Mau-mau Malu

Tuesday, October 17, 2006

“Mau makan di mana, Vas?”

“Ya terserah, di mana aja.”

“Ah, elo tuh ya! Ditanyain malah jawab terserah!”

Dia memang bukan orang pertama yang mengatakan demikian. Entah sudah berapa puluh teman yang mengomelkan hal yang sama dengannya. Mengungkapkan rasa kesal karena jawaban terserah saya.

Lalu saat mereka menunjukkan tempat makan yang mereka inginkan, saya ternyata tidak setuju.

Makin jengkellah mereka.

Katanya terserah, tapi saat mereka benar-benar membawa saya ke tempat makan yang mereka maksud, saya ternyata tidak suka.

Kalau memang memiliki pilihan tempat makan sendiri, mengapa tidak mengatakannya sejak awal? ‘Kan tinggal menunjuk saja, dan kami bisa langsung ke sana?! ‘Kan tidak perlu harus menunggu kami pergi ke tempat yang ditunjukkan si teman ini, lalu baru mengetahui bahwa saya ternyata tidak menyukai tempat itu?!

Saya memang tidak pernah bermaksud merepotkan teman-teman.

Kadang-kadang, mungkin bahkan seringkali, saya memang baru menyadari bahwa tempat makan pilihan mereka itu tidak sesuai dengan selera saya, ketika kami sudah tiba di sana. Saya baru menyadari bahwa saya sedang tidak ingin makan di sana justru saat kami sudah memarkirkan mobil di tempat parkirnya.

Pada akhirnya, ya saya memang tidak bisa menyalahkan teman-teman jika mereka seringkali memaksa saya untuk menentukan tempat makan yang akan kami kunjungi. Mereka juga tidak segan-segan menghentikan mobil tiba-tiba jika saya belum juga menyebutkan makanan apa yang sedang ingin saya nikmati.

Masalah apakah keinginan itu akan dituruti atau tidak, itu bisa ditentukan belakangan. Yang penting, saya menyebutkan terlebih dahulu apa yang saya inginkan.

Begitu kata mereka.

Tapi... kalau pun bisa, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.

The problem is... saya membutuhkan bantuan mereka sampai akhirnya mengetahui makanan apa yang sedang ingin saya makan. Saya membutuhkan petunjuk teman-teman tentang makanan apa yang mungkin sedang ingin saya nikmati.

Saya membutuhkan bantuan untuk menyadari apa yang sebenarnya saya inginkan.

Dan buat saya, bantuan semacam ini menjadi sangat berarti.

Mengingat Shrivas adalah seseorang yang banyak maunya dan ingin mencoba semuanya.

Kamu pasti masih ingat ‘kan, betapa saya demikian ingin menjadi seorang pemusik handal?! Saya mengikuti berbagai pendidikan, mencoba berbagai jenis alat musik, dan mempelajarinya selama bertahun-tahun. Yang ada, saya bosan.

Saya pikir, saya memang ingin menjadi pemusik. Saya pikir saya memang ingin menjadi seperti kakak-kakak dan adik saya yang mahir bermusik. Tapi kenyataannya, baru beberapa tahun menekuni, saya mendadak bosan.

Saya pernah juga mengikuti les menari.

SI KRIWIL yang menemani saya kala itu. Kami mengikuti les tari Bali. Rasanya sangat menyenangkan saat harus mengenakan kain sebagai bawahan setiap kali kami berlatih. Dengan diiringi gamelan, kami menggerakkan tubuh sesuai irama. Dengan jari-jari dilentikkan, juga mata dibelalakkan dan melirik bersamaan dengan gerak kepala ke kanan atau kiri.

Pementasan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kami, saya dan SI KRIWIL, datang beberapa saat sebelum waktu pementasan. Kami menghampiri tim pengurus yang memang sedang merias teman-teman yang juga akan mengikuti pentas. Tapi ternyata, kami tidak bisa ikut naik ke atas panggung karena kostum kami tidak mereka bawa.

Hari itu pun menjadi hari terakhir bagi saya untuk mengikuti les tari Bali.

Lalu, saya juga pernah ingin menjadi seorang fotomodel.

Keinginan itu muncul saat teman dari salah seorang kakak saya memberikan tawaran itu. Teman kakak adalah seorang fotografer di sebuah majalah remaja kenamaan di usia saya kala itu, dan ia ingin memotret saya untuk cover majalah edisi berikutnya. Kakak mendorong saya untuk mencobanya. Tentu saja saya tertarik. Walaupun pada akhirnya sesi pemotretan tidak jadi dilakukan karena waktu yang ditentukan adalah saat di mana saya masih harus mengikuti jam pelajaran di sekolah.

Kami pun menyusun ulang jadual pemotretan.

Tapi di sela-sela menunggu jadual baru, tiba-tiba saja keinginan untuk mencobanya pupus begitu saja. Pemotretan pun tidak jadi dilakukan.

Entah apa yang terjadi, beberapa tahun berselang, bukan lagi kakak yang mendorong saya untuk mencoba acara potret-memotret itu. Ayah sudah turun tangan. Beliau yang masih juga belum kehilangan semangat untuk mendorong saya mendaftarkan diri ke salah satu kompetisi kecantikan yang diadakan setiap tahun oleh sebuah majalah ternama.

“Papa, putrinipun panjenengan iku kegendutan*,” begitu dalih saya.

Beliau tertawa, dan malahan mendorong saya untuk menurunkan sedikit berat badan.

Kalau hendak diurutkan, mungkin kegiatan-kegiatan yang saya coba sudah bermacam-macam. Segala hal yang mungkin sampai yang tidak mungkin terpikirkan olehmu sekalipun, bahkan oleh saya juga, mungkin sudah pernah saya coba.

Tapi lucunya...

Saya justru menemukan apa yang memang saya inginkan justru di saat yang tidak terduga. Justru di saat saya tidak pernah berniat mencobanya.

Saat itu saya masih menjalani semester pertama perkuliahan. Salah satu matakuliah yang saya ikuti mengharuskan kami, peserta matakuliah tersebut, untuk membuat suatu hasil karya apapun yang menggambarkan diri kami masing-masing. Dan tugas tersebut berlaku sebagai tugas akhir semester matakuliah itu.

Teman-teman mulai merencanakan untuk membuat lukisan, ada yang membuat origami burung-burungan, ada yang membuat kliping, dan berbagai macam ide mereka lontarkan.

Lalu saya?

Saya masih belum bisa menemukan apa yang akan saya buat. Hingga dua minggu menjelang pengumpulan tugas.

Dan entah mengapa, kemudian muncul gagasan dalam kepala saya untuk membuat sebuah buku cerita. Bukan buku cerita bergambar seperti Asterix, Lucky Luke, atau Tintin. Tapi sebuah buku cerita, yang mungkin lebih tepat disebut novel, yang di dalamnya berisi dongeng anak-anak.

Tanpa berpikir panjang, saya mulai mengetikkan cerita tersebut.

Dalam satu-setengah minggu saya menyelesaikan sekitar 200 halaman buku cerita itu, lalu di waktu yang tersisa, saya memaksa JULES untuk membuatkan cover bukunya. Kemudian setelah cover selesai, saya menge-print-nya beberapa kali, membawanya ke tukang fotokopi untuk menjilidkannya.

Dua minggu yang mendebarkan.

Saya harus menyelesaikan tugas itu.

Namun, setelah selesai, rasanya saya ingin mengulangi waktu dua minggu yang sudah berlalu. Menyenangkan rasanya membiarkan isi kepala saya berjalan tanpa henti, menciptakan sebuah alur cerita yang akhirnya tinggal saya ketikkan saja.

Yah... melalui petualangan JAUNE itulah memang saya baru tahu bahwa menulis bisa demikian menyenangkan.

Saya juga baru tahu bahwa akhirnya saya memang ingin menulis.

Saya ingin terus menulis, seperti sekarang.

Bukan karena semua orang rela mengantri untuk mendapatkan satu atau bahkan setengah lusin donat Creepy Creep**, maka saya ikut mengantri karena saya pikir saya menginginkannya juga. Bukan karena semua orang mengatakan bahwa donat J.Lo** memang enak, lalu saya ikut membeli karena apa yang dikatakan orang-orang itu. Bukan karena seorang teman terus-terusan meminta saya untuk mencoba donat buatan Donkey Donut**, maka saya mengiyakan bahwa memang itulah yang saya inginkan.

Kalau ternyata donat buatan Ibu lah yang ingin saya nikmati, ya memang sudah seharusnya itu ‘kan yang saya katakan?!

‘Duh... kok jadi membahas donat?

Oh, kamu memang hendak mengajak saya makan?

Boleh.

Di mana?

Yaa... kamu saja yang menentukan, bagaimana?



*dalam bahasa Indonesia: "Papa, anakmu ini kegendutan,"


** brand donat karangan saya sendiri ;-)


website page counter

ADA 10 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

terus menulis mbak dosen, anda baru saja mendapatkan penggemar tulisan anda yang baru =)

salam kenal mbak dos =)

October 18, 2006 12:39 AM  
» Blogger Bangsari:

kayanya yang punya sindrom susah diajak makan seperti maba ini banyak deh. saya juga mnegalaminya lho... bedanya, saya tak tahu tempat makan di jakarta selain di seputaran kantor. jadi tak bisa menolak. he..he..

October 18, 2006 7:51 AM  
» Anonymous Anonymous:

hhahahaha... benar2 menyebalkan orang kayak mbak dosen ini :P
bikin ilfil orang makan tuh mbak :P

October 18, 2006 4:36 PM  
» Anonymous Anonymous:

Pengen tahu hal apalagi yg diinginkan mbakDos tp malu-malu? *wink-wink* Kalau petualangan Jaune saya ngikutin terus, kok. Salam buat Gros yg udah maen ke klinikku :)...mbok Nero-nya diajak sekalian. Woof!Woof!

October 18, 2006 5:46 PM  
» Blogger thornandes james:

kita publish bareng aja yuk. .

October 19, 2006 1:19 AM  
» Anonymous Anonymous:

mbok ben gendut sing penting kan manis

hahaha

October 19, 2006 8:16 AM  
» Blogger mutiara nauli pohan:

paling males klo ada yg ngejawab terserah uhhh

October 19, 2006 10:42 AM  
» Blogger mbakDos:

bintangjatuh:
waahhh berasa jadi selebritis *jadi maluw lagi deh ;D
makasih lho udah berkunjung...

bangsari:
mungkin saya harus sekantor sama dirimu nih... biar gak protes mulu kalo diajak makan ;D

thuns:
selain diajak makan, rasanya saya bukan orang yang bikin ilfil deh *halaahh ;D

pakDok:
yang saya inginkan tapi malu2? ehm... itu lho... itu tuh... *aahh apa siihhh???
oia, dapet salam dari nero tuh...

james:
mau dong... yuk...

mata:
duh... jadi kepingin malu lagi nih ;D

uli:
wah... ntar kalo mau ketemu uli saya latian dulu biar gak jawab terserah kali ya ;-)

October 20, 2006 9:33 AM  
» Anonymous Anonymous:

"terserah deh... "
berarti saya belum bisa membuka komunikasi dengan orang yg diajak bicara..

eh lempar2 batu nya ntar disambung lagi yah lagi di kampung neh hhehehe...

October 22, 2006 11:27 AM  
» Blogger mbakDos:

memed:
mungkin saya juga belum bisa ;-)

selamat idul fitri, med...
selamat pulang kampung juga

October 23, 2006 9:27 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS