Saturday, August 18, 2007
Mereka sedang diminta untuk mengerjakan sebuah tugas, di mana setiap kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang mahasiswa. Kepada setiap anggota dari tiap kelompok akan diberikan sebuah plastik yang di dalamnya terdapat potongan-potongan puzzle. Sehingga jika berhasil disusun, masing-masing dari mereka akan memperoleh gambar pada sebuah bidang segi empat, yang berbeda untuk tiap puzzle-nya.
Setiap potongan puzzle yang ada dalam masing-masing plastik, belum tentu merupakan potongan yang sesuai untuk gambar yang mereka hasilkan. Ada beberapa potongan yang terdapat di dalam plastik milik teman sekelompok lainnya, yang membuat mereka harus saling menukarkan potongan tersebut untuk dapat melengkapi semua gambar.
Jelas bukan hal yang sulit untuk dikerjakan oleh mahasiswa seperti mereka.
Namun yang membuatnya menjadi sedikit lebih rumit (dan mungkin menyebalkan!) adalah adanya beberapa persyaratan yang harus diikuti selama berlangsungnya proses penyusunan puzzle tersebut.
Pertama, mereka tidak diperbolehkan bicara, menggumam, mengeluarkan suara, bahkan memberikan isyarat dalam bentuk apapun kepada teman-teman sekelompok. Kedua, mereka juga tidak diperkenankan untuk meminta potongan puzzle sekiranya potongan tersebut memang ada pada salah seorang teman. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan potongan puzzle, yang mungkin tidak sesuai dengan gambar yang tengah disusunnya, kepada teman mereka. Pada kelompok pertama, setiap anggota kelompok duduk di kursi masing-masing, menyusun potongan miliknya sendiri sambil menyisihkan potongan lain yang tampaknya bukan milik mereka. Kemudian menolehkan kepala ke kiri dan kanan, memperhatikan anggota kelompok yang lain. Agak mirip dengan kelompok pertama, masing-masing anggota pada kelompok kedua juga duduk di kursi masing-masing dan mengerjakan puzzle mereka. Setelah menemukan potongan puzzle milik mereka ada di meja salah seorang anggota lain, seorang mahasiswa menatap lekat-lekat temannya itu. Mungkin berharap bahwa si teman akan menyadari tatapannya, dan mengerti maksudnya untuk memberikan salah satu potongan yang ada di hadapannya. Yang menarik, setelah menyusun beberapa potongan puzzle milik sendiri, para anggota salah satu kelompok mulai berjalan mengelilingi setiap tempat duduk sambil membawa potongan yang tersisa dari plastik mereka. Berhenti di satu tempat duduk, melihat apakah potongan yang ada padanya sesuai untuk diletakkan pada gambar milik teman yang satu. Lalu kalau tidak sesuai, ia akan berangsur ke kursi berikutnya untuk melakukan hal yang sama. Tidak ada bedanya dengan komidi putar di Dufan. Setelah proses penyusunan puzzle selesai, seperti biasa mereka akan diminta untuk membagikan pengalaman, perasaan, dan hal yang dipelajari berkaitan dengan kegiatan yang baru saja mereka lakukan. Selama dua hari belakangan saya dibuat pusing oleh puzzle yang sama. Kalau mereka pusing untuk menyusun puzzle, saya pusing untuk membuatnya. Semula bermaksud membuat puzzle seperti milik MONCIL. Sebuah gambar berukuran besar yang dipotong berlekuk menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, kemudian mahasiswa akan menyusun masing-masing potongannya. Namun saya ‘kan jelas tidak ingin menyamakan tingkat intelektualitas mereka dengan keponakan saya yang baru akan menginjak usia lima tahun. Sehingga tingkat kesulitan seperti itu tentunya tidak memadai. Alhasil, dibuatlah puzzle dengan ukuran lebih kecil, di mana tiap potongan tidak lagi dipotong berlekuk, melainkan memiliki bentuk geometris seperti segitiga, segiempat, atau segi-lebih-dari-empat. Mengingat adanya kemungkinan bahwa potongan puzzle bisa saja terdapat pada plastik yang bukan miliknya, dan si mahasiswa harus saling bertukar potongan tersebut, harus ada hal-hal yang membuat permainan menjadi sedikit lebih seru. Maka pada sebuah puzzle, dibuatlah satu atau dua potongan yang sama persis dengan puzzle yang lain. Berbentuk segiempat, misalnya. Namun jika di puzzle pertama segiempat itu memang hanya berupa satu segiempat saja, di puzzle kedua segiempat yang sama itu terdiri dari dua buah segitiga. Kedua segitiga ini berasal dari dua sudut yang berbeda pada puzzle kedua itu, dan sekilas tidak akan tampak sebagai sebuah kesatuan segiempat. Sehingga jika kedua segitiga tersebut diletakkan pada plastik puzzle pertama, lalu segiempatnya diletakkan pada puzzle kedua, hanya puzzle pertama saja yang berhasil membuat gambar utuh. Sementara pada puzzle kedua, gambar tidak akan bisa tersusun karena yang dimiliki adalah segiempat, padahal bagian yang masih kosong seharusnya diisi oleh dua buah segitiga. Kalau dikira menyusunnya sudah cukup memusingkan, menciptakan sebuah puzzle (ternyata!) jauh lebih membuat saya ingin menyerah saja. Bagaimana tidak? Bentuk yang akan saling ditukarkan antara satu puzzle dengan puzzle lain pada dasarnya memang merupakan bentuk yang sama. Namun salah satu dari kedua bentuk tersebut harus dibagi menjadi dua atau tiga bagian, yang memungkinkan untuk diletakkan pada dua atau tiga tempat yang berbeda. Tidak hanya harus tersusun sebagai bentuk yang sama persis dengan bentuk aslinya, ketika kedua atau ketiganya digabungkan, tetapi harus ditentukan juga dari sisi manakah potongan-potongan yang lebih kecil itu diambil. Menjadi sulit untuk membuat bentuk yang akan ditukarkan, karena saya harus memperkirakan apa yang mungkin dipikirkan oleh para mahasiswa yang nantinya akan menyusun puzzle ini. Ketika menemukan potongan yang tidak sesuai dengan pola bentuk yang tengah disusun, mungkin mereka akan menengok ke kanan-kiri, melihat ke arah puzzle milik teman yang lain lalu mencocokkan apakah potongan yang ada padanya itu bisa digunakan oleh si teman. Kalau sesuai, maka akan diberikan, kalau tidak, bisa diberikan kepada teman yang lain. Namun apa yang terjadi jika ia menerima sebuah potongan yang kelihatannya memang bagian dari puzzle miliknya?! Karena tampaknya sesuai untuk digabungkan dengan potongan lain, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa potongan tersebut memang miliknya, ‘kan?! Hal ini juga yang mungkin akan saya pikirkan jika sayalah yang menjadi penyusun puzzle itu. Kalau memang bentuknya sesuai, sangat mungkin bahwa potongan itu milik saya. Jadi ya tinggal digabungkan saja dengan potongan yang lain, bukankah?! Padahal, ketika puzzle saya sudah tersusun dengan sempurna, masih ada teman lain yang puzzle-nya tidak bisa tersusun. Potongan terakhir yang dimilikinya tidak mungkin digabungan dengan potongan yang lain karena memang bentuknya tidak sesuai. Hal pertama yang muncul dalam pikiran saya adalah, mungkin ada potongan milik kelompok kami yang tertukar dengan kelompok lain yang mengakibatkan ganjilnya potongan puzzle milik kami. Jelas demikian karena puzzle milik teman lain dalam kelompok kami sudah tersusun dengan sempurna, kecuali milik si teman yang satu ini. Atau mungkin si pembuat memang kelebihan memasukkan potongan puzzle untuk kelompok kami. Atau… entahlah apa lagi yang mungkin terjadi. Bukannya mencoba memeriksa puzzle milik sendiri, karena mungkin potongan milik si teman tadi sebenarnya milik saya, dan yang ada pada saya merupakan potongan miliknya, tapi saya justru sibuk mencari penyebabnya pada pihak lain. Yah… saya sendiri khawatir. Puzzle saya ‘kan sudah membentuk gambar yang sempurna. Kalau memikirkan kemungkinan bahwa potongan milik si teman mungkin tertukar dengan milik saya, tentu saya harus membongkarnya dan menukarkan potongan tersebut. Tapi bagaimana jika ternyata tidak tertukar? Bagaimana jika potongan milik si teman itu tertukar dengan milik teman yang lain? Bagaimana jika ternyata tertukar dengan kelompok lain, sementara saya sudah membongkar lagi puzzle milik saya – yang sudah terbentuk dengan sempurna? Terdengar licik, mungkin. Namun semua kemungkinan itulah yang kemudian memang saya gunakan saat menciptakan puzzle-puzzle yang tadi mereka susun. Segala kemungkinan tentang apa yang akan mereka pikirkan itulah yang saya gunakan untuk ‘menjebak’ mereka. Justru karena mereka berpikir bahwa tidak mungkin potongan milik si teman itu tertukar dengan miliknya, justru karena tidak ingin merusak puzzle yang sudah tersusun sempurna, saya membuat mereka harus melakukan keduanya. Yang mungkin terjadi karena saya sudah memperkirakan apa yang mungkin mereka pikirkan. Dan hanya mungkin terjadi karena saya sudah mencoba berpura-pura menjadi mereka. Mencoba menempatkan diri sebagai si penyusun yang sudah menyelesaikan proses penyusunan dan memperoleh gambar sempurna. Sehingga bisa memahami apa yang sekiranya akan mereka pikirkan dan lakukan. And I call it as… the art of understanding others. Menyebalkan, menggemaskan, namun ternyata juga sekaligus menyenangkan dan… memabukkan *buat adik-adik mahasiswa (tsaahh… adik-adikk!), welcome aboard.“Gemes banget! Potongan punya saya ada di dia (sambil menunjuk temannya), tapi gak bisa minta. Mana dia dikedipin, gak ngerti-ngerti lagi!”
“Sebel. Habis pada ngasih bagian putihnya ke gue semua. Sisa gitu. Ya kalo disusun gak bisa jadi, lah!”
“Lucu gitu… Puzzle punya saya udah jadi, tapi punya dia (sambil menunjuk temannya) kelebihan gitu. Eehh setelah diliat-liat ternyata ada dua segitiga yang harusnya ada di tempat dia, bisa jadi satu kotak di tempat saya. Jadi bisa masuk ke dua-duanya. Tapi kalo punya saya jadi, dia gak bisa.”
Uhuy! Ternyata berhasil juga trik yang dibuat.
Please fasten your seatbelt and enjoy your trip, then
ADA 10 KOMENTAR:
*kedip-kedip*, (pasangan potongan puzzleku di kamu mbakdos, minta dong)
bikin permainan ganjil?
wah mbak, kalo kepingan puzzle di hati masih ada yg kurang, bisa noleh ke 'teman sebelah' juga gak?sapa tau punya gituuuu..hahaha
pakDok:
masa sih? kayanya yang ada pada saya ini udah genap deh jumlahnya... mungkin terbawa oleh yang lain kali...
mbilung:
genap kok, sir ;D
iin:
hahaha... sudah diduga pasti akan dilarikan ke situ topiknya!
trus kalo gak ada di teman sebelah, mungkin ngeliriknya harus agak jauh kali, in ;-)
njawabnya nggak pake kedipan? Nanti nilainya dikurangi lhooo
pantesann.. tempo hari sampe nolak diajakin nonton ternyata lg bikin puzzle toh.. *huehuehue bikin gosip:p
Menyebalkan, menggemaskan, namun ternyata juga sekaligus menyenangkan dan… memabukkan
just like you said,
" Life is about not knowing, having to change, taking the moment and making the best of it, without knowing what's going to happen next.
Delicious Ambiguity"
bagaimana dengan puzzle 'hati' neng.... pasti sangat delicious.. ;-) *tambah gossip ikut2 rymnz
pakDok:
ya iyalah, masa mahasiswa2 ini jawab pake kedipan?! yakin mereka berani? ;D
memed:
oooohhh kalo yang itu gak bisa karenaa karenaaa mmm itu lho... :P
japro:
ambiguity is always delicious, isn't it?! ;-)
termasuk puzzle hati, bang! ;D
hohohohoho... jangankan yang ngerjain puzzle-nya... yang motong juga sepertinya ikut pusing.. huehehehehe...
bubun:
yaaa baru juga mau dikasih tugas motong2in lagi, bun! :D