu akan memberikan jawaban yang sama dengan yang saya berikan pada SI KRIWIL.

Mungkin itulah yang menjadi alasan utama kenapa saya juga melakukan hal yang semula saya benci dari Ibu.

Karena saya tidak menyukai bagaimana Ibu mulai menimbun alas kaki, saya jadi sangat memperhatikan setiap hal yang berkaitan dengan penimbunan itu. Bahkan sampai yang terkecil sekalipun. Mulai dari pemilihan model yang akan dibeli, sekalipun hanya berbeda bentuk heels-nya dengan yang sebelumnya sudah dimiliki, bukannya tidak mungkin akan dibeli. Lalu warna yang hanya berbeda setingkat dari gradasi pada alas kaki yang sudah tersimpan di dalam lemari beliau, tidak menjadi penghalang bagi beliau untuk membelinya juga.

Dan tentu saja, alasan utama mengapa Ibu akhirnya memutuskan untuk membeli sepasang sepatu atau sandal. Hanya sekedar ingin memilikinya.

Alasan yang sangat tidak masuk akal.

Yang kemudian justru saya gunakan juga saat mengambil keputusan mengenai hal yang sama.

Saya paham sekarang. Istilah “tipisnya garis batas antara benci dan cinta” ternyata memang bukan isapan jempol belaka. So… becareful of what you’re hate of, cause it can turns into love.

Dan sebaiknya kamu pun berhati-hati kalau mulai membenci saya

website page counter

ADA 10 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

jadi kalau saya kencan sama situ, saya harus pake baju warna apa ?

July 22, 2007 2:38 PM  
» Anonymous Anonymous:

waaah untung koleksinya cuman se-Sandalan-an bukan, se-Pa...-an (didn't you?) ;-)

July 22, 2007 3:24 PM  
» Anonymous Anonymous:

dah punya manolo blanik?

July 22, 2007 10:10 PM  
» Anonymous Anonymous:

pakDok:
yang pasti sih jangan yang transparan, nanti saya susah nyari padanannya ;-)

japro:
se-Patu-an maksudnya?!
hush! jangan bongkar2 si sini tho! ;D

ndoro kakung:
waahh saya sedang berusaha mati2an untuk tidak membenci manolo blahnik dan jimmy choo :P

July 22, 2007 11:08 PM  
» Anonymous Anonymous:

hehehehe.. gw jg termasuk perempuan yg seperti itu :D

July 24, 2007 9:37 AM  
» Anonymous Anonymous:

yanti:
perempuan yang seperti siapa? ibu saya, si kriwil, atau malah saya? ;D

anyway, great to have you here. have a nice trip, then... ;-)

July 25, 2007 1:10 AM  
» Blogger rymnz:

benci itu khan BENer-bener CInta bukan?;):P

July 27, 2007 3:08 PM  
» Anonymous Anonymous:

Sbg wanita, gw aja ga ngerti knp ada kaum "yuk beli sepatu"?
Seneng sih liat2, trus nyoba2in sepatu..
Tapi kl udh liat harganya, pasti ga napsu lg...ahahaha...

July 31, 2007 10:21 AM  
» Blogger -ndutyke:

"keds, pumps, pointy, peep-toe, flat, ballerina, wedge-heels, maupun towering-heels. Belum lagi flat sandals"

ampuuuun deh! jenis sepatu perempuan tuh banyak yaaa... huhuhu :p

everbest lg buy one get one free tu mpok :D

July 31, 2007 10:55 AM  
» Anonymous Anonymous:

memed:
itu NGAREP namanya, med! ;D
*oopppsss did i say some forbidden thing?!*

si kriwil:
gak ngerti ya?! coba tanyakan saja pada ibu dan kakakmu... atau lebih tepatnya, sering2lah ikut mereka berburu sepatu ;D

tyka:
iyah... udah tau kok! :P

July 31, 2007 1:51 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS