Merokok dengan Cinta

Wednesday, February 13, 2008

Seorang pria berjalan bergegas menyusuri trotoar. Langkahnya panjang dan cepat, seolah tidak peduli dengan padatnya jajaran kendaraan bermotor yang saling merapat di sampingnya. Asap knalpot yang bercampur dengan debu tersapu oleh angin. Suara bising klakson yang saling bersahutan juga tampaknya tak dihiraukannya. Tetap menatap lurus ke depan, seperti tidak berniat untuk menghentikan langkahnya.

Sepatunya terbuat dari kulit, walau tidak lagi berkilau. Ia mengenakan kemeja lengan panjang dan celana pantalon yang serasi. Potongan rambutnya cepak, dan sebuah kacamata berbingkai tebal menghiasi wajahnya. Di tangan kanan, ia membawa sebuah tas kerja berwarna coklat, sementara tangan kirinya menggenggam sebuah payung yang diperlakukan layaknya tongkat untuk menopang langkahnya.

Saya mungkin memiliki cukup banyak hal lain yang perlu dipikirkan, selain sekedar memperhatikan pria di trotoar itu. Kalau saja pada tas kerjanya itu tidak terpasang sebuah kincir yang terus saja berputar akibat angin yang menerpa.

Bukan karena ukurannya, yang membuat saya tidak bisa melepaskan pandangan. Hanya sebuah kincir kecil terbuat dari kertas, layaknya mainan saya dulu semasa belum disibukkan dengan rutinitas belajar di sekolah. Sedotan yang terbuat dari plastik berfungsi sebagai tangkai kincir sekaligus tempat di mana saya bisa memegangnya. Tangkai yang sama ini mencuat dari sela tas kerja pria yang saya lihat itu, dengan kincir kertas di ujung yang lain.

Yang membuat saya, dan mungkin pengendara lain menolehkan kepala sejenak untuk melihatnya. Melihat apa yang aneh dengannya.

Tapi buat saya, pria itu masih sama saja sebagaimana terakhir kali saya melihatnya. Sekitar tiga tahun lalu, ketika saya bersama Ibu dan si hitam tengah berada dalam perjalanan menuju sebuah supermarket untuk berbelanja. Pria ini berjalan di antara dua barisan kendaraan yang melaju berlawanan arah, menyusuri marka berupa garis putih terputus-putus di tengahnya. Masih membawa payung di tangan kiri, juga tas kerja berhias kincir di tangan kanan.

Dan bukan hanya saya yang pernah berpapasan dengannya, selain Ibu tentu saja. Mas Jaliteng juga sempat bercerita mengenai pria yang sama, beberapa kali. Sejak saat kakak saya yang satu itu masih mengenakan putih abu-abu.

Saat itu Mas Jaliteng tengah berada di dalam metromini, dalam perjalanan pulang dari sekolah. Secara kebetulan, pria berkincir juga berada di dalam metromini yang sama. Saya lupa persisnya, apakah ia juga menyebutkan tas kerja beserta kincir bawaan pria itu yang menarik perhatiannya. Tapi yang saya ingat, Mas Jaliteng bercerita bahwa pria itu membawa tas kresek berwarna hitam berisi uang logam. Saat kernet menagih ongkos kepadanya, ia pun membuka tas kreseknya dan memberikan sejumlah uang logam kepada si kernet.

Kakak saya itu juga pernah melihatnya sedang menyusuri marka jalan, persis yang pernah saya lihat. Membawa payung di tangan kiri, dan membawa tas kerja berhias kincir di tangan yang satu lagi. Satu kali di dekat supermarket, kali lain di dekat pangkalan bemo, kali lainnya lagi di dekat lampu merah. Yang pada akhirnya membuat percakapan saya dengannya pun nyambung.

“Kamu tau gak, kalo ke mana pun dia pergi, pasti ada mobil yang ngikutin?!” tanyanya suatu kali.

“Ya iya lah... wong dia jalan di jalan raya, ya pasti ada aja mobil di belakangnya.”

“Kalo itu, aku juga tauuuu!!”

“Lha, trus...?!”

“Iya, coba deh perhatiin, kalo dia jalan kaki, naik metromini, atau apapun, pasti ada mobil sedan item di belakangnya yang ngikutin.”

Saya mengerutkan dahi. Segitu memperhatikannya ya si Mas Jaliteng?

“Sedan item ‘kan banyak?!”

“Nah... kabarnya nih, itu bapaknya,” lanjutnya seolah tak peduli dengan jawaban saya.

“Ah, sok tau kamu!”

Rupanya saya memberikan respon yang keliru. Mas Jaliteng justru semakin giat memberikan penjelasan atas kabar (burung) yang didengarnya itu.

Kabarnya, pria cepak pembawa kincir itu memang mengalami kegilaan yang entah apa penyebabnya. Hingga saat ini ia masih tinggal bersama orangtuanya. Maka tidak heran jika kami menemukannya mengenakan pakaian yang rapi dan bersih, sekalipun perilakunya tampak tidak sesuai dengan pakaian yang dikenakan. Tentu saja karena ia masih tetap diurus oleh orangtua.

Setiap hari ia bepergian dari rumah dan baru akan kembali pulang pada sorenya. Di sore hari inilah tugas sedan hitam beserta pengemudinya, membawanya pulang.

Entah tipuan, entah sungguhan cerita yang disampaikan Mas Jaliteng.

Tapi bodohnya, kok ya saya malahan tergoda untuk memikirkannya.

Bahwa pria berkincir ini memang sungguh gila, sebagaimana istilah yang digunakan oleh Mas Jaliteng, mungkin saya bisa menerimanya. Gangguan yang dialaminya, membuat kesadarannya menurun, sehingga berjalan-jalan dengan membawa tas kerja yang dihiasi kincir pun tidak akan menjadi masalah baginya. Toh buat dia, tidak ada bedanya apakah tas itu dipasangi kincir atau tidak. Tidak ada bedanya pula apakah ia berjalan di trotoar atau menyusuri marka.

Namun tentang si Ayah yang mengikutinya dengan mengendarai sedan hitam...?

Berarti ‘kan pria itu masih memiliki keluarga, paling tidak orangtua. Yang masih teramat sangat mempedulikan kondisi gangguan anaknya. Kalau tidak demikian, kenapa juga harus terus membuntutinya ketika bepergian? Bukankah itu jadi sangat merepotkan ya?

Harus keluar rumah setiap hari, mengendarai sedan hitam berkeliling Jakarta. Hanya untuk memastikan bahwa tidak terjadi sesuatu yang buruk pada anak mereka. Bahwa pada sore hari, ia akan kembali pulang ke rumah.

Lantas, kenapa tidak dibiarkan saja anaknya ini tinggal di rumah? Dengan begitu ‘kan mereka tidak perlu repot harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan segala keperluan si anak ini untuk bepergian. Mereka juga tidak akan merasa khawatir karena sesuatu yang buruk bisa saja terjadi pada anak mereka selama berada di luar rumah.

Tapi bagaimana jika anak mereka memang menyenangi kegiatannya berjalan-jalan?

Mmm... iya sih...

Kalau sudah membahas apa yang disukai anaknya, semuanya jadi serba mungkin. Jangankan sekedar mengikuti bepergian keliling Jakarta, sampai ke Bandung pun, kegiatan pembuntutan ini tetap saja akan dilakukan. Atau jika ia sedang ingin berjalan-jalan sampai menjelang malam, ya tentu saja akan ditunggui.

Karena untuk mengungkapkan rasa sayang, mungkin memang tidak ada lagi yang bisa diberikan selain apa yang disukai oleh anak mereka, yaitu ijin untuk bepergian keliling kota.

Bukan sekedar tentang tenaga yang dihabiskan selama kegiatan membuntuti. Bukan juga tentang waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk berjalan-jalan tanpa tujuan yang pasti selain mengikuti ke mana kaki anak mereka melangkah. Apalagi tentang uang. Jelas bukan.

Mana ada artinya semua itu kalau bisa memberikan apa yang disukai oleh anak mereka, oleh orang yang disayangi.

Dan mungkin itu juga alasan kenapa saya sudah nyaris tidak pernah protes kalau ada yang merokok di samping saya (selama tidak menyemburkan asapnya ke wajah saya!). Lha wong memang mereka itu tidak bisa hidup kalau tidak merokok?!

Tapi apa lagi yang bisa saya katakan? Itulah mereka.

Duduk, berbincang, lalu merokok.

Sementara saya, jelas sangat terganggu dengan asap rokok yang bersliweran ke sana-kemari selama percakapan dilangsungkan. Apalagi kalau berasal dari rokok dengan merk tertentu, yang aromanya demikian menyengat sampai membuat hidung saya terasa sakit. Siyalnya, saya tahu betul kalau batangan rokok sudah tak bisa lagi dipisahkan dari mereka.

Jadi, apa lagi yang bisa saya lakukan kalau bukan menghentikan usaha untuk memisahkan mereka dari rokok?! Karena buat saya, memang itulah cara saya mengungkapkan rasa sayang pada mereka. Menyadari apa yang mereka sukai, dan sekedar mencoba memberikannya. Dan alhasil, rasionalitas dan logika pun akan dikesampingkan pastinya.

Bagaimana tidak?

Kurang gila apa coba, sampai saya bisa mengatakan kalau hidup mereka bisa terenggut jika tidak bersentuhan dengan rokok?!

Yaaa... mungkin memang saya saja yang salah, punya teman-teman berbincang kok ya semuanya perokok berat!

I love you all, guys...

website page counter

ADA 31 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

Papa saya perokok berat dan karena itulah beliau lebih cepat meninggalkan keluarga kami. Mungkin situasinya berbeda yah, tapi if possible, if you love someone then stop him/her from smoking. It kills :D

February 14, 2008 9:40 AM  
» Anonymous Anonymous:

buru buru mematikan rokok saya ketika membaca postingan ini..........

February 14, 2008 11:51 AM  
» Anonymous Anonymous:

Terima kasih teman...
di hari valentine ini giliran saya yang menunjukan sayang dengan tidak merokok di sebelah anda..
Happy Valentine Teman

February 14, 2008 12:38 PM  
» Anonymous Anonymous:

sepertinya ada kisah tragis yg sudah menimpa anaknya ...

^_^

February 14, 2008 2:25 PM  
» Anonymous Anonymous:

cerita yang menyentuh.

tapi... saya perokok lho mbak. :D

February 15, 2008 2:43 AM  
» Anonymous Anonymous:

saya masih memikirkan apa yg sebenarnya terjadi pada pria berkincir angin itu, adakah peristiwa yg membawa dia sampai mengalami gangguan mental tersebut

February 15, 2008 11:40 AM  
» Anonymous Anonymous:

simpati atau empati? ah sutralah...yg penting saya ga akan merokok kalo ngobrol dekat (banget) dengan sampeyan :D

February 15, 2008 12:56 PM  
» Anonymous Anonymous:

kalo saya mungkin lebih memilih tidak bersentuhan dengan rokok daripada tidak bersentuhan dengan si mbaknya...

February 15, 2008 6:08 PM  
» Blogger mbakDos:

anima:
iya, sih... logically saya tau banget apa yang harus dilakukan. tapi tapi tapi...

iman brotoseno:
lho kok...?! jadi gak pengen disayang sama saya? *halah* ;D

anonimus-satu:
terima kasih, teman.
lha tapi gimana saya taunya yang duduk di sebelah saya dan tidak merokok itu anda atau bukan? marilah kita berkenalan ;-)

mitora in life:
karena merokok? :-)

paman:
lho, masa iya panjenengan gak sadar kalo tulisan ini dibikin karena terinspirasi pada anda?!
entah yang tentang pria berkincir atau yang merokok siihhhh *piss paman, piss* ;D

totok sugianto:
mmm itu belum ketemu juga tuh jawabannya

hedi:
lha pegimana caranya kalo ngobrol gak deket? oohhh lewat tilpun ya mungkin maksudnya?!

anonimus-dua:
memangnya dirimu merokok? ;-)

haduh... lagi beken bener ini si anonimus ya, kok muncul di mana2 ;D
hayohlah... perkenalkan diri... gak dipungut bayaran kok...

February 15, 2008 10:03 PM  
» Blogger Neng Keke:

Jadi perokok pasif lebih bahaya loh...

February 15, 2008 11:57 PM  
» Anonymous Anonymous:

Temen2 saya juga banyak yg perokok berat. Susah mengingatkannya, walau sdh ada larangan resmi. Daripada enggak enak hati krn keseringan menegur, mendingan dijadikan postingan aja, siapa tahu stlh membaca postingan saya mereka mengurangi kebiasaan merokoknya atau setidaknya merasa sbg kiai NU lah. Salam kenal.

February 16, 2008 6:26 AM  
» Blogger mbakDos:

neng keke:
yeah, i knew it very well also ;-)

aris heru utomo:
hehehe teman2 yang dimaksudkan di sini ternyata udah pada membacanya kok, dan yaaa... begitulah ;D

February 16, 2008 10:46 PM  
» Anonymous Anonymous:

masalah rokok masih very much controversy. sangat nyaman kalo ngobrol sama temen2 ditemani rokok.
tapi kalo diinget bahaya nya biyuh2 serem tenan! numpang lewat mbak!

February 17, 2008 11:13 AM  
» Anonymous Anonymous:

merokok itu cinta, kebutuhan, atau gaya hidup ya? saya tidak merokok sih. tapi me-wine.... layak dicintai gak?

*sdg mbayangin si pria berkincir*

February 17, 2008 6:33 PM  
» Anonymous Anonymous:

men cinta . . . dengan rokok . . hiks

February 17, 2008 9:07 PM  
» Blogger mbakDos:

inginbercerita:
hehehe kalo pas lagi ngobrol gak usah diinget aja bahayanya ituh ;D
terima kasih lho udah mampir...

masboi:
sapa sapa? pernah melihat si pria berkincir sedang menikmati wine? *halah!

ebess:
lho kok...? kenapa bersedih? bukan karena anaknya gak mengabari setelah sekian lama merantau di jakarta kan?! ;-)

February 18, 2008 6:32 PM  
» Anonymous Anonymous:

Whaaaatttt??! aku pernah ngeliat orang ini!! not just 3 years ago, but since i was on elementary school!! Ini di daerah mana ya mbak? kalo daerah podok bambu, jakarta dan sekitarnya, berarti kita liat orang yg sama.. iya, dia jg pake baju rapih.. huhuhu.. so weird..
PS: Rokok? hem.. no thx..

February 19, 2008 3:53 PM  
» Anonymous Anonymous:

merokok untuk mensejahterakan petani, buruh, pedagang, dokter, apotek, medrep....
merokok untuk mendapatkan emas dari cabang bulutangkis....
merokok untuk nonton EPL....
kami para perokok telah berjasa besar bagi bangsa ini, tapi kami tidak menuntut gelar pahlawan!

February 19, 2008 5:41 PM  
» Anonymous Anonymous:

tanpa rokok..kudus cuman desa kecil
tanpa rokok..gresik cuman kecamatan kecil
tanpa rokok.. mas http://djokosantoso.com/ ndak punya blog kekekek

salam hormat

ipungmbuh sh

February 19, 2008 11:04 PM  
» Blogger Omith:

aku dah berenti merRokok mbak_
ahirnya aku sadarrrr meski kadang aku jg kangen puengen ngerokok lagih..

ya paling di ganti pake SHISA
[rokok arap rasa buah]

February 20, 2008 2:19 PM  
» Blogger Pinkina:

aku juga gak seneng asap rokok, tapi kok kumpulane orang2 yg ngrokok semuwa /*hiksss nasibbb :(

February 21, 2008 3:58 PM  
» Blogger mbakDos:

titiw:
hehehe iya, dirimu masih pake seragam putih-merah, kangmas saya udah putih-abu2 ;D waahh berarti kita tinggal di daerah yang sama?! *sok menyimpulkan gitu*

mas slamet:
lho kok... demo tho, mas? ;-)

ipung:
hahaha... iya ya... ntar kalo gak ada rokok, si mas itu gak punya blog dong?!

mit@ aka. omith:
sama dong udah berhentinya ;-) tapi kalo shisha... gak ah... masih gak sreg aja harus berbagi selang dengan orang lain :P

pinkina:
nasiiibbbb memang kejaaaaammmm
*eh itu takdir ya?!

February 22, 2008 11:56 AM  
» Blogger Devi Girsang, MD:

same with me! tapi untungnya saya punya temen dalam 2 kategori: non smoking ama perokok berat. makanya seringnya hang out ama temen yg masuk kategori non smoker hehehe

February 24, 2008 11:02 PM  
» Blogger Omtri:

Keuntungan Perokok:
1. Tidak banyak dosa, sebab umurnya nggak terlalu panjang akibat serangan nikotin.
2. Aman dari pencuri, sebab biasanya ketika pencuri sedang mengendap-endap, perokok ini sering terbatuk-batuk karena serangan tar-nya, sehingga pencuri sadar calon kobannya masih terjaga.
3. Terhindar dari serangan nyamuk, sebab biasanya perrokok badannya kurus. Nyamuk tidak terlalu berminat dengan tubuh kurus kurang daging dan darah segar ini....

Btw, aniway, busway saya juga perokok tapi nggak Big Smoker..

Salam

February 27, 2008 4:35 PM  
» Blogger mbakDos:

devi:
mmm... masalahnya kalok temen2 saya mau dikategoriin begituan, naahh di kategori non-perokok rasanya kok ya ndak ada ya?! ;D

triyanto:
lho... ya iya kan?! namanya perokok itu ya jelas bukan big smoker, tapi cigar smoker! ;D salam kenal juga...

February 27, 2008 10:53 PM  
» Blogger Parta Suwanda:

bicara soal rokok memang enggak ada habisnya sudah jelas-jelas di bungkusnya juga ada maklumatnya akibat merokok :) tapi saya masih gila untuk merokok... :)

February 29, 2008 3:03 PM  
» Blogger mbakDos:

parta:
namanya juga nyandu. gimana dong ya?! ;D

February 29, 2008 8:54 PM  
» Anonymous Anonymous:

Kamu gmn sih? Kan wkt kita ntn Toto, udh kuajarin gmn protes ke org sebelah yg ngerokok!!
...berlagak batuk rejan sampe mau muntah..pasti dia panik sendiri!
...
Kalo orgnya udh kenal, bilang aja,
"Eh, nyebelin ya lo! Gw baru aja keramas. Gara2 lo ngerokok, rambut gw bau ni. Gw mesti keramas lagi gara2 lo!!!"..Itu berhasil pada teman2ku, krn mereka mengerti sekali, rambutku ajaib dan keramas itu hal yg mewah.
...
(sok2 anti rokok, padal aku selalu kecipratan rejeki dari si pacar yg kerja di Sampoerna..ahahaha...)

March 26, 2008 11:12 AM  
» Anonymous Anonymous:

Eia ketinggalan...
Aku beberapa minggu lalu liat si bapak berkincir angin di Jatiwaringin!!!
...
penantian selama sekian belas taun buat liat si bapak dgn mata kepala sendiri akhirnya kesampean
...
Coba ada Mas Jaliteng, sayangnya wkt itu aku cuma sama Si Sapi...
...
Aku histeris liat si bapak, Si Sapi malah kebingungan. ah, ga seru!

March 26, 2008 11:16 AM  
» Blogger mbakDos:

kriwil:
lha ya makanya, sarang walet itu dibudidayakan, jangan dipake di atas kepala...

March 27, 2008 7:11 AM  
» Anonymous Anonymous:

Biarpun saya tidak setuju dgn sikap anda mendukung perokok, tp awal cerita anda sungguh menarik, jika ini anekdotal ( real story ), maka anda tinggal dekat rmh ortu saya ( rumah jadul saya ) dan ya tentu saja saya lihat dia tiap hari dulu, tp pengamatan kakak anda luar biasa ( sekaligus rumpi banget ). Dia salah satu yg bikin saya mantap masuk Psikologi UI, untuk memahami kenapa ada org spt itu. Yang saya yakin, dr pengalaman selama ini, org spt itu akan hidup lama ( kecuali ditabrak kendaraan atau tidak ada lagi keluarga yg mendukung, ortunya khan tidak bisa ngikutin terus ). Mereka fisiknya sangat sehat krn selalu aktif ( biarpun ga jelas ) dan hatinya lapang ( stres adalah pembunuh terbesar dlm kehidupan manusia modern ). thx untuk memori jadul nya.

March 01, 2011 4:51 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS