Berbagi Sandwich dengan Buaya

Friday, May 18, 2007

Kalau saja tidak sedang diburu deadline, saya pasti lebih memilih untuk segera menghabiskan latte dingin di atas meja, memasukkan notebook ke dalam backpack, membereskan buku-buku literatur, dan langsung memacu si hitam pulang.

Tentunya setelah berpamitan pada segenap barista yang sudah dengan amat sabarnya ‘menunggui’ saya menghabiskan waktu hampir setengah hari di sana. Bagaimana tidak bersabar jika sofa panjang nan empuk di sudut ruangan sudah dimonopoli dan tidak ada pengunjung lain yang berkesempatan untuk duduk di sana selain saya?

Tapi saya pun belum bisa meninggalkan sofa kesayangan ini. Sekalipun sekujur tubuh rasanya sudah tidak karuan. Mata sudah pegal dan mulai berair akibat terus-menerus berpindah-pindah menatap layar notebook dan jajaran tulisan di buku-buku tebal. Punggung dan paha juga sudah mulai kaku. Posisi duduk bersila yang biasanya menjadi jurus andalan tampaknya tidak lagi berlaku.

Lebih parahnya lagi, isi kepala saya rasanya sudah bertebaran ke mana-mana. Kalimat yang baru saja dibaca pun tidak bisa saya mengerti maknanya. Padahal tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Yang saya yakin dalam kondisi normal, kemampuan saya untuk memahami itu sebenarnya di atas rata-rata (sombong nan congkak mode on)

Tepat di saat saya baru saja meletakkan punggung pada sandaran sofa, seorang barista menghampiri. Ia membawa sebuah nampan coklat berukuran besar yang di atasnya berjajar gelas-gelas kertas berukuran kecil.

“Mbak, mau coba minuman baru kita?”

“Apa tuh?”

“Ini vanilla latte, kaya yang Mbak pesen tadi, tapi tanpa gula, jadi gak terlalu manis.”

“Lho, vanilla latte aja udah gak terlalu manis, ‘kan?!”

Si Mbak tertawa, masih berdiri menunggu jawaban saya. Kemudian meletakkan salah satu gelas kecilnya di samping notebook setelah saya mengiyakan tawarannya. Wujud isinya memang agak mirip dengan minuman yang masih sedikit tersisa dalam gelas bening di atas meja yang satu lagi.

Hmmm… interesting!

Boleh juga.

Baiklah… memesan segelas minuman ini tampaknya bisa dicoba. Lagipula saya masih akan menghabiskan beberapa jam lagi sampai berhasil menuntaskan satu bab terakhir dari makalah yang tengah dibuat. Dan tentunya membutuhkan teman untuk membuat saya tetap terjaga.

Segelas sugar free vanilla latte dan mmm… rustika chicken…

“I have one rustika chicken cranberry mayo sandwich on the bar…”

Wah, keduluan!

Seorang pria berkaos hitam menghampiri bar. Tampaknya dialah yang sudah lebih dulu memesan sandwich kesukaan saya itu. Kalau saja tidak tahu malu, saya mungkin akan menawarinya untuk memesan sandwich yang lain. Atau kalau saya kenal padanya, saya mungkin bisa…

Wait…

Oh, shit!

I know him!

Pria berkaos hitam, dengan celana jeans belel sebatas lutut dan sneakers. Masih dengan spikey-hair-nya. Dengan sepasang anting di masing-masing telinga, itu saja yang agak berbeda.

Damn!

Saya MEMANG mengenalnya!

Sambil membawa piring berisi sandwich, ia berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang lain. Yang letaknya persis di depan tempat saya duduk. Di sofa sampingnya, ransel hitam sudah ada di sana.

Geez… Where the hell have I been?

Kok saya bisa tidak tahu kapan dia datang dan duduk di sana ya?!

Seketika itu, tiba-tiba saja dada saya berdegup kencang. Rasanya detak jantung ini sudah berlari kocar-kacir. Dan bukannya melanjutkan perjalanan menuju etalase untuk memesan makanan dan minuman, saya malahan melangkah mundur dan kembali terduduk.

Memandangi si empunya kaos hitam.

Rasanya masih sama.

Persis ketika saya masih mengenakan putih-abu-abu.

Pria ini merupakan salah seorang kakak kelas saya kala itu. Yang diidolakan oleh banyak sekali perempuan (paling tidak di sekolah kami, yang saya tahu). Termasuk saya.

Pintar, eksis di berbagai bidang, jago bermusik, sangat tampan, dan yang paling membuat saya klepek-klepek adalah kemisteriusannya. Dia memang seringkali terlihat sedang berkumpul dengan teman-temannya, mengobrol, tertawa-tawa, namun tetap tidak banyak kata-kata yang keluar dari bibirnya. Terlebih ketika kami berpapasan. Yang dilakukannya hanya tersenyum pada saya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Dan itu cukup untuk membuat perasaan saya beterbangan ke mana-mana.

Percakapan yang kami lakukan pun tidak pernah berlangsung lama. Hanya karena kami pernah terlibat dalam satu kegiatan bersama, yang mengharuskan kami untuk bertemu cukup sering, sehingga perbincangannya pun tidak pernah terlepas dari kegiatan itu. Sebagai akibatnya, saya tidak pernah menolak ketika ditawari menjadi panitia kegiatan-kegiatan lain, di mana ia pun juga akan terlibat di dalamnya.

Peristiwa yang sebenarnya sudah lebih dari lima tahun berlalu.

Yang mestinya tidak menimbulkan rasa deg-degan ketika melihatnya kembali persis di depan saya seperti ini.

Namun bukanlah demikian yang terjadi.

Saya masih saja terpaku, masih saja merasakan keringat dingin mulai membasahi dahi, masih saja tidak tahu harus melakukan apa.

Seperti dulu.

Dan menjadi semakin salah tingkah saat tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya setelah meneguk minuman dan meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja. Lalu menatap (ke arah) saya, mengerutkan dahi, dan tersenyum lebar.

Matanya seolah-olah seperti mengatakan, “Hey! I know you!”

Apa yang (tidak!) saya harapkan pun terjadi.

Ia segera berdiri dan berjalan menghampiri meja saya.

“Agatha, ‘kan?!”

Damn!

Dia ingat!

Saya hanya mengangguk. Dan benar-benar tidak melakukan apa-apa seiring dengan makin mendekatnya ia. Bahkan juga di saat ia menjulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan erat… diikuti dengan mendaratnya pipinya pada pipi saya.

“Apa kabar???”

“Baik.”

“Lagi ngapain di sini?”

“…”

“Oohhh… pasti ngerjain tugas, deh! Eh, tapi bukannya lo udah lulus ya?”

Tiba-tiba ingin rasanya saya menciutkan badan sebesar gantungan kunci.

Menjawab pertanyaan ‘lagi ngapain’ pun tidak bisa. Benar-benar tidak ada yang bisa saya lakukan selain tetap berdiri mematung di hadapannya dan memandangi pria di hadapan saya itu.

Saya bahkan tidak bisa mengingat apa yang tengah saya lakukan.

Mestinya hanya dengan melihat buku-buku yang bertebaran, notebook yang terbuka, dan oret-oretan pada jurnal dengan halaman terbuka, pertanyaan itu bisa terjawab dengan mudah. Dan menjadi lebih bodoh lagi karena saya-lah yang membuat kondisi meja menjadi demikian. Sayalah yang baru saja melakukan kegiatan di sana.

Namun tidak ada yang bisa dijawab.

Blank.

Sedang menjadi buaya, begitu kalau menurut bapak Profesor pengajar matakuliah Neuropsikologi.

Kondisi di mana emosi sedang menguasai pikiran dan menyebabkan fungsi luhur manusia itu tidak lagi bisa bekerja dengan baik, telah menyebabkan otak yang dimiliki mengalami regresi fungsi. Otaknya tidak lagi bisa digunakan untuk berpikir sebagaimana normalnya manusia. Dalam kondisi semacam itu, yang bekerja hanyalah bagian otak yang mengurusi emosi. Seperti layaknya reptil.

Yang tidak bisa menggunakan otaknya untuk berpikir, tapi hanya untuk merasakan.

Hhh… seandainya saja saya memang buaya, pasti tajamnya gigi ini sudah digunakan untuk menggigitnya, tidak akan membiarkannya melarikan diri, dan membawanya masuk ke dalam rawa

website page counter

ADA 7 KOMENTAR:

» Blogger iin:

o me god.
oya sebelum masuk pertanyaan inti, mau nanya dulu :
cowok itu baca dB juga gak?

soalnya aku mau tanya :
apakah dia juga org yg sama yg menjadi sasaran kartu ultah mbak agatha? iya? bukan? iya? bukan?

tuh kan, akhirnya seorang mbak Agatha bisa terdiam juga.. asal gak nyembah berhala aja mbak, kayak aku.. hahaha.. ;p

sandwichnya jgn lupa dimakan, ntr dingin, ato basi ky brownis kukus ..

May 18, 2007 7:53 AM  
» Anonymous Anonymous:

waw, ada juga cowok yang kaya gitu yah :D
hahah, jadi pengen liat mbak pendongeng ini klepek2 :p

May 18, 2007 8:47 AM  
» Anonymous Anonymous:

iin:
wah... baca dB atau enggak, gue gak tau in... tapi tampaknya sih dia tau kalo dB ini ada ;-)

dan bukan orang yang sama dengan yang ini kok ;-)

jadi... berhubung sama2 udah basinya, kan mendingan cari yang fresh aja bukankah?! ;D


anima:
hahaha... untunglah dirimu tak hadir di sana! kalok ada, pastinya saat itu saya tidak akan melanjutkan pembacaan dongeng padamu ;D

May 20, 2007 9:18 PM  
» Blogger rymnz:

pantesaann.. ditelp kmaren suaranya agak2 beda.. hueheuheu.. ternyata.. ternyata.. berlanjut kah?

May 21, 2007 9:36 AM  
» Anonymous Anonymous:

tapi itu perasaan yang enak kan? jadi buaya emang enak yah??? hehehe...
trus trus, gimana perkembangannya sekarang mbak? masih lanjut dengan telpon2an??hihi, semangat yak!

May 22, 2007 12:15 PM  
» Anonymous Anonymous:

memed:
ah bisa aja! *tersupi-supi
lho lho lho :P

rama:
sik sik... yang enak itu perasaan yang mana? kalok deg2annya sih... enak2 agak menyiksa gitu. tapi kalok jadi buayanya, mungkin dirimu yang lebih tau rasanya ;-)

May 22, 2007 6:02 PM  
» Blogger timo:

aeuheuaahueahuaehuaeh....
bisa klepek2 juga toh...
maut banget nih kayaknya cowonya...
hayo, mana sekuelnya??
seru nih...

hihihihihihi..

June 01, 2007 1:51 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS