Si Raja Rimba Temanku

Thursday, December 13, 2007

Ibu menyodorkan mangkuk yang penuh berisikan buah tepat ke hadapanku. Berbagai jenis yang kusuka ada di dalamnya.

Tapi aku sedang malas.

“Nak, makanlah. Sedikiitt saja.”

Hhh... aku sedang tidak ingin makan apa-apa. Bahkan belum sepotong pun buah yang disajikan Ibu sempat masuk ke dalam mulutku.

Tentu saja aku lapar!

Tapi apa yang telah terjadi semalam benar-benar membuat selera makanku hilang.

Padahal kupikir akan menjadi malam yang sangat menyenangkan.

Dengan warna-warni kembang api di langit yang penuh dengan bintang, seluruh penghuni hutan berkumpul untuk merayakan malam datangnya bulan purnama.

Kakek singa, tentu saja, sebagai penguasa dan raja rimba. Juga nenek singa, anak-anak, dan cucunya yang masih kecil-kecil. Merekalah yang biasanya menentukan di mana perayaan akan dilangsungkan. Mereka juga yang membagi tugas siapa saja yang akan membawa makanan dan siapa yang akan menghias tempat perayaan.

Kakek dan Nenek Harimau, juga beserta keluarga besar mereka. Paman dan Bibi Beruang, Ibu-ibu Kelinci dan Kancil, Paman Landak, dan Kakek Burung hantu. Semua teman-temanku juga ada. Si Babi, Landak, Trenggiling, dan juga Siput. Para penghuni baru pun tak mau ketinggalan untuk merayakan malam ini.

Dan acara pun dimulai!

Kembang api dinyalakan, membuat langit terang-benderang dengan warna-warninya. Juga membuat suara yang gaduh, apalagi ditambah dengan sorak-sorai para penghuni hutan.

Lalu mulailah Paman Beruang menyanyi dengan suaranya yang merdu.

Aku...?

Tentu saja berkumpul dengan teman-temanku di dekat batu besar.

Tanpa terasa, tiba-tiba saja bulan purnama yang ditunggu pun muncul.

Dan pertanda bahwa perayaan telah selesai. Aku pun harus kembali pulang.

“Kalian tidak ingin pulang?” tanyaku pada teman-teman.

“Kelihatannya belum. Kenapa? Kau sudah ingin pulang?” tanya si Babi.

Aku mengangguk.

“Oohh... ya sudah. Pulanglah... Kami masih ingin bermain di sini.”

Lho, jadi aku harus pulang sendirian?

“Kalian masih lama ya?!” tanyaku lagi.

Kali ini si Landak yang menyahut, “Iya. Kalau kau masih ingin di sini ya tidak apa-apa. Tapi kalau sudah ingin pulang, pulanglah, Nyet.”

“Mmm... bisakah kalian mengantarkan aku pulang?”

Si Siput tersenyum, “Waahh... kami sedang ingin menikmati bulan purnama. Ini ‘kan malam pertamanya muncul.”

“Dan lagi kami sedang merencanakan sesuatu untuk dilakukan besok,” sahut si Babi, “Tapi kalau kau ingin pulang duluan, tidak apa-apa kok.”

Jadi... aku benar-benar akan pulang sendirian?

Ibu tidak bisa datang karena sakit di kakinya akibat tertusuk duri. Ibu Babi juga tidak datang karena ingin menemani Ibu. Sedangkan kakek-nenek dan paman-bibi sudah pulang semua.

Lalu teman-temanku...?

Aduh, bagaimana ini?

Ini ‘kan sudah malam sekali dan hutan juga pasti sangat gelap. Mestinya sih para buaya sudah tertidur sehingga aku bisa melintasi danau dengan aman. Tapi jika tidak...?!

Hhhh... kenapa sih mereka tidak menemaniku sebentar saja?

Melihat bulan purnama ‘kan masih bisa dilakukan pada perayaan yang akan datang. Apalagi merencanakan apa yang akan dilakukan besok. Masih bisa dilakukan besok saja sekalian.

Tapi kalau teman mereka yang satu ini sampai kenapa-kenapa dalam perjalanan pulang, bagaimana?

***


“Tuh, dengar... perutmu sampai berbunyi begitu. Ayo dimakan!” seru Ibu tiba-tiba, mengagetkan saja.

“Malas, Bu...”

Ibu tersenyum, menggeser duduknya mendekat padaku.

“Masih kesal?”

Aku mengangguk.

“Karena teman-teman tidak mengantarmu pulang?”

Bukan hanya itu masalahnya, Bu... Kalau sekedar tidak mengantarku pulang, aku bisa saja meminta Paman Beruang untuk menemani. Atau Paman Burung hantu. Atau bahkan Kakek Singa.

Tapi ‘kan yang jadi teman-temanku itu mereka. Bukan Paman atau Kakek.

Kenapa mereka malah tidak mau menemani?

Apa mereka tidak memikirkan kalau sampai sesuatu terjadi padaku?

Ibu pun mengelus kepalaku, sepertinya menunggu aku berbicara.

“Tapi ‘kan akhirnya Kakek Singa menemanimu pulang.”

“Ibuu... tapi mereka itu ‘kan temanku! Kok malah Kakek Singa yang sampai jauh-jauh kembali lagi untuk mengantarku pulang?!”

Lagi-lagi Ibu tersenyum.

“Yaa... Siapa tahu... justru Kakek Singa itulah temanmu?!”

website page counter

ADA 3 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

kenapa kau ga bangunkan aku saja buat menemanimu... *kata buaya :p:p.... heuheueheu

December 17, 2007 8:48 AM  
» Anonymous Anonymous:

wah memang si monyet tampaknya lebih 'pas berteman' dengan kakek-kakek atau paman-paman (kalau pake om
kok kayaknya jadi lain ya kesannya) ya...

jangan-jangan malah lebih 'nyambung' dibandingkan dengan yang sebaya

apa lagi kalo kakek buaya atau paman buaya ....

=))

December 18, 2007 12:06 AM  
» Blogger mbakDos:

memed:
ah, aku kan tak enak membangunkan yang sedang tidur :P

japro:
'kakek'di sini mengacu pada dirimu tho?! ya jangan segitunya lah, mentang2 lagi ulang taun kan belum setua itu...
atau jangan2 sudah?!
*hehehe piss oom... piss... ;D

December 18, 2007 12:10 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS