Saturday, July 07, 2007
Tentang seorang malaikat kecil yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang keenam dan memperoleh sepasang sayap sebagai hadiah dari sang Ayah. Dengan diberikannya hadiah itu, ia harus memulai tugasnya sebagai malaikat pada usia yang lebih awal dibandingkan dengan malaikat-malaikat lain. Usaha malaikat kecil ini dalam menjalankan tugas kemudian membawanya pada kenyataan bahwa ia tidak dapat lagi kembali pulang.
Belum ada satu pun yang luput dari ingatan saya.
Sekalipun sudah hampir tujuh tahun berlalu sejak pertama kali saya menciptakan kisah malaikat kecil bernama JAUNE itu (hanya!) sebagai tugas akhir salah satu matakuliah.
Namun memang sudah hampir satu bulan belakangan saya membuka kembali file-nya. Menelusurinya satu-persatu, membacanya (untuk yang kesekian kali!) dengan seksama, dan mulai memperbaiki kekeliruan pada tata bahasa maupun peletakan tanda baca.
Maklum saja.
Dua minggu yang dulu, memang waktu yang jauh dari cukup untuk menyelesaikan sebuah buku cerita berisi 120 halaman. Apalagi waktu yang tersedia itu masih harus dibagi lagi dengan menunggu hasil penggandaan di tempat fotokopi, juga membuatnya terjilid rapi bak buku cerita yang dijual di toko-toko buku, bahkan menunggu desain sampul buku selesai dibuat (oleh JULES). Dan sebenarnya memang sudah cukup lama saya berniat untuk mengedit kembali buku cerita ini. Tapi yaa… namanya juga Agatha. Niat hanyalah tinggal niat semata. Begitu sudah mulai disibukkan dengan tugas kuliah, ujian, mengajar, atau mungkin sekedar kegiatan hedon (yang tentunya lebih menyenangkan!), keinginan untuk memperbaiki tulisan pun pupus begitu saja. Kalau bukan karena SI KRIWIL yang tak gentar terus memaksa agar saya mengirimkan saja JAUNE itu ke salah satu penerbit yang direkomendasikannya, mungkin sekarang yang ada di layar notebook adalah halaman depan friendster. Hanya tinggal satu bab terakhir yang masih harus dibaca. Bahkan tinggal beberapa halaman lagi yang tersisa. Tapi rasanya sulit sekali. Karena perbincangan dua orang perempuan abegeh di meja sebelah benar-benar menyita perhatian. Bukan karena volume yang keras atau intonasi tinggi, karena perbincangan terjadi seperti layaknya obrolan biasa. Bukan juga karena gerakan-gerakan aneh yang membuat saya harus berulang kali menolehkan kepala dan menatap ke sana. Tapi karena isi percakapan mereka, itu yang benar-benar sangat mengganggu saya. Membahas seputar tas Hermès pemberian sang ibu yang sebenarnya tidak terlalu disukainya tapi terpaksa diterima karena merasa tidak enak. Juga mengenai rencana keduanya bersama-sama mengadakan perjalanan keliling Eropa untuk menghabiskan liburan sekolah yang sebentar lagi akan berakhir. Atau cerita mengenai sang Ayah yang sudah mengajaknya mengunjungi showroom mobil Volkswagen dan berencana membelikannya sebuah sebagai hadiah kenaikan kelas. Coba, bagaimana telinga ini tidak terganggu mendengar istilah-istilah seperti Massimo Dutti, apartemen di kawasan Mega Kuningan, Volkswagen, Morris, terlintas begitu saja dalam percakapan yang sangat biasa? Sama ringannya seperti saya yang tengah menceritakan tentang acara berbelanja di Mangga Dua, berburu DVD dan CD di Ratu Plaza, atau mungkin sekedar jalan-jalan keliling Jakarta bersama si hitam. Dan lebih tidak tahan lagi untuk tidak memberikan komentar. Kenapa juga mereka harus membahas hal-hal semacam itu? Apa sih pentingnya menceritakan tagihan telepon yang membludak, melihat mobil keluaran terbaru, atau voucher hotspot yang tersisa? Membicarakannya di tempat umum seperti ini pula! Seperti tidak ada tempat lain untuk membahasnya saja! Mereka lupa mungkin ya, kalau pengunjung dari tempat nongkrong seperti ini tidak semuanya seperti mereka. Tidak semuanya bisa membeli tas Hermès. Tidak semuanya bisa membuang uang seratus-ribu untuk membeli voucher hotspot, yang ternyata hanya digunakan sepersekian dari keseluruhan nominalnya. Apalagi dua-setengah juta hanya untuk membayar tagihan telepon. Tidak semua pengunjung bisa menerima begitu saja apa yang mereka bicarakan sebagai suatu hal yang biasa. Pengunjung yang nguping seperti… Hey! Didn’t I tell you that I don’t?! Percakapan yang terjadi di meja sebelah tidak akan mencuri perhatian saya sedemikian rupa, jika saja yang dibicarakan adalah teknik analisa item, validitas dan reliabilitas, atau istilah psikometri lainnya, misalnya. Atau juga manic-depressive, psychotic, maupun schizophrenia… Eh, tapi iya sih… Kalau perempuan-perempuan abegeh yang berperan sebagai penguping saat saya sedang mempercakapkan hal-hal itu dengan teman-teman saya, rasanya jadi tidak ada bedanya. ‘Sombong’ lah! ‘Apa pentingnya membicarakan hal itu’ lah! ‘Kenapa harus dibicarakan di tempat ramai seperti ini’ lah! Lha…?! Padahal pembahasan harus dilakukan di ruang kerja ini mengingat tempat ini merupakan tempat yang paling mungkin dijangkau, dan juga memungkinkan untuk bisa berdiskusi dalam waktu yang lama (tanpa diusir!). Bahwa mungkin keesokan hari saya dan teman-teman harus menyerahkan laporan mengenai pasien manic-depressive, psychotic, maupun schizophrenic yang baru saja kami tangani, sehingga hari ini juga harus didiskusikan. Atau saya tengah berdiskusi dengan mahasiswa yang sedang mengalami kesulitan dalam hal metodologi atau teknik psikometri dalam skripsinya. Hanya karena apa yang tengah saya bahas bukanlah bidang yang mereka tekuni, maka ketika saya membahasnya lantas dianggap sombong. Hanya karena mereka tidak mengerti kenapa hal-hal itu harus dibahas, kemudian saya disebut sebagai orang yang tidak bisa menempatkan diri. Hanya karena saya bukanlah orang yang pernah merasa tanpa gentar saat melangkahkan kaki melintasi pintu yang pada kacanya terukir huruf LV, lalu saya menganggap orang-orang yang memperbincangkan goodie bag yang mereka tenteng keluar dari sana sebagai orang yang tidak bisa menyesuaikan diri. Sementara saya sendiri tidak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa mereka mempercakapkan frekuensi seringnya mereka keluar-masuk butik semacam itu. Sebagaimana mereka juga tidak tahu mengapa saya tetap getol berdiskusi, berbantah, bahkan berdebat dengan seorang mahasiswa hanya karena membahas metodologi penelitian yang digunakannya. Percakapan yang tak ada gunanya mungkin, menurut mereka. Sebagaimana saya juga menganggap percakapan mereka yang tidak bermakna. Lha wong percakapan yang terdengar saja hanya sebagian, tidak tahu juga alasan perbincangan itu harus terjadi, kenapa juga saya harus sirik?! Toh belum tentu apa yang mereka percakapkan sebenarnya sesuai dengan (dugaan aka. asumsi aka. tuduhan) yang ada di kepala saya. Sepertinya saya mulai terlalu sering bergaul dengan para penyihir teman JAUNE.SESI PERTAMA
• Gila! Gue kemaren liat mobil Morris yang baru. Anjiiiinnngggg! Keren banget!
» Yang mana sih? Gue belum pernah liat!
• Duh, gue juga baru liat kemaren itu pas jalan sama bokap. Gue udah tunjuk-tunjuk gitu ke bokap, ‘Pa! Gila tuh mobil keren banget!’ Eh bokap senyum-senyum doang!”
Saya: Yeee… dasar ngarep! Pengennya ditanya, ‘Kamu mau?’ gitu tho?!SESI KEDUA
» Iya… waktu gue bilang mau pesawat ke Singapore di-cancel kemaren itu…
• Oohh… iya. Kenapa?
» Ampuunn… Jamuran gue nunggunya! Untung gue bawa laptop, jadi bisa nunggu di executive lounge sambil buka internet gitu. Mana udah beli voucher hotspot yang 100ribu, eh cuma kepake sebentar. Buka e-mail udah, friendster udah, YM udah, sampe buka-buka video di Youtube juga udah. Trus gak tau gitu mau ngapain lagi gue. Gue kasih aja voucher-nya ke kakak gue.
Saya: Njrit! Seratus ribu??? Buat beli voucher hotspot dan bersisa pula?? Duuuhhh… di sini, dék! ‘Kakak’ ada di sini!!SESI KETIGA
• Nyokap habis ngomel-ngomel gitu gara-gara liat tagihan telpon rumah.
» Lho, emang berapa?
• Dua-setengah.
» Hahaha! Gila!
Saya: Gila?? Cuma gila?? Itu sih namanya modyar!!! Gue yakin banget dua-setengah itu masih diikuti sama lima digit angka nol di belakangnya, bukan cuma empat!
» Kok bisa ngomelnya ke elo?
• Ya gimana gak ngomel ke gue? Kakak gue kan masih di Thailand, baru balik taun depan. Bokap sama nyokap udah gak pernah pake telpon rumah karena kalo nelpon pake hape. Ya otomatis emang gue doang yang make.
» Nelpon sapa aja lo?
• Ya iya sih, dipake nelpon-nelpon ke London… Habis kangen mulu gue sama Nico!
Saya: Ya ampuuuunnnnnn!!! Bener deh! Kalo gitu ceritanya, long distance relationship’s never work for me! And will never work!
Pembicaraan terus berlanjut.
Komentar serupa sangat mungkin akan dilontarkan juga pada saya.
ADA 7 KOMENTAR:
di "ruang kerja" saya, hanya nyamuk yang nguping
wah, jaune blm ada kelanjutan lagi, kirain udah :D
*has nothing to say about the abeges*
akh yg benerr...
bukannya waktu kmaren sambil nunggu "client" dateng kamu juga keluar masuk butik yang itu tuh... . :> ..
guk! kenalkan aku pada dua abegeh itu
wah, bagus ini. bisa jadi bahan cerpen .. :D
sir mbilung:
coba ditangkep nyamuknya mas... itu saya bukan?! ;D
anima:
udah selese kok... dari tujuh taun yang lalu ;-)
*wish me luck ya...
memed:
kan sama dirimu juga! ;D
nero aka. pakDok:
gak mau ah! ntar saya dilupakeun lagi!
ndoro kakung:
seperti cerita selingkuhannya panjenengan itu tho?! ;-)
*hahaha bikin gosipp... bikin gosiipppp
gw sebel sama abege, sebel abis!
nggak peduli omongan mereka apa, yang jelas gw sebel aja :P