Jackpot!

Tuesday, October 02, 2007

“Ayo, bangun! Katanya mau ke dokter?!”

“Iyaa... bentar lagi deh, Ma... Masih ngantuk nih...” sahut saya sambil membalikkan badan dan kembali memeluk guling erat-erat.

“Eeehh... udah mau jam lima ini. Belum mandi, lagi?!”

“Ya gak usah mandi. Dokternya juga gak bakalan nanya-nanya aku udah mandi apa belum,” sambung saya sekenanya dari balik guling yang ujungnya belum beranjak dari wajah saya. Masih dengan mata terpejam.

Wiss jan, cah iki! (baca: Dasar anak ini!)”

Ibu pun keluar, meninggalkan saya yang masih berkeras untuk tetap berbaring di atas tempat tidur.

Saya tahu, kejadian yang dialami sepanjang hari tadi pada akhirnya tidak memberikan saya pilihan selain mengunjungi dokter. Entah apa yang sempat hinggap di pencernaan hari sebelumnya, tiba-tiba saja pagi ini saya diserang sakit perut yang luar biasa.

Enam butir obat berwarna hitam sebenarnya sudah dikonsumsi, sesuai dosis yang tertera pada wadahnya. Namun toh perut saya masih tidak bersahabat. Masih saja membuat saya berulang kali harus secara mendadak menghentikan aktivitas hanya untuk berlari (terbirit-birit) menuju kamar mandi.

Jelas ‘kan pilihannya?!

Daripada harus menganggap bahwa kamar mandi itulah kamar tidur dan pusat segala aktivitas, saya sih pastinya lebih memilih untuk mengunjungi dokter.

Bersama dengan Ibu, beserta mbakyu dan suaminya, siMas, kami pun berangkat menuju rumah sakit tempat Pak Dokter berpraktek. Moncil pun tak mau ketinggalan ikut serta mengantarkan tantenya.

“Tante Api sakit perut ya?! Kebanyakan makan keripik kaliii...”

“Eh, enak aja! Aku buka bungkus keripik, kamu yang ngabisin tuh!”

“Enggak. Tante Api tuh yang ngabisin. Nanti bilang aja sama dokternya kalo sakit perutnya kebanyakan keripik,” begitu lanjutnya dengan wajah sotoy nan meyakinkan. Membuat saya gemas dan jengkel setengah mati.

Walau hanya untuk sesaat.

Karena sepanjang perjalanan berikutnya, ia menjadi sangat pendiam. Moncil tidak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya duduk dengan diam di antara saya dan Ibu, dengan sesekali menoleh ke kanan-kiri. Entah apa yang terjadi padanya.

Belum sempat mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi, tiba-tiba ckiiiittttt...

Rupanya siMas menekan pedal rem terlalu dalam, dan terlalu tiba-tiba. Membuat badan saya, Ibu, dan Moncil nyaris terhempas ke depan.

Seorang pria berambut gondrong menghentikan mobil sedan putih di depan kami. Merentangkan tangannya ke samping sambil berteriak-teriak, “Berhenti!!” Dan muncullah gerombolan pria lain kami dengan tujuan yang sama: menghentikan semua kendaraan.

Dari pintu pagar yang sama, keluarlah serombongan pria lain lagi. Dengan langkah lebih cepat mereka berjalan dengan membawa tongkat, balok kayu, penggaris besi, batu, atau bahkan tidak membawa apapun. Diiringi dengan teriakan-teriakan bak penyemangat menuju medan pertempuran, mereka mempercepat langkah menuju ke jalanan di depan yang telah ‘dikosongkan’ oleh kawan-kawan mereka.

Saya kembali menolehkan kepala, dan menemukan tulisan ‘Universitas Kristen Indonesia’ terpampang tepat di samping pintu pagar.

And I had a very bad feeling about it.

“Mundur semua! Mundur!!!” teriak si pria gondrong.

Kontan membuat saya menoleh ke belakang, menemukan semua jenis kendaraan sudah merangsek ke depan. Sedan, minibus, mikrolet, bajaj, metro mini, patas, bahkan sepeda motor, semua sudah memadati jalanan, berjajar rapat satu dengan lainnya.

Benar-benar tolol!

Semestinya pria-pria itu cukup sadar bahwa kampus mereka terletak di depan jalan raya yang selalu dipadati oleh kendaraan. Dan harusnya mereka pun tidak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa jalanan itu hanya bisa digunakan satu arah.

“Gimana sih nih semua?? Munduurr!!!”

Tiba-tiba Moncil tersedu-sedu.

Oh God! What is going to happen over here???

“Kita turun, jalan kaki bawa Moncil ke RSCM, gimana?” tanya Ibu tiba-tiba pada saya.

“Jangan, Ma. Terlalu riskan!” sahut mbakyu.

Ibu terus saja menatap pada saya, seolah meminta dukungan atas usul yang diberikannya.

Saya menatap ke depan, dan samar-samar menemukan pemandangan gerombolan pria yang tadi muncul dari samping mobil kami ini sudah disambut oleh rombongan lain yang berlari dari arah yang berlawanan. Memalingkan pandangan ke samping kiri, saya mencoba menelusuri pagar area rumah sakit yang dimaksudkan Ibu, mencoba mencari pintu masuknya. Yang ternyata letaknya agak di belakang posisi mobil kami.

Sementara di dalam dekapan saya, Moncil masih saja tersedu-sedu, melihat ke arah yang sama.

Darn!

I hate this situation!

I hate the time when I’m the one who should make a decision! Especially in a time like this!

“Oke. Aku sama Mama akan jalan kaki ke belakang, bawa Moncil masuk ke RSCM,” jawab saya, “Nanti kita telpon-telponan lagi ya, Mbak-Mas. Dan please... hati-hati, ya...”

Dalam sekejap, saya dan Ibu sudah meloncat turun dari mobil. Ibu menggandeng erat tangan Moncil dan terus berjalan ke belakang. Menyusuri pembatas jalan yang terbuat dari beton setinggi satu meter, yang disusun sebagai pengganti sekat jalur cepat-jalur lambat.

Lampu-lampu kendaraan menyorot dengan terangnya seolah menyambut kami. Para pengemudi yang mulai keluar dan berdiri di samping kendaraan mereka sepertinya juga menatap kami. Sementara kami justru berjalan semakin mendekat ke arah mereka, mencoba mencari celah di mana bisa melewati pembatas beton yang memisahkan kami dengan area RSCM.

Melihat Ibu mulai tertatih-tatih menggenggam erat tangan Moncil, dan Moncil yang mulai kerepotan harus menghindari kendaraan dan orang-orang yang memadati jalanan, saya pun mengambil alih tugas Ibu.

“Kamu tuh sakit!!! Udah, biar Moncil jalan aja!” seru Ibu setengah berteriak, mencoba mengalahkan bisingnya suara kendaraan yang bercampur dengan suara keras orang-orang.

“Udahlah Ma, jangan berantem sekarang!” sahut saya tak kalah keras, masih menggendong Moncil dengan sebelah tangan, dan sebelah tangan lain menggandeng Ibu.

Di belakang kami, orang-orang mulai ikut berjalan dan setengah berlari menuju ke arah yang sama. Suara teriakan masih terdengar jelas, dan semakin dekat.

Lalu benar saja.

Setelah kami berhasil mencapai area RSCM, dan saya menurunkan Moncil, barulah kembali terasa snut-snut itu di dalam perut. Keringat dingin pun mulai bercucuran di wajah dan seluruh tubuh, membuat saya harus menanggalkan jaket yang sedari tadi menutupi badan dan juga kaos yang saya kenakan.

Ingin rasanya saya duduk di pelataran Pusat Rujukan Obat (atau apalah namanya) ini, setidaknya untuk meredakan sedikit rasa melilit yang mulai menyiksa perut saya. Tapi saya tidak bisa. Saya masih harus mencari cara bagaimana agar kami bisa mencapai area Universitas Indonesia, yang sebenarnya masih berada dalam satu komplek dengan RSCM.

Ibu memang tidak meminta saya untuk mencarikan jalan yang saya maksudkan itu. Ia bahkan tidak memberikan komentar apapun saat saya mulai meletakkan pantat di anak tangga teratas. Namun melihatnya terus melongokkan kepala keluar, seperti mencoba mencari apa yang juga sedang saya cari, membuat saya mengurungkan niat untuk duduk.

“Lewat mana ya?!”

“Satu-satunya ya mungkin mlipir lewat sini, Ma,” sahut saya sambil menunjukkan jalan yang saya maksud, “tapi liat itu... udah ada batu-batu gitu.”

Seorang pria yang kebetulan melintas di depan saya pun segera menyahut, “Udah Bu, ditunggu aja. Jangan lewat sini, ini udah pada ngelempar batunya sampe sini.”

Oh, great!

Jadi kami harus menunggu, bahkan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri?!

Tapi mungkin memang hanya itu yang bisa dilakukan. Mungkin hal yang sama pula yang terpikir oleh Ibu, sehingga membuatnya membuka pintu terdekat di mana dari luar tampaknya memang ada seseorang di dalam sana. Membuat Ibu memberanikan diri untuk meminta ijin kepada si Mbak yang kebetulan adalah seseorang itu, untuk duduk di atas bangku di balik pintu.

Bukannya mempersilakan kami untuk duduk, ia malah menawarkan diri untuk membantu kami mencapai suatu area yang bisa membawa kami ke Universitas Indonesia. Just like what I’ve been trying to find out!

I don’t know what’s happening here actually, who the hell is she, why she’d be so kind to us. But I know one thing. I know that I do believe in miracle. I do, just as always.

Dengan panduan si Mbak, kami masuk ke bagian dalam ruangan. Ia membukakan rolling door yang sebenarnya sudah tertutup, hanya agar kami bisa mencapai ‘jalan tembus’ yang dimaksudkannya. Kami pun berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Gelap dan sepi. Saya tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa kami, dan saya juga tidak yakin bahwa Ibu pun mengetahuinya.

Poli anak, begitu kata si Mbak mengenai tempat yang akan kami capai. Dan memang demikianlah tulisan yang tertera di dinding sebelah kanan ini.

So, where’s next?

Di luar pintu kaca yang terbuka di depan sana, terparkir sebuah ambulans, sebuah sepeda motor, dan sebuah... gerobak?! Saya melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Ibu dan Moncil duduk di sebuah bangku panjang, untuk memastikan di mana sebenarnya kami berada. Seiring dengan langkah kaki menuju keluar, sayup-sayup yang semula saya dengar berubah menjadi teriakan-teriakan yang sepertinya tidak asing di telinga saya. Hanya saja kali ini ada suara peluit yang ikut terdengar. Polisi, mungkin.

Okay, kalau begitu kami pasti sedang berada di balik dinding di mana kami bermaksud untuk mlipir tadi. Tapi harus ke mana lagi jadinya?!

Tempat saya berdiri ini sepertinya semula adalah kantin atau seperti kumpulan tempat makan dengan gerobak-gerobak, yang sekarang ditutup oleh para pemiliknya karena sudah habis jam kerja mereka. Tak jauh dari ambulans yang saya lihat tadi, ada dua lagi mobil ambulans yang sama. Sementara di sebelah kanan, ternyata sebuah jalan yang menghubungkan tempat kami berada dengan lapangan parkir. Yang persis di bagian luar pagarnya, merupakan area keriaan para mahasiswa.

“Nih, mbakyu nanya kita ada di mana. Dia sama siMas udah berhasil markir mobil di UGD RSCM,” kata Ibu tiba-tiba seraya menyodorkan handphone-nya pada saya.

“Kalo kamu berdiri ngadep UGD, kamu liat ke kanan deh... Ada plang ATM Mandiri gede banget. Nah, di sebelah ATM itu ada jalan masuk, aku ada di dalemnya,” sahut saya kepada mbakyu di seberang sana.

Wait... tapi dari mana saya tahu bahwa kami memang berada di belakang ATM? Saya hanya melihat plang itu sekilas sebelum kami masuk ke dalam Pusat Rujukan Obat tadi. Tapi saya benar-benar tidak tahu apakah di sebelahnya memang ada jalan masuk yang saya maksudkan. Saya bahkan belum sempat memastikan apakah di depan jalan kecil itu memang ada plang ATM-nya.

Aduh, saya keburu menutup teleponnya! Kalau begitu, saya harus memastikan dulu apakah memang ada plang ATM yang saya maksud tadi di ujung jalan ini.

Eh, tunggu...

Bagaimana dengan... AYAH????

Oh, God!

Please give us Your mercy...

Ayah pasti sudah dalam perjalanan menuju ke sini juga dari rumah sakit kami di seberang sana!

Beliau sedari tadi sudah menunggu kehadiran kami di sana, yang sebenarnya letaknya hanya tinggal beberapa meter lagi dari tempat kami terjebak keriaan ini. Dan mengetahui apa yang terjadi pada kami, yang bisa dipastikan bahwa Ibu sudah memberitahu beliau, tidak ada kemungkinan lain yang akan dilakukannya selain... menyusul kami!

Dengan berjalan kaki!

“Papa di mana?” todong saya segera setelah beliau menjawab panggilan di handphone-nya.

“Udah di jalan mau ke sana kok. Kamu di RSCM sebelah mananya?”

I don’t like it! I really don’t like it! It sounds like nothing’s happen over there!

I tell you what... This is what I hate about my old man!

“Aku... gini-gini... nanti Papa masuk ke pintu gerbang RSCM, di depan persis akan liat UGD,” dan saya pun memberikan informasi yang sama persis seperti yang saya berikan pada mbakyu.

Dan handphone pun ditutup.

Eh, tadi ‘kan saya mau memastikan dulu letak plang ATM-nya!

Saya serahkan kembali handphone kepada Ibu dan memintanya menunggu di dalam bersama Moncil, sementara saya akan berjalan sedikit keluar. Baru hendak meninggalkan mereka berdua, tiba-tiba handphone Ibu berbunyi. Dan di saat yang sama, seorang perempuan di luar sana tengah celingak-celinguk seperti tengah mencari sesuatu, sambil menelpon tampaknya. Di belakangnya, seorang pria juga melakukan hal yang sama.

Itu mbakyu dan siMas!

Semestinya saya memang bersyukur karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan mereka, dan bukannya saya tidak melakukannya. Tapi... di mana Ayah???

Saya tidak mau meneleponnya lagi. Entahlah, saya hanya takut akan membuatnya semakin panik jika ia tahu bahwa saya mengkhawatirkannya. Tapi kalau tidak mengetahui kabarnya seperti ini...?!

Menunggu.

Masih menunggu.

Lagi.

“Nih, Papa...” kata Ibu, lagi-lagi dengan tiba-tiba menyodorkan handphone-nya pada saya.

“Papa di mana?”

Ah, peduli amat beliau tahu kalau saya khawatir!

“Aku udah di depan UGD. Ke mana nih?”

Hhh... Thank’s God!

Lagi, saya mengulangi informasi yang sama. Di belakang jalan masuk samping plang ATM. Yang ternyata memang sudah dibuktikan benar! Di ujung telepon, beliau masih berbicara pada saya sambil menyebutkan tempat yang sedang dilewatinya, untuk memastikan bahwa ia memang berjalan ke arah yang benar. Saya mendengarkan, menuntunnya ke mana ia harusnya berjalan.

And there he is!

Mengenakan kemeja kembang-kembangnya, celana panjang, dan sepatu kulit. Rambutnya agak berantakan seperti sehabis tersapu angin.

Ia tersenyum.

Untuk sesaat, sepertinya rasa sakit dan melilit yang sedari tadi melanda perut saya pun hilang. Setelah apa yang kami alami beberapa menit terakhir ini, bertemu kembali dengan Ayah merupakan hal paling membahagiakan yang saya alami.

Hiperbola?!

Mungkin.

Tapi jika kamu tahu apa yang telah terjadi pada Ayah dalam perjalanannya menyusul kami, kamu akan tahu bahwa mungkin sebuah hiperbola pun jauh lebih menyenangkan untuk didengar.

Cause he’s not good at hyperbolizing.

website page counter

ADA 10 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

wuah, apa yang terjadi dengan Ayah mbak? Dan.. ini yang katanya sakit (bukan sakit hati) kemaren itu yah?

October 03, 2007 8:12 AM  
» Blogger rymnz:

komplikasi?..
gue jg yakin pasti bukan karna kripik tapi karna.. . :D..
gemana ikut lempar2 batu juga tak?..

October 03, 2007 1:10 PM  
» Anonymous Anonymous:

wuih, critanya mirip film hollywood euy. cut to cut editing yang ketat dan alur nan rancak. bravo, mbak! situ layak jadi sutradara :D

October 03, 2007 3:21 PM  
» Blogger mbakDos:

anima:
yaaa akhirnya sakit hati juga sih kalok kejadiannya begitu! ;D

memed:
pengen sih ikutan, tapi berhubung udah pensiun jadi preman, maka yaa... :P

ndoro kakung:
ah panjenengan bisa aja! jadi malu lho saya ini! :P

October 04, 2007 3:24 PM  
» Anonymous Anonymous:

setiap kesini aku selalu "terjebak" loh, padahal kalo ngeliat tulisan yang panjang lebar aku suka ngasal aja bacanya. tapi si mbak ini gaya ceritanya asik, alur gak pernah lepas, tetep fokus, n ngebuat aku kayak anak umur 5 tahun yang lagi baca komik wiro sableng. ah, kereeeennnn.....

betewe, tetep hati2 di jalan ya...

October 05, 2007 9:52 AM  
» Blogger mbakDos:

rama:
terjebak atau dengan sengaja menjebakkan diri?! hehehehe...
anyway, thanks a lot! i mean it! ;-)

October 06, 2007 9:40 AM  
» Blogger Iman Brotoseno:

ceritanya kayak skenario, ada sub plotnya...

October 08, 2007 11:38 PM  
» Blogger -Fitri Mohan-:

hallo mbakDos, salam kenal. baru sekali kesini langsung jatuh cinta.:D

moga2 sakitnya udah sembuh ya mbakDos. btw, saya juga suka keki kalau lewat antara UKI dan UBK. itu mereka berantemnya kok masih juga ya sampe sekarang? heraaan deh.

saya ikut keringetan nih bacanya. :D

October 09, 2007 1:13 PM  
» Blogger mbakDos:

iman brotoseno:
berminat mempekerjakan saya, mas?!
*ngarep :P

fitri mohan:
salam kenal juga, mbak!
hiyak... kalo melintasi jalanan itu deg2annya layaknya nunggu door prize deh! gak tau UKI vs UBK, UKI vs YAI atau YAI vs UBK :-|
*menyodorkan tisu

October 09, 2007 3:56 PM  
» Anonymous Anonymous:

kalo ngomongin soal deg2an, rasa2nya mba api ini lebih banyak dan sering, bahkan bisa dengan mudah mendeskripsikan deg2an itu secara berbeda-beda....
pizzzz

October 15, 2007 12:56 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS