Kala Senja Temaram

Friday, July 13, 2007

Senja mulai bergelayut, merambat membayangi suasana. Sepi. Awan melajukan mobilnya perlahan. Mencoba menikmati rasa yang masih menyelubunginya. Suara merdu Chantal Kreviazuk menemani keberadaan rasa itu pada diri Awan, dan juga Fadya.

“Besok kamu libur, kan?!”

“I…iya,” Fadya mengerutkan keningnya, tidak mengerti, “Kenapa?”

Awan hanya tersenyum. Membiarkan Fadya mengetahui sendiri jawabannya.

Fadya menatap Awan dengan senyum curiga. Apa lagi ini?

“Udah, liat aja entar,” sahut Awan, seolah dapat membaca apa yang ada di benak Fadya. Ia lagi-lagi tersenyum. Kali ini berusaha menyembunyikan apa yang ada dalam benaknya. Ia coba mengalihkan perih yang mulai merambati hatinya. Setengah berharap akan menghilang kemudian.

Awan membelokkan mobilnya. Seperti sebuah bukit, ia menaikinya. Berjalan pelan.

Fadya masih sibuk dengan kebingungannya. Ia tidak mengerti. Sepi. Memang sudah menjelang senja. Dan ia masih bertanya-tanya, akan ke manakah mereka.

Tak lama, pendar-pendar cahaya muncul dari atas. Mobil Awan masih menanjak. Lalu pendar itu semakin jelas, membentuk kumpulan cahaya yang semakin terang. Dan tibalah mereka.

Sebuah lapangan luas, tampak seperti tempat parkir kendaraan. Hanya ada satu kendaraan lain di sana, selain mobil Awan. Di sisinya, berderet warung-warung makan. Beberapa di antaranya sudah tutup. Hanya sebagian kecil yang masih tersisa. Beberapa orang duduk-duduk di warung itu sambil merokok.

Belum sempat Fadya mencermati lebih lanjut, Awan membukakan pintu bagi Fadya, mempersilakan Fadya keluar. Ia kemudian menggenggam tangan Fadya, erat sekali, dan tidak ingin melepaskannya. Fadya tidak berucap ketika Awan terus menggandengnya dan membimbingnya berjalan melintasi lapangan parkir dan warung-warung itu.

“Wah, udah lama nggak ke sini, Kang?”

Awan tersenyum, “Iya nih, Pak.”

Pria yang duduk di depan warungnya itu sumringah, “Kopi?”

“Teh aja, Pak. Dua ya.”

“Beres, Kang. Nanti diantar.”

Fadya tidak mengerti. Mereka tampak sangat akrab. Dan Awan sepertinya cukup sering ke tempat ini. Mungkin dulu.

Awan menatap Fadya. Tersenyum kala menemukan kebingungan di wajahnya.

“Itu Pak Yayat. Kalo aku ke sini, selalu mampir warungnya dia. Makan, minum, ngerokok, atau cuma sekedar ngobrol aja.”

“Kamu… sering ke sini?”

Awan mengangguk.

“Sejak kapan?”

“Sejak ketemu kamu.”

Fadya semakin tidak mengerti, “Emang ada apa sih di sini, Wan?”

Lagi-lagi Awan hanya tersenyum. Tidak ingin menjawab. Ia terus menggandeng Fadya. Dan kali ini ia berusaha lebih keras untuk mengenyahkan saja rasa perih yang kembali melanda hatinya.

Tibalah mereka. Sebuah lapangan lain. Tidak terlalu luas, namun menampung keindahan yang luar biasa. Dari tempat itu, seluruh penjuru kebun teh ada di bawah telapak kaki. Bias cahaya matahari kala senja merupakan keindahan yang tiada taranya. Merah. Memantul di kaki langit. Dengan bingkai awan yang menggumpal, memberikan sedikit ruang bagi cahaya untuk bersembunyi.

Fadya terkejut bukan main. Ia bahkan tidak sanggup berucap. Tanpa sadar, dilepaskannya genggaman dari tangan Awan, lalu berjalan ke tepian. Matanya masih terus terbelalak. Ia kemudian menoleh kepada Awan. Hendak mengungkapkan keindahan yang dirasakannya. Namun ungkapan itu tidak juga keluar dari mulutnya. Ia kembali mencoba menikmati.

Sudah diduganya. Ini akan menjadi suatu kejutan yang luar biasa bagi Fadya. Awan sangat senang. Namun ia tetap tidak mampu mengalihkan kepedihannya. Dadanya terasa sakit. Tidak hanya karena penyakit yang mulai menderanya, tapi juga karena dalamnya rasa itu. Rasa cintanya pada Fadya. Ia menatap Fadya dari kejauhan. Membiarkan wanita itu menikmati kegembiraannya.

Jika saja aku bisa memberikan keindahan ini kepadamu… Jika saja aku bisa menikmati selalu senyummu… Mungkin aku akan merelakan nyawa ini terenggut dariku.

Lalu tiba-tiba kerinduan yang luar biasa menyergap Awan. Begitu besar inginnya merengkuh Fadya dan tidak melepaskannya lagi.

Mengapa aku harus mencintainya sedemikian besar?

Perlahan dilangkahkannya kaki mendekat. Dan kini, Fadya sudah di tepat di depannya, masih terus menatap keindahan di bawah sana. Awan mendekat lagi. Lalu melingkarkan tangannya di pinggang Fadya. Fadya terkejut, terdiam seketika, namun tidak ingin pula melepaskan pelukan itu. Ia pun merangkulkan tangannya pada tangan Awan.

Jika saja diijinkan, Awan ingin jiwanya tercabut kala itu. Ia ingin nyawanya diambil detik itu pula. Saat ia berada dalam pelukan Fadya. Kala ia merasakan betapa besar cinta wanita itu padanya. Lalu ia menolaknya mentah-mentah. Ia sungguh tidak ingin terenggut. Ia ingin menikmati keindahan rasa itu, untuk selamanya. Dan bukan sekedar sepanjang hidupnya. Awan memejamkan matanya.

Tubuhnya mulai gemetar. Entah karena kabut beserta angin dingin yang terus menerpa atau karena tidak tertahankannya rasa yang semakin meluap.

“Awan… kamu kedinginan?”

Ia menggeleng. Semakin mempererat pelukannya. Namun, tubuhnya lebih dapat berucap jujur tampaknya.

“Kamu kenapa, Wan?”

Lagi-lagi dijawab dengan gelengan kepala.

Fadya semakin khawatir, “Kita turun aja ya?!”

Gelengan kepala Awan semakin kuat, demikian pula pelukannya, “Jangan, Fad. Please…

Fadya diam. Masih khawatir. Namun membiarkan saja Awan tetap demikian.

Lalu diam.

Pelukan itu semakin menghangat. Menyalurkan rasa yang menenangkan bagi mereka. Ketenangan yang tiba-tiba dipudarkan oleh sebuah tetesan yang membasahi pundak Fadya.

“Ada apa?” suara itu, pelan. Selalu membangkitkan ketenangan dalam diri Awan. Selalu menimbulkan kerinduan yang luar biasa padanya.

Masih diam. Namun air mata itu telah berbicara cukup banyak.

“Fadya… promise me one thing.”

“Apa?”

Please… don’t ever… leave me.

website page counter

ADA 4 KOMENTAR:

» Blogger L. Pralangga:

"Why would you think, I'd leave you?.."

"I dunno, just this huge fear in me.. knowing that it seems my time is due.."

"What do you mean by due?..."
-----
Ah kamu berkomentar sontoloyo saja nih! --> begitukah terusannya?

Thanks for being so attentive in providing me the first sneak-peek to yours.. oups! (Should not say more!)

Ladies and gentlemen, do not forget to grab your own personal copy of...., Oups! :p

July 14, 2007 12:39 AM  
» Anonymous Anonymous:

eh, bikin cerbung juga, jeng? makin tangkas saja gayanya ... :D

July 14, 2007 10:12 PM  
» Anonymous Anonymous:

hayah..ndoroo...

July 14, 2007 11:43 PM  
» Anonymous Anonymous:

kang kampret:
hahaha... awas situ brani2nya bongkar2!
i've got yours too! ;D

ndoro kakung:
tetep berasa kurang tangkas sebelum menemukan kombinasi dua digit angka itu lho, ndoro...

hmmm... 52 bukan ya?!

pakDok:
lhaaa mbok ya ngasih komen ke tulisannya, bukan komen ke yang ngasih komen *haduh bahasanya!* ;D

July 15, 2007 11:48 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS