Thursday, January 10, 2008
Kelihatannya si hitam merupakan mobil yang akan terparkir terakhir di antara jajaran kendaraan roda empat lainnya.
Panti Wredha.
Begitu tulisan yang terpampang pada papan besar di depan pagarnya.
Bangunannya tidak megah, sama sekali. Bentuknya seperti rumah tinggal yang seringkali saya lihat, termasuk pagar setinggi pinggang. Hanya saja pelataran parkirnya lebih luas dibandingkan rumah tinggal pada umumnya, sehingga bisa memuat sampai lima atau enam kendaraan roda empat. Bangunannya pun tidak hanya satu, tetapi tampaknya masih ada beberapa lainnya di bagian yang agak ke dalam.
Melangkahkan kaki melintasi pintu pagar, saya menemukan beberapa orang berusia lanjut yang tengah duduk-duduk di bawah pohon sambil merokok dan berbincang satu dengan lainnya. Sementara dua orang lainnya tengah berjalan menuju ke arah pintu pagar sambil membawa jinjingan. Lainnya lagi yang baru masuk ke dalam, masih mengenakan celana training, kaos berkerah, dan rambut yang tertutup kain. Mereka semua tersenyum dan memberikan salam sebagai balasan atas ‘selamat pagi’ yang saya berikan.
Sama sekali tidak terbayangkan bahwa apa yang akan ditemui di Panti Wredha itu adalah orang-orang semacam kakek dan nenek yang barusan.
Dulu, penjelasan yang diberikan oleh ibu guru mengenai tempat yang tengah dikunjungi ini, membuat saya kemudian berpikir bahwa para penghuninya adalah orang-orang tua yang benar-benar sudah tidak bisa melakukan apapun. Menurut penjelasan kala itu, para penghuni Panti Wredha adalah orang-orang lanjut usia yang karena satu dan lain hal tidak bisa lagi dirawat oleh keluarga mereka. Jadi saya pikir, kalau sampai keluarga pun merasa tidak sanggup untuk merawat, mungkin kakek dan nenek mereka itu memang sudah sedemikian sulitnya untuk ditangani. Dengan kata lain, ya sudah tidak bisa melakukan apa-apa.
Tapi ternyata...?! Penjelasan yang diberikan oleh Bapak Kepala Panti sebagai gambaran umum mengenai tempat tersebut pun belum mampu mengalihkan keingintahuan saya mengenai para penghuni (yang sebenarnya). Saya masih terlalu sibuk berniat membuktikan kebenaran dugaan-dugaan yang saya punyai tentang sebuah Panti Wredha. Kembalinya dua orang nenek pembawa jinjingan tadi, melintasi tempat saya dan teman-teman berkumpul, pun membuat saya semakin penasaran. Dan mulai mencurigai ibu guru atau pihak sekolah telah melakukan kesalahan pada pemberian informasi. Walaupun kelihatannya memang sayalah yang terlalu jauh (dan keliru!) menginterpretasikan informasi yang mereka berikan sih Setengah jam yang dihabiskan Bapak Kepala Panti untuk memberikan penjelasan pun rasanya seperti sudah berjam-jam lamanya. Saya sudah keburu tidak sabar untuk berkeliling dan melihat sendiri situasi di lingkungan tempatnya bekerja itu. Yang pertama saya jumpai adalah papan besar yang terpampang di dinding berisikan jadual kegiatan setiap harinya. Berolah raga, kegiatan rohani, maupun bermain musik tertera di dalamnya, selain kegiatan rutin seperti makan, mandi, dan beristirahat. Di sampingnya, terpampang pula papan lain yang berisikan data statistik para penghuni setiap bulannya. Barulah saya menemukan sebuah pintu yang terbuka lebar, yang membuat saya dapat melihat apa yang ada di baliknya. Seperti sebuah atrium dengan taman di bagian tengahnya, sedangkan di sisi-sisinya terdapat ruangan lain yang dibatasi oleh pintu-pintu yang lebih kecil. Ruangan itu ternyata merupakan kamar para penghuni yang ditempati bersama dengan beberapa penghuni lain sekaligus, layaknya rumah sakit. Tiap kamar ditandai dengan namanya masing-masing, yang diambil dari nama bunga. Para nenek tengah duduk di luar kamar mereka. Pintu kamar yang terbuka lebar juga membuat saya dapat dengan mudah melihat beberapa nenek lain yang masih tinggal di dalam kamar mereka. Beberapa tengah menyimak acara yang disiarkan di televisi, beberapa yang lain tengah berbaring di tempat tidur, ada yang tengah mengobrol, dan ada yang sedang disibukkan dengan gulungan-gulungan benang wol. Tak sanggup melawan rasa penasaran, saya pun menghampiri salah satunya. Ternyata beliau tengah membuat kerajinan tangan berbentuk bunga anggrek yang dibuat dari benang wol tersebut! Untunglah bola mata saya sudah cukup besar, sehingga jika terbelalak karena terkejut pun, mungkin tidak akan terlalu banyak bedanya. Si nenek malahan tersenyum saja melihat keterkejutan saya. Menurutnya, kerajinan tangan yang tengah dibuatnya itu memang sudah rutin dikerjakannya, jadi ya biasa saja rasanya. Tidak perlu sedemikian terkejutnya seperti saya. Setelah berbincang sejenak dan menyapa beberapa nenek lain yang juga berada di dalam kamar yang sama, saya beralih kepada kamar yang lain. Dan menemukan seorang nenek yang tengah merajut benang wol, untuk dijadikan kantong handphone! Kata si nenek, kantong handphone itu adalah pesanan dari cucu-cucunya yang memang meminta beliau untuk membuatkannya. Bahkan di antara yang sudah selesai dibuat pun, tampak salah satunya yang terterakan nama. Sibuk terkejut sana-sini, saya jadi membatin bahwa dugaan saya ternyata tidak sepenuhnya benar mengenai para nenek yang tinggal di Panti seperti ini. “Alhamdulillah, baik. Sehat,” sahut seorang nenek lainnya ketika saya tanyakan mengenai kabarnya. Perbincangan saya dengan si nenek pun dimulai. Dan terhenti begitu saja saat beliau tiba-tiba mengerutkan dahi dan bertanya, “Kamu itu orang mana tho?!” “Saya Jawa, Nek...” Si nenek membelalak, “Jawa? Jawane ngendi?! (baca: Jawa? Jawanya mana?)” Tiba-tiba saja dada saya berdegup kencang, entah karena apa. “Mmm... Semarang.” Senyuman lebar mengembang di wajah si nenek, diikuti dengan genggaman tangan yang semakin erat, “Oalaaahh... Semarang tho?! Si Mbahe ‘ki wong Cepu, Nduk! Cedhak kuwi seko Semarang! (baca: Oalaaahh... Semarang ya?! Si nenek ini orang Cepu, Nduk! Deket tuh dari Semarang!)” Maka perbincangan pun semakin menghangat, karena dilakukan dalam bahasa Jawa! Si nenek mulai menceritakan mengenai kesehariannya, kegiatan yang dilakukannya. Ia juga bercerita mengenai pengalamannya menjadi klien salah seorang teman saya, mahasiswa pada angkatan sebelumnya. “Seneng tho Mbah kalo banyak orang begini?” “Lha yo seneng! Opo meneh putune theko koyo ngene?! (baca: Lha ya seneng! Apa lagi cucunya datang kaya gini?!)” katanya sambil tersenyum menatap saya, “Lha iki putuku tho?! (baca: Lha ini cucuku kan?!)” Seketika itu, sebuah perasaan yang... entahlah apa namanya, menyeruak masuk begitu saja ke dalam dada saya. Membuat mata saya pedih dan tiba-tiba ingin menangis saja. Juga membuat saya hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan si nenek. Mungkin apa yang dipercakapkan antara saya dan beliau bukanlah sesuatu yang mengharukan atau bahkan sampai menguras emosi. Ia juga tidak mengungkapkan suatu pengalaman yang demikian luar biasa dan berbeda dari cerita nenek lain yang sebelumnya sudah saya temui. Tapi kata-katanya yang terakhir itu... Saya kemudian bertanya-tanya sendiri, kenapa si nenek bisa dengan demikian cepatnya ‘mengangkat’ saya menjadi cucu-nya? Padahal bertemu juga baru sekali ini. Karena saya baik? Tapi memangnya, apa yang sudah saya lakukan? Saya toh hanya menghampirinya yang tengah duduk di tepi tempat tidur sambil menonton televisi. Menanyakan mengenai kabar dan kesehatannya, mengajaknya bercakap-cakap mengenai kehidupannya sehari-hari, sambil beberapa kali menceritakan mengenai perkuliahan saya ketika beliau bertanya. Semuanya dilakukan dalam bahasa Jawa. Itu hal yang biasa saja... ‘kan?! Mmm... enggak ya?! Yaa maaf kalau saya tidak tahu. Karena buat saya, semua hal yang saya lakukan tadi merupakan hal yang sewajarnya dilakukan oleh orang lain juga. Jadi yaaa... benar-benar biasa saja. Tapi kelihatannya si nenek (dan mungkin kamu) tidak sependapat. Iya sih... Mengingat bahwa beliau sudah selama tiga tahun belakangan bertempat tinggal di Panti Wredha bersama nenek dan kakek lainnya, di mana sehari-harinya ya bersama dengan merekalah waktunya dihabiskan. Kalaupun anak dan cucu beliau menjenguk, itu tidak terjadi setiap hari. Lalu di tengah penantian akan kehadiran mereka, saya muncul. Baiklah... jadi itu istimewa, ya?! Sebagaimana yang dikatakan si nenek ketika secara sepihak ‘mengangkat’ saya menjadi cucu beliau. Yang mungkin buatnya benar-benar tidak ada hal yang demikian istimewa dengan mengatakan hal itu. Tapi buat saya...?!
ADA 11 KOMENTAR:
nah, tinggal dibujuk untuk ngeblog. keren juga bisa bilang, nenek saya ngeblog lho.
mbilung:
wiiihhh ide bagus!!! nanti saya sampaikeun ya ;D
apa kabar jeng?
dalam rangka apa neh, btw, maen2 ke Panti Wredha?
ceritanya mengharukan euy....
wedeeewwwww, gerontologi ya . . . tar lagi kita dah yang di panti . . . bayangannya sih tito dah punya anak, dijenguk dah ma anak, mantu, cucu2 . . . asik juga keknya :)
tyka:
baik niihh kabarnya... dirimu pegimana?
iya, kemaren itu ke panti wredha dalam rangka persiapan untuk praktek, kan salah satunya di situ ;-)
ebess:
hehehe untung kalok tito udah akan dijenguk sama cucu2nya, sayah udah gak berkunjung ke sana lagi (dalam rangka praktek) ;-)
DUKIIII....
lama tak mampir....
lama tak chit chat juga nih...
Wah bener tuh - diajarin nge-blog dan dibekeli koneksi broadband 756 Kbps, wah pasti blogger2 muda itu lewaaat! :D
Insyallah, minggu depan aku mudik dulu, si kaka masuk RS, kena typhoid, nih! ;-(
duki....
ini terkait ama sekolah yang entu ya?
hmh.. aku kapan yaaaa :(
ancilla:
bekiiii... makanya sering2 bertandang doonngggg ;-)
iya nih bek, pendidikan yang sedang membuat sengsara tampaknya. mudah2an berbuah bahagia deh *halaahh apa sihh???*
kang-pret:
trus saya tetep gak mau kalah, tinggal satu atap dengan mereka biar bisa ngeblog juga ;D
eehh si kakak sakit? waaahhhh mudah2an lekas sembuh yaa...
baiklah.. kapan baiknya bertandang? tapi jangan ke sonoh, ke asal muasal aja... gims? mumpung aku masih di jakarta dan santai (baca: pengangguran). huehehehe...
ah pasti akan membuahkan kebahagiaan... (jgn buat aku pesimis karena ingin lanjut juga. huehehe)....