Sunday, September 02, 2007
Memijakkan kaki menuju lantai berkarpet, saya sudah disambut oleh sebuah bak keranjang besi berkaki roda setinggi sekitar satu meter yang berisi penuh dengan pakaian. Dari antara tumpukan yang sudah tidak beraturan susunannya, tersembul sebuah tiang besi yang ukurannya sama dengan pembatas keranjang tersebut. Ujungnya menjepit selembar kertas bercetak merah bertuliskan 50% dalam ukuran besar. Sementara kertas merah yang terpampang di keranjang lain bertuliskan 70%.
Saya melintasi keduanya, langsung masuk ke bagian dalam toko. Mencari keranjang sejenis, yang berisikan pakaian wanita.
Dan perburuan pun dimulai.
Baru saja mulai menjelajah keranjang pertama, pengunjung kedua sudah muncul.
Seorang pria pertengahan tiga-puluh mengenakan setelan jas, lengkap dengan dasi bergaris diagonalnya. Sepatu pantovel hitamnya seperti baru saja disemir. Rambut coklat keemasan yang tersisir rapi, juga wajahnya yang bersih nan mulus. Layaknya seorang eksekutif muda yang berkantor di kawasan sekitar pusat perbelanjaan ini. Mungkin baru saja selesai menemui klien, atau justru baru hendak mengadakan pertemuan tersebut. Sambil menghabiskan waktu dengan (window) shopping. Seperti merasakan bahwa saya tengah menatapnya (dengan terpana), sampai-sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi tangan ini masih tidak bergeming menggenggam baju hitam yang sama seperti beberapa menit yang lalu, pria itu menoleh pada saya. Sebuah senyuman yang kemudian diberikannya, membuat saya menyadari seketika itu juga betapa tampannya ia. Ia membalikkan badan, memunggungi saya, menuju pada rak yang memajang pakaian pria. Membuat saya mau-tak mau melanjutkan kegiatan perburuan baju diskonan. “Isn’t it too early for shopping? They must have been just opened the store.” Setengah terkejut karena mendapati si tampan sudah berada di dekat saya, saya pun tersenyum. “Yes, it is. But I think it’s much better for me shopping so early like this… before the other customers took these things away from me,” jawab saya seraya menunjukkan padanya sepotong pakaian yang tengah saya pegang. Ia tertawa, “Yeah… I’d do the same thing if I were you.” Membuat saya benar-benar terpana mendengar tawanya yang renyah. Geez… Kok ada makhluk yang demikian tampan dan menawan seperti ini ya?! “Then why don't you try some of those things?” seru saya sambil menunjuk pada rak pakaian pria di seberang sana. Ia menggeleng, “No… no… Not this time. I already have been here just yesterday.” “Oh, okay…” Saya tersenyum, sambil mencari bahan pembicaraan yang mungkin bisa dilakukan dengannya. Mencoba untuk tidak mengakhiri percakapan ini. “But I guess having a cup of coffee with you’d be better.” Deg! Dalam sesaat, sepertinya jantung saya berhenti berdetak. Mencoba mengartikan apa yang ia katakan barusan. Having a cup of coffee? With me?? Sebentar… Kalau tidak salah mengingat, rasanya baru sekitar lima belas menit lalu ia masuk ke dalam toko ini, dan menemukan saya sebagai pengunjung pertama. Ia melihat-lihat di jajaran pakaian pria, lalu tak lama kemudian menghampiri saya yang tengah sibuk mengaduk-aduk isi keranjang diskonan. Percakapan singkat dan diwarnai dengan basa-basi pun terjadi. Dan dalam waktu beberapa menit kemudian… ia sudah mengajak saya minum kopi? “It’s… very kind of you. But I don’t think I can do that.” Saya tidak tahu kenapa jawaban itu yang diberikan padanya. Tapi entahlah… Hanya tiba-tiba saja saya merasa ada yang tidak beres tengah terjadi, dan sepertinya memang itulah yang harus dikatakan kepadanya. “What about… having lunch?” Ada apa sih ini?? Ya ampuunnn!!! Jangan-jangan pria di hadapan saya ini memang sejenis pria ekspatriat yang sering saya jumpai di pusat-pusat perbelanjaan?! Yang seringkali terlihat sedang menggandeng seorang wanita berkulit cokelat layaknya wanita Indonesia?! Pria bule dengan pakaian rapi nan perlenté, yang berjalan dengan seorang wanita Indonesia dengan pakaian serba ketat dan menonjolkan bagian tubuh yang sebenarnya tidak selayaknya dipertontonkan (baca: pinggang). Tak lupa dengan rambut panjang tergerai yang dibuat berwarna keemasan atau pirang. Lalu… pria di hadapan saya ini mengira saya adalah wanita yang sejenis dengan wanita-wanita itu? Wanita yang dengan mudah bisa diajak ngopi atau makan siang setelah melalui sebuah percakapan singkat. Atau bahkan baru bertemu untuk yang pertama kali. Yang mungkin bisa dilanjutkan dengan bertukar nomor telepon, saling menghubungi dan memberi kabar, menentukan kapan pertemuan selanjutnya akan dilakukan, menjalin hubungan yang lebih jauh, lalu… entah bagaimana lagi kelanjutannya. Saya akui, pakaian yang saya kenakan saat ini memang agak menggoda. Baiklah… bukan agak, tapi memang menggoda. Terusan berwarna hitam dengan panjang hanya mencapai dua-pertiga jengkal di atas lutut, potongan dada rendah, dipadu dengan flat sandal. Jadi tidak salah juga memang, kalau ia kemudian beranggapan bahwa saya bisa diajak ngopi. Tapi bukan berarti hanya karena mengenakan pakaian macam ini, saya bisa dengan semena-mena dituduh sebagai salah satu dari perempuan peneman para bule, ‘kan?! “I’m sorry, but I’m afraid I can’t do that either.” “Oh…” si bule mencoba tersenyum sambil terus menatap saya, seolah-olah hendak mengajukan pertanyaan ‘why?’. Tanpa diminta pun, saya dengan senang hati memberikan jawaban, “My husband’s going to be here in a moment and I’m going to have lunch with him.” Oh, Lord… Please forgive me for having sin. Entahlah… tapi rasanya itu merupakan jawaban yang paling tepat untuk diberikan padanya. Tidak dengan serta-merta mengutarakan bahwa saya menolak ajakannya, karena ia mungkin bisa mencari cara lain yang lebih ampuh, tapi langsung memberikan pengumuman bahwa saya tidak tertarik padanya karena memang sudah memiliki seseorang. And he’d better stay away from me. Memangnya dia pikir saya ini siapa? Berani-beraninya mengajak minum kopi dan makan siang hanya dalam waktu sekian menit setelah kami berjumpa untuk pertama kalinya! Berjabat tangan dan saling menyebutkan nama saja belum, tahu-tahu sudah mengira saya ini bisa dengan mudah diajak-ajak seperti itu! Enak saja mengira saya ini perempuan… murahan?! Eh sebentar… Tapi bagaimana kalau ternyata ia bukanlah pria ekspatriat seperti yang saya duga? Bagaimana kalau ternyata ia bukan sejenis pria bule pemburu perempuan seperti itu? Bagaimana kalau ia ternyata memang seorang eksekutif muda yang baru saja selesai meeting dengan klien, dan secara kebetulan bertemu dengan saya? Lalu mengajak minum kopi dan makan siang hanyalah sebuah bentuk ramah-tamah saja. Saya toh tidak punya bukti bahwa ia punya maksud yang tidak baik terhadap saya. Saya juga tidak punya bukti bahwa ia tengah menjadikan saya sebagai salah satu (calon) buruannya. Kalau begitu… apa bedanya saya dengan dia? Sementara ia (mungkin) mengira saya sejenis perempuan yang bisa dijadikan teman gandeng pria-pria ekspatriat, saya toh juga mengira ia sejenis pelaku kriminal pemburu perempuan yang bisa diajak makan siang atau makan… makan apalah! Sementara saya benci setengah mati dengan anggapan orang lain yang semena-mena mengenai diri saya, saya justru melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan: memberikan penilaian yang juga semena-mena terhadap orang lain. Isn’t it ironic?
ADA 8 KOMENTAR:
wah, parfumnya dia AXE ya mbak??
cuma aromanya green tea. jadi kesan pertama begitu menggoda, cuma selanjutnya emang agak bikin ilfil dan mengundang syak wasangka.. haha
the power of 'prasangka' yah :p
wah, jangan-jangan ajakan saya untuk ngopi itu juga dianggap ... :D
husband??? :))..
owh pantesan.. selama ini selalu nolakk.. padahal saya eksmud beneran lhoo :D:D....
wahahahahahahaha.... ya ampyuuunnn, pagi2 dah digodain om2 bule...
mending ajak dia minum beras kencur aja mbak... hahahaha
iin:
ya iyalah kalo pake aroma green tea! mengundang syak wasangka? jelas!
gimana gue gak curiga kalo dia itu sebenernya... sales minuman?! ;D
anima:
power? hmm let me think ;-)
ndoro kakung:
wooo ya jelas enggak, ndoro. tenang... gak mungkin saya menganggap panjenengan itu seperti si bule, kok!
lha wong kulitnya pekat begitu, bukankah?! *eh ampuunnn maaappp* :P
memed:
jurusnya kurang jitu kaliii ;D
bubun:
biar singset gitu?!
entar jadi elo yang tertarik sama dia lagi, bun?! ;D
yang sepasang berguncang di bajaj itu telinga, tonjolan bagian tubuh yang sebenarnya tidak selayaknya dipertontonkan itu pinggul. i think i've learn something :p
pakDok:
you've learn something?
great then! ;D