Menyandu Kevin Costner

Saturday, July 28, 2007

Saat melangkahkan kaki ke dalam bioskop, saya tidak tahu apakah film-film yang diputar di sana masih sama dengan yang sudah saya tonton sebelumnya. Mudah-mudahan sih sudah diperbarui. Saya harus melakukan sesuatu untuk menghabiskan waktu siang ini. Karena kalau tidak, pasti kaki ini akan melangkah masuk ke dalam shopping center, lalu saya bisa membelanjakan uang di dompet untuk membeli… sandal!

Tapi untunglah… sudah ada film baru.

Dua buah poster baru terpampang di masing-masing boks besar di salah satu dinding gedung bioskop. Di atasnya tertulis nomor studio yang menayangkan film tersebut.

Di studio 2, posternya bernuansa coklat. Sepasang pria dan wanita duduk di atas sebuah perahu yang tengah mengapung di atas danau (sepertinya sih memang danau). Di sekitar danau, banyak pepohonan berdiri mengitarinya. Sepertinya sejenis film percintaan yang menyedihkan, atau mengharukan paling tidak.

JENG IIN memang sudah pernah memberikan sedikit review mengenai The Painted Veil. Saya agak lupa bagaimana jalan cerita yang saat itu dikisahkannya. Tapi sejauh saya ingat, memang tentang kisah percintaan. Jadi sebaiknya saya tidak menontonnya. Paling tidak, ketika menontonnya seorang diri seperti ini.

Sementara itu, studio 3 memajang poster Kevin Costner dan Demi Moore. Okay, dua orang yang memang saya gemari aktingnya. Beberapa hari lalu, sudah sempat saya lihat trailer-nya pula di salah satu stasiun televisi. Kelihatannya seru. Tentang seorang detektif yang tengah menyelidiki kasus pembunuhan yang sangat unik, singkatnya begitu.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu.

Earl Brooks (Kevin Costner), seorang milyarder sukses ternyata memiliki kecanduan. Bukan pada obat terlarang, bukan pada alkohol atau rokok, bukan pula pada aktivitas seksual, sebagaimana yang seringkali saya dengar. He’s addicted to killing somebody. And he tought that he was.

Sampai pada suatu hari ia melakukan sebuah pembunuhan lagi terhadap sepasang kekasih di apartemen mereka. Saat pasangan ini sedang berasyik masyuk di atas tempat tidur, tiba-tiba muncullah Mr. Brooks, menembak keduanya setelah sebelumnya sempat menyaksikan bagaimana mereka bercinta.

Pihak kepolisian merasa kesulitan memecahkan kasus ini, karena tidak ada satu pun sidik jari pembunuh yang ditemukan di tempat kejadian. Mereka hanya menemukan pasangan itu tergeletak di atas tempat tidur dalam keadaan yang tidak bernyawa, dengan cipratan darah di dinding belakang tempat tidur. Peluru yang ditembakkan pun sudah diambil kembali oleh pelaku.

Since I love watching CSI and Detective Conan, bisa dipastikan bahwa saya juga menyukai film ini. Tentang pembunuhan, penyelidikan, penelusuran barang bukti, dan kegiatan detektif lainnya. Detektif Atwood (Demi Moore) yang sudah hampir menemukan pelaku, namun ternyata menemukan kenyataan bahwa orang yang diduganya sebagai pembunuh ternyata bukanlah pelaku yang sebenarnya. So she’s going to start the search again.

Tapi yang menjadi bagian menarik dari film ini adalah… Mr. Brooks melakukan pembunuhan, dan ia memang menyukai sensasi yang dihasilkan akibat perbuatannya itu. Sensasi seperti inilah yang membuatnya menjadi kecanduan untuk melakukannya lagi dan lagi. Tapi ternyata, sebelum ia sampai pada keputusan untuk membunuh seseorang, selalu terjadi pertentangan batin yang hebat dalam dirinya.

Let’s say… Killing-not killing-killing-not killing-and so on-and so on…

Ia selalu mempertanyakan banyak hal sebelum akhirnya keputusan itu datang.

Apakah keputusan yang diambilnya memang benar? Apakah ia harus menuruti dorongan yang amat sangat untuk membunuh, ataukah menghentikannya saja? Apakah ia memang ingin merasakan sensasi itu lagi? Lalu bagaimana dengan niatnya untuk ‘mempensiunkan’ kecanduan itu?

Si penulis skenario bahkan menggambarkan the devil side of Mr. Brooks sebagai seorang pria bernama Marshall. Marshall inilah yang selalu memberikan dorongan dan meyakinkannya berulang kali untuk melakukan pembunuhan. Ia juga yang menunjuk calon korban secara acak. Ia yang selalu mendampingi Mr. Brooks setiap saat niatan untuk membunuh itu muncul.

Dan setiap kali Marshall mulai melancarkan rayuannya, Mr. Brooks akan mulai memejamkan mata lalu berkomat-kamit dalam diamnya. Ia berdoa. Memohon kekuatan agar tetap mampu bertahan dengan keputusan untuk menyudahi kecanduannya.

Di satu sisi ia sangat ingin mengakhiri kebiasaannya untuk membunuh orang lain, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghalau dorongan untuk tetap mempertahankan kebiasaan itu.

And what I love about this Earl Brooks is… he’s not denying about what he’s addicted to. Dan ia berusaha menerima kekurangannya itu.

But that’s not the point yet.

What makes me love him more, is the fact that he’s trying to do something about it.

Saya bukanlah orang yang bisa berbicara di depan orang banyak. Jangankan menyampaikan sesuatu kepada mereka, berdiri di depan ruangan dengan semua mata menatap ke arah saya saja sudah membuat saya ingin sekali membenamkan kepala ke dalam tanah bak burung unta.

Eh, sumpah! Saya seriyus!

Coba tanyakan saja pada sahabat saya ini.

Semasa masih menjabat sebagai asisten dosen (yang dosennya adalah beliau), saya tidak pernah berdiri di depan kelas untuk mengajar. Pertemuan dengan mahasiswa dilakukan di luar jam kuliah, kadang di kantin kampus, kadang di selasar gedung kuliah, atau tempat-tempat lain yang sekiranya bisa digunakan untuk berdiskusi. Kalaupun akhirnya diadakan kelas responsi, yang dilakukan lebih seperti tanya-jawab dan diskusi layaknya yang biasa terjadi.

Jadi bisa disimpulkan bahwa saya memang tidak pernah berdiri di depan kelas dan memberikan materi kuliah.

Sampai pada suatu hari si dosen berhalangan hadir di saat kuliah harusnya diberikan.

Waaahhh… paniklah saya!

Materi kuliah yang akan diberikan memang sudah ada pada saya. Begitu pula dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa di hari itu. Tapi ‘kan berarti sayalah yang harus memberikan materi kuliah. Sayalah yang harus berdiri di depan kelas, dan mengajar!

Jika saja bisa menceritakan apa yang saya rasakan… that was (one of) the worst thing ever happened in my life.

Kedua kaki ini seakan direkatkan dengan erat di lantai, tidak bisa bergerak dari tempat saya berdiri. Isi kepala tiba-tiba saja hilang entah ke mana, sampai tidak bisa mengingat apa yang seharusnya disampaikan kepada mahasiswa. Pita suara rasanya tercekat sampai hanya bisa mengeluarkan sangat sedikit suara. Saya benar-benar salting!

Parahnya lagi, saya sempat melihat salah seorang mahasiswa yang tiba-tiba menguap, dan beberapa lainnya mulai mengobrol dengan teman di samping mereka. Hal yang nyaris tidak pernah terjadi kala bapak dosen ini mengajar.

My GOD! In a split second, I wish I wasn’t a teacher at all. Not even an assistant.

Tapi saya tidak bisa menyangkal bahwa saya memang menyukai profesi itu. Berdiskusi dengan mahasiswa, membantu mereka menyelesaikan tugas, memberikan informasi yang dibutuhkan, menantang mereka untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, merupakan hal yang menyenangkan buat saya. Teramat sangat.

Yang jelas tidak mungkin bisa terpenuhi tanpa mengharuskan saya berdiri di depan kelas.

Diskusi yang dilakukan di luar jam kuliah mungkin memang bisa mengakomodir hal-hal itu. Tapi tetap tidak akan bisa memberikan saya kesempatan untuk mengajar, dalam arti yang sebenarnya. Seperti yang selalu saya inginkan.

Pilihannya jelas.

Kalau masih ingin mengejar cita-cita saya untuk mengajar, mestinya yang dilakukan memang mengatasi perasaan tidak nyaman akibat berdiri di depan kelas itu, ‘kan?!

Atau malah membuang jauh-jauh harapan itu hanya agar saya tetap merasa nyaman dengan duduk di bagian belakang kelas, ikut mendengarkan kuliah yang diberikan, dan menjawab pertanyaan dari mahasiswa hanya jika mereka bertanya. Dengan demikian saya pun akan terhindar dari rasa deg-degan dan salting saat berhadapan dengan mereka.

Tapi sebagai bayarannya, ya… apa yang saya cita-citakan memang tidak akan tercapai.

Then I chose the first one.

Jangan tanyakan apa rasanya di kali kedua saya harus mengajar. Pergulatan antara rasa malu dan ‘keharusan’ membuat suasana kelas menjadi menyenangkan dengan lawakan (yang garing dan jayus). Pergelutan sengit antara tatapan tidak suka dari mahasiswa dan kekerasan hati untuk tetap berdiri di depan kelas menyampaikan materi kuliah.

Semua perasaan campur-aduk yang mungkin terjadi, rasanya tidak ada yang tidak saya alami.

Dan saya tidak pernah menyesal karena mengalami semua itu.

Kalau bukan jalan itu yang saya tempuh, rasanya profesi dosen sudah saya buang jauh-jauh dari daftar cita-cita yang ingin saya capai.

Sebagaimana Earl Brooks terus mencoba mengikuti sesi terapi yang tidak menyenangkan untuk menyembuhkan kecanduannya, karena ia mendambakan untuk menjalani kehidupan yang indah bersama keluarganya.

Dan sebagaimana yang juga sempat diungkapkan Marshall, “On your feet, or on your knees.”

Berdiri dan menantang kelemahan yang dimiliki, atau menyerah saja dan tidak mendapatkan apa yang diingini.

Geez… have I told you that I love this movie so damn much?!

website page counter

ADA 4 KOMENTAR:

» Blogger iin:

kalo kecanduannya kecanduan cinta, perlu berdoa juga gak mbak, kayak Mr. Brook?
;p

July 29, 2007 5:34 PM  
» Anonymous Anonymous:

"Tapi sejauh saya ingat, memang tentang kisah percintaan. Jadi sebaiknya saya tidak menontonnya. Paling tidak, ketika menontonnya seorang diri seperti ini."

bagaimana kalau saya punya dua tiket painted veil? :">

July 30, 2007 1:22 PM  
» Anonymous Anonymous:

Dan saya tidak pernah menyesal karena mengalami semua itu.

akh, masak iya sih mbakyu?

July 30, 2007 9:24 PM  
» Anonymous Anonymous:

iin:
emang mau diilangin kecanduannya?! ;-)

pakDok:
sini... biar saya yang memberikan pada sir mbilung. dirimu hendak mengajak beliau tho?!

mbahatemo:
seriyus lho, eyang...

July 31, 2007 1:54 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS