Tuesday, September 11, 2007
Sampai kemudian kami (atau saya, mungkin) baru menyadari.
Bukankah justru menyenangkan ya pulang ke rumah tanpa dibayangi oleh buku yang harus dibaca malam harinya? Atau mungkin rasa bersalah yang menghantui jika dalam perjalanan pulang hendak menyempatkan diri mampir sejenak di mini market untuk membeli cemilan? Atau bahkan perasaan tidak berdaya karena tidak ada yang bisa dilakukan selain begadang untuk menyelesaikan tugas itu?
Tapi ternyata memang bukan saya satu-satunya yang merayakan kegembiraan ini.
Teman-teman mulai menyusun kegiatan yang akan dilakukan selepas keluar dari ruang kelas. Ada yang sudah menelpon sang kekasih untuk minta dijemput, ada yang langsung berniat menghabiskan waktu dengan creambath dan massage, ada juga yang hendak meluncur ke salah satu pusat perbelanjaan murah di dekat kampus.
Saya?
Kalau saya sih lebih ingin menghabiskan waktu dengan... TIDUR! Saya benar-benar ingin segera tiba di rumah, membaringkan diri di atas tempat tidur, lalu memejamkan mata dan membiarkannya terlelap. I really need it so bad! Alhasil, bersama dengan seorang teman yang juga memang berniat segera meninggalkan kampus, saya langsung berjalan menuju lapangan parkir. Mobil-mobil masih berjajar dengan rapi layaknya si hitam. Pemandangan yang sangat jarang ditemui ketika saya melangkahkan kaki ke sana untuk membawanya kembali pulang. Sejarang saya kembali ke lapangan parkir di kala matahari masih terik seperti ini. Dan saya semakin menyadari begitu cepatnya kegiatan di kampus berakhir saat memanaskan mesin si hitam sembari mendengarkan siaran radio. Suara yang agak asing terdengar dari sana, bukan milik si penyiar teman saya. Bahkan jadualnya mengudara pun belum dimulai. Sayup-sayup terdengar suara tawa dari speaker si hitam. Tampaknya perbincangan seputar Jakarta Outer Ring Road (JORR) belum juga mereda hangatnya. Seorang Bapak, yang mungkin juga adalah pendengar setia stasiun radio ini, tengah mengutarakan pendapatnya mengenai keberadaan jalan bebas hambatan yang dimaksudkannya. Sinis, nyinyir, penuh sindiran, dengan gaya bicara yang (harus diakui) memang lucu, membuat sang penyiar tertawa. Eh, ngomong-ngomong soal jalan tol yang baru itu, saya malahan belum pernah mencoba melintasinya barang satu kali pun. Padahal jalan tol tersebut dibuat dengan tujuan menghubungkan kawasan Timur Jakarta dengan wilayah Selatannya. Yang artinya... membuat jarak antara rumah dan kampus menjadi semakin terjangkau. Mumpung masih siang, kenapa tidak saya coba saja sekarang?! Bersama si hitam, saya pun segera berbelok meninggalkan jalan raya nan macet yang biasa ditempuh dalam perjalanan pulang. Melintasi gerbang tol pertama yang ditemui setelah rel kereta api berhasil dilalui, saya mengangsurkan enam ribu rupiah kepada si Mas penjaga gardu. Hhh... enam ribu?? Hanya untuk memperoleh ijin menggunakan jalan bebas hambatan? Tapi yaaa sudahlah... Hitung-hitung sedang mencoba, rasanya tidak ada salahnya. Toh belum tentu setelah hari ini, saya akan kembali menggunakan jalur ini untuk pulang ke rumah. Jalur yang... sebentar... Sudah sekian kilometer berlalu sejak si Mas penjaga gardu menyambut saya. Tapi saya belum juga berhasil menemukan jawaban di mana seharusnya si hitam dibelokkan jika ingin menggunakan rute baru itu? Sebenarnya memang sudah beberapa kali si penyiar teman saya sempat dengan gencar memberitahukan rute yang saya maksudkan. Juga penyiar lainnya, dan para pendengar yang mengirimkan SMS atau menelepon untuk melaporkan kondisi lalu lintas di jalur tersebut. Tapi mana saya ingat? Haduh... jadi ke mana ini saya harus membawa si hitam? Mana gardu berikutnya sudah tampak, lagi?! Tunggu... tunggu... Menurut petunjuk jalan berwarna hijau nan besar di atas sana itu, jalur ke kiri akan membawa saya ke Cawang, Tanjung Priok, atau Bogor. Sementara yang ke kanan itu menuju Cilangkap, Cakung, dan Bandung. Okay! Pasti ke kanan! Jalur yang membawa saya pada jalanan yang lebih lebar dan lebih bergelombang. Yang membuat saya sempat terguncang-guncang bersama si hitam selama beberapa saat. Dan juga semakin memunculkan perasaan sangsi bahwa saya masih tetap berada di kawasan ibukota Jakarta. Sepanjang jalan yang tengah saya lintasi ini, yang terlihat di sebelah kanan dan kirinya hanyalah rerumputan berwarna hijau beserta jajaran pohon. Beberapa rumah yang jaraknya berjauhan satu dengan lainnya pun tampak di antaranya. Kok rasanya malah seperti tengah berada dalam perjalanan pulang kampung melintasi pantura ya?! Hanya saja tanpa warung-warung makan yang tempat parkirnya dipenuhi dengan truk dan bus. Where the hell am I? Kenapa semakin sedikit kendaraan yang melintasi jalan yang sama dengan saya sekarang ini? Memang sih, kelihatannya antrian yang cukup panjang menjelang gardu-gardu keluar yang tadi saya lintasi telah membuat kendaraan yang tersisa bersama saya menjadi semakin berkurang. Tapi masa iya sebanyak itu? Terus menyusuri jalan bebas hambatan ini, rasanya saya dan si hitam berada semakin jauh dari tempat terakhir yang saya kenali. Merasa keberadaan saya di tengah jalanan ini semakin asing, membuat kekhawatiran saya akan tersesat pun nyaris tak terbendung. Hhh... please help mee... Di mana saya sekarang ini??? Saya tahu, sebenarnya yang harus dilakukan hanyalah tinggal mengangkat handphone dan menghubungi si penyiar yang sudah memulai tugas siarannya. Tentu saja bukan untuk memintanya datang menjemput. Tapi paling tidak, saya bisa mencari tahu di mana sebenarnya saya tengah berada sekarang ini. Atau, memintanya untuk memberitahukan ke mana tepatnya jalan bebas hambatan ini akan membawa saya. Yang pasti, saya harus mengakhiri ketersesatan (baca: perasaan tersesat) ini! Perlahan telapak kaki pun saya angkat dari pedal, memelankan sedikit laju si hitam. Mempertahankannya untuk tetap berada dalam kecepatan rendah, sementara saya mencoba mencari nomor telepon si teman itu di phonebook handphone saya. Eerrgghhh tapi... kalau nanti saya berhasil menghubunginya, ia pasti akan dengan senang hati memberikan jawaban atas pertanyaan saya. Kemudian tentunya saya pasti dengan mudah bisa mencari tahu ke arah mana nantinya si hitam harus dibawa. Lalu... berarti, saya harus merelakan rasa deg-degan (yang ternyata menyenangkan) ini berakhir?! Mmm... gimana ya?! Harus diakui, saya memang menikmati perasaan itu. Teramat sangat. Jantung berdebar, tidak tahu apa yang harus dilakukan, sibuk menebak apa yang akan terjadi berikutnya, memang terasa sangat menyenangkan. Sekalipun di saat yang sama, kondisi seperti ini juga sekaligus membuat saya khawatir bukan main. Karena tidak tahu apa yang akan dihadapi, tidak bisa menduga apa yang akan terjadi, tidak bisa menebak apa yang harus dilakukan nanti, membuat kekhawatiran itu seolah tidak akan pernah berakhir. Terdengar aneh, ya?! Jangankan kamu, saya sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa begitu. Sebagaimana yang dikatakan oleh adinda saya tersayang yang satu ini, situasi baru memang seringkali tidak mudah untuk dihadapi. Dan buat saya juga memunculkan perasaan tidak nyaman. Karena saya dihadapkan pada sesuatu yang saya tidak tahu, tapi mau-tidak mau saya harus melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan. Saya dipaksa mati-matian untuk melawan ketakutan dan kekhawatiran yang teramat sangat terhadap segala ketidak-pastian yang dialami. Tapi toh saya tidak pernah mengurungkan kembali niat untuk menikmati rasa khawatir yang sama. Karena memang tidak ada jalan lain selain menghadapinya saja, bukankah? ‘Cause being in the middle of nowhere is always bring a great stimulation for me. Yah... kalau ternyata nantinya apa yang ditemui tidak menyenangkan, tidak sesuai yang diharapkan, yaa... sebutlah itu sebagai konsekuensinya. Harus membayar enam ribu rupiah, misalnya
ADA 7 KOMENTAR:
hikikikik.. saya juga seneng kok mbak deg-degan. gimana gitu rasanya.
makanya gak ada kemajuan..
(eh ada ding, pas naik tornado, itu kemajuan dr rasa deg2an.. hehe)
naik hati pria maksutnya,yg blum ada kemajuan. ;D
hahahahaha.... kalo lewat jalan itu mang kayak jalan tol semarang gitu mbak... sepi banget dan penuh pohon di pinggirannya...
kyknya mang mesti byr 6000 supaya bisa liat pohon2 berjejer mbak... soale klo ga lewat tol yg keliatan cuman tukang ojek... huehehehe...
iin:
emang butuh kemajuan gitu dari rasa deg2annya? ;-)
bubun:
nah ntu dia bun... mungkin emang ada harga yang harus dibayar untuk bisa menyaksikan pemandangan ala semarang di kota jakarta! enam ribu rupiah, maksudnya ;D
wah sekarang dah sampe tarap deg2an.. kapan naek level.. jadi tersipu2 :P.. eh jgn2 waktu itu nanya buat tempat kencan yah?? :> :)) ...
memed:
kapan yaahhh?? :P
lagian kalo waktu itu nanya tempat buat kencan, gue sih gak akan minta referensi lo. daripada tengah2 berasyik-masyuk tiba2 lo nongol...?!
tambah limaribulimaratus rupiah, turun di cempaka putih, belok dikit nyampe deh di gading... call me ya!
anton:
yakin mau diapelin sama sayah? ;-)