Menanggalkan Sandal

Friday, February 02, 2007

“Lho, antingnya ke mana, Mbak?!”

“Gak ke mana-mana. Ada tuh di rumah.”

“Yee si Mbak nih… Maksudnya, emang lagi gak dipake?”

“Ya enggak dong. Kalo dipake, Mbak pasti gak akan tanya ‘kan?!”

Sepertinya si Mbak memutuskan untuk berhenti bertanya. Mungkin karena merasa tidak memperoleh jawaban yang diinginkan.

Ia pun kemudian hanya menyodorkan minuman yang saya pesan sambil mengucapkan terima kasih.

Sebenarnya saya bukannya tidak tahu apa maksudnya. Memang sudah sewajarnya pertanyaan itu diajukan saat tidak melihat satu pun asesoris yang melekat di cuping hidung saya.

Jangankan si Mbak, pertanyaan yang sama pun ikut saya ajukan ketika pada suatu hari mematut diri di cermin dan tidak menemukan anting itu pada tempatnya. Dan memang terasa agak aneh melihat bayangan diri sendiri di sana.

Mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih bergaris biru yang dipadu dengan celana bahan warna hitam. Pump shoes biru tua dengan heels yang mengintip dari bagian bawah celana. Jam tangan melingkar di pergelangan dan sepasang anting terpasang di masing-masing telinga, hanya itu asesoris yang dikenakan.

Ke mana anting lain yang mestinya ada di telinga kiri? Ke mana gelang yang biasanya menghiasi pergelangan tangan yang lain? Ke mana juga kalung manik-manik yang menjuntai melingkari leher?

Jawabannya akan sama dengan yang saya berikan kepada si Mbak tadi.

Semuanya ada di rumah. Tersimpan dengan rapi di tempat penyimpanan di dalam kamar.

Sudah selama beberapa minggu belakangan, semenjak menginjakkan kaki di kampus yang baru dan mulai menjalani status sebagai mahasiswa.

Tidak hanya pernak-pernik yang semula melekat di badan yang kemudian saya tanggalkan, tapi memang banyak yang berbeda sekarang. Bahkan sampai membuat MASGEDE tertawa saat kami berjumpa setelah sekian lama tidak bersua.

Kegiatan baru berkuliah telah berhasil memaksa saya untuk terlibat dalam rutinitas yang sama setiap harinya.

Pagi sampai sore hari mengikuti perkuliahan di kampus. Seusai kuliah akan berkumpul kembali dengan beberapa orang teman untuk mendiskusikan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Kalau sedang tidak ada diskusi yang harus dilakukan, perjalanan sepanjang Depok – Pondok Bambu akan dilakukan. Atau jika ada pasien yang mendadak sedang membutuhkan bahu saya sebagai tadah tangis, si hitam pun akan dipacu menuju pusat keramaian Jakarta.

Keberadaan di rumah sekembalinya, akan digunakan untuk meluruskan kaki dan meregangkan betis yang sempat kaku akibat berulang kali menginjak pedal gas dan rem secara bergantian. Sambil menonton televisi atau makan malam dan berbincang-bincang dengan Ayah dan Ibu, sebelum kemudian mengakhiri hari dengan kembali duduk di depan notebook dan mempersiapkan materi untuk dipresentasikan keesokan paginya.

Empat eh… lima hari dalam satu minggu.

Bagaimana mungkin saya pernah membayangkannya?!

Melakukan kegiatan yang sama setiap hari, sementara terbiasa melakukan apapun di hari-hari yang saya inginkan. Menghadiri perkuliahan pada waktu yang telah ditentukan, padahal sebenarnya saya lebih suka melakukan hal-hal yang saya mau sesuka hati. Harus menahan kantuk setelah istirahat makan siang untuk mendengarkan penjelasan dosen, sementara sudah terbiasa dengan acara tidur siang atau leyeh-leyeh tengah hari.

Mengenakan sepatu di saat saya lebih senang mengenakan sandal, mengenakan kemeja padahal saya demikian cinta dengan baju berbahan kaos, melepas semua atribut tidak penting yang melekat di seluruh tubuh demi kesopanan dan profesionalisme seorang calon psikolog.

Ayah dan Ibu hanya bisa tersenyum-senyum.

Sementara saya, mangkel-mangkel terpaksa.

Selain mendapat teman baru, berkuliah di tempat baru, dengan pengajar yang berbeda, dan mempelajari materi lama dalam tingkat lebih advance, rasanya saya belum menemukan hal lain yang cukup menghibur.

Jadi kalau begitu, apa yang menyenangkan dari semua itu sampai saya tetap mempertahankan status baru sebagai mahasiswa?

Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini menyenangkan. Tapi ingatan akan keinginan menjadi seorang psikolog, itu memang yang membuat saya tetap bertahan.

Jangan dikira bahwa cerita-cerita yang sampai ke telinga saya tentang pendidikan menuju psikolog ini adalah jalan yang ceria nan menyenangkan. Justru keluhan-keluhanlah yang saya dengar.

Bahwa hari-hari saya akan dihabiskan untuk memikirkan klien-klien dan menulis laporan untuk masing-masing klien tersebut. Bahwa tidak akan ada lagi waktu tersisa untuk bersenang-senang, atau bahkan sedikit acara window shopping. Tidak akan ada lagi bagian kosong di dalam kepala untuk memikirkan kegiatan hedon. Tidak akan lagi sempat mengurus diri dan berdandan.

Hidup selama dua tahun ke depan sudah menjadi milik pendidikan ini sejak saya menyetujui untuk masuk ke dalamnya.

Begitulah kira-kira intinya.

Dan tentu saja kisah-kisah tragis semacam itu membuat saya berulang kali memikirkan kembali keputusan untuk melanjutkan pendidikan.

Apa iya saya harus kuliah lagi?

Pekerjaan sebagai dosen dan freelancer sudah terasa lebih nyaman sebenarnya. Saya bisa datang kapan saja saya mau, saya bisa mengerjakan pekerjaan yang memang saya sukai, bisa melakukan hal-hal yang disenangi, dan tetap ada yang didapat dari sana (baca: penghasilan). Belum lagi tawaran untuk menjadi reporter di sebuah majalah remaja ternama yang masih menanti keputusan saya untuk bergabung atau tidak.

Kalau pada akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah, artinya semua itu harus dilepaskan. Apa yang selama ini saya nikmati, yang saya sebut sebagai sebuah kehidupan, harus direlakan.

Tapi apa iya memang itu yang saya inginkan?

Saya masih ingat betul bahwa saya ingin menjadi seorang psikolog.

Di mana hanya bisa terwujud jika saya melanjutkan pendidikan lagi.

Dan kemudian membuat saya dihadapkan pada dua pilihan: tetap berlari mengejar apa yang diinginkan, atau berjalan pelan saja dengan apa yang sudah didapat sekarang.

Dua pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Yang kemudian harus merelakan pilihan lain ketika yang satu sudah diambil.

Kalau saya lebih memilih untuk tetap mengajar, menjadi freelancer, menulis di sana-sini, karir meningkat kemudian, diiringi bertambahnya usia, dan barulah sadar bahwa sudah tidak memungkinkan lagi bagi saya untuk kuliah, mungkin itu artinya saya memang tidak akan pernah lagi melanjutkan pendidikan. Ketika sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan, mungkin tidak akan sempat terpikirkan lagi untuk berhenti dan beralih pada pendidikan. Belum lagi jika sesuatu hal terjadi dan mengakibatkan kesempatan itu hilang sama sekali: kurangnya biaya, tidak dibukanya program magister, atau menikah barangkali (*halah bikin gosip!!!) .

Namun di sisi lain, kalau saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, pastinya semua pekerjaan itu harus dilepaskan. Waktu dua tahun ke depan akan habis untuk kejar setoran menulis laporan ini-itu, praktek di sana-sini, menerima konsultasi dengan si ini-si itu, dan seterusnya-dan seterusnya. Harus mengenakan sepatu, mengenakan kemeja dan celana bahan, juga menanggalkan tindikan hidung. Dan hanya bisa tersenyum saat seorang senior yang tengah menjalani pendidikan yang sama mengatakan ‘welcome to the jungle, baby…

Kalau dipikir-pikir, memang tidak ada yang lebih baik daripada yang lain.

Tapi saya harus tetap memberikan keputusan, ‘kan?!

Saya tidak bisa terus menunda dan mengatakan ‘nanti-nanti aja’ sementara Ayah dan Ibu sudah menunggu apakah harus bersiap jika anak mereka ini sudah sulit untuk diajak bepergian. Saya juga tidak bisa mengatakan ‘sebentar ya’ terus-menerus sementara kantor tempat saya bekerja harus bersiap apakah perlu mencari pengganti saya di kantor mereka.

Saya tidak bisa terus mengulur, mengatakan ‘nanti dulu’, dan menganggap bahwa semuanya bisa berjalan seiring waktu.

Keputusan harus dibuat di antara pilihan yang tersedia.

Kalau keputusan yang saya ambil kemudian membawa akibat yang tidak menyenangkan, yaa mungkin itu yang dinamakan resiko. Toh memang tidak ada keputusan yang tidak diikuti dengan konsekuensi, bukankah?!

website page counter

ADA 6 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

ah, indahnya punya pilihan yah :)

February 02, 2007 8:59 AM  
» Anonymous Anonymous:

Yah, menyesuaikan diri itu bagus kok. Kalo saya sih kadang salah kostum. Kursus di lembaga manajemen malah pakai kaos, untung nggak pakai celana pendek kayak waktu ngantor. Di kursus itu pada pakai mobil, bahkan ada yang bersopir, saya malah naik ojek, lantas dianggap aneh. :D

February 02, 2007 11:35 PM  
» Anonymous Anonymous:

lama nggak dengar leyeh-leyeh.

February 04, 2007 5:04 AM  
» Anonymous Anonymous:

kirain lagi dipengungsian ga kedengerann "ceritanya" ternyata sudah dikampus baru yah.. tapi freelancer jadi pemandu di pelangi maseh kahn? :P..

February 04, 2007 7:25 PM  
» Anonymous Anonymous:

ya mungkin kali ini memang harus dilepas kali sandal yang dikenakan...

toh masih punya banyak sandal lain yang bisa dipakai nantinya bukan?

February 04, 2007 11:28 PM  
» Anonymous Anonymous:

yup yup...keputusan yang bijak, mba agatha...
hanya ingin bilang, doaku menyertaimu kakak!
semoga berhasil di dunia yang baru itu....=)

February 09, 2007 5:18 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS