Akibat Keseringan Mengasah Lidah

Thursday, February 15, 2007

Kalau boleh jujur, saya sebenarnya sangat ingin menolaknya.

Selain karena terburu-buru menemui kemacetan bukanlah pilihan yang cukup menyenangkan, memang masih ada tugas perkuliahan yang harus diselesaikan bersama dengan teman-teman. Yang kemudian menjadi tidak memungkinkan buat saya untuk segera meninggalkan kampus.

Mungkin memang ada baiknya saya katakan saja bahwa masih ada yang harus dikerjakan. Mungkin sebaiknya memang membiarkannya mengetahui bahwa saya memang sedang sibuk.

Bukannya berpura-pura sedang menganggur dan merasa tidak berkeberatan atas permintaannya untuk bertemu.

Tapi jika tidak melakukannya, rasa bersalah pasti masih menghantui.

Karena sepertinya ia benar-benar sedang membutuhkan (telinga dan bahu) saya.

Walaupun saya juga menyadari dengan amat sangat, bahwa keduanya sedang tidak cukup kuat untuk berfungsi menjadi penopang seperti biasa.

Kelelahan, kurang tidur karena mengerjakan tugas dan beberapa pekerjaan sampingan semalaman, juga waktu istirahat yang juga kurang pada malam sebelumnya, telah menguras habis tenaga saya dengan cepat. Belum lagi menyetir si hitam pulang-pergi dari rumah ke kampus yang tentunya membutuhkan tenaga ekstra untuk tetap terjaga.

Lalu sekarang, sebelum kembali pulang, saya harus membelokkan si hitam ke belahan lain kota Jakarta untuk menemuinya.

Kalau saja keputusan untuk langsung kembali pulang ke rumah dan tidak menemuinya memang semudah itu, saya pasti sudah melakukannya.

Tapi tidak bisa.

Saya tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan demikian.

Sedang sedih, dan mungkin sedikit putus asa.

Seseorang yang digandrunginya selama setengah tahun belakangan tiba-tiba menjauhkan diri.

Setelah sebelumnya mereka sempat sangat dekat, melakukan berbagai kegiatan bersama, dan membuat status mereka hanya sejengkal lagi dari sebutan sepasang kekasih, ternyata semuanya harus kandas.

Di saat rangkulan, pegangan tangan, dan pelukan sudah menjadi keseharian mereka, ia harus menelan kecewa ketika pujaan hatinya itu tidak lagi mengangkat handphone dan menerima panggilan darinya selama berhari-hari.

Kalau saja tanda-tanda bahwa hubungan mereka akan mulai surut itu sudah terlihat, ia tidak akan segundah ini, begitu katanya.

Tapi nyatanya semua terjadi secara tiba-tiba.

Tiba-tiba saja mereka tidak lagi memiliki waktu yang bisa dihabiskan bersama. Tiba-tiba banyak sekali acara yang harus dihadiri oleh kekasih hatinya itu. Tiba-tiba tidak ada lagi peristiwa menarik yang bisa dibagikan satu dengan yang lain. Tiba-tiba tidak ada lagi lelucon dan hal-hal konyol yang bisa ditertawakan bersama.

Dan semua itu telah membuatnya merasa di ujung tanduk.

Yang terakhir ini, saya yakin kalau tidak termasuk ke dalam kategori ujug-ujug tadi.

Karena ini bukanlah kali pertama ia memperdengarkan cerita itu. Ini juga bukan yang pertama kali baginya mengeluhkan hal yang sama.

Entah sudah berapa kali ia datang dengan membawakan kisah cintanya ini sebagai buah tangan.

Suatu kali dengan mata berbinar-binar mengisahkan bagaimana menyenangkannya acara makan malam yang terjadi kemarin bersama pujaan hatinya itu. Atau bagaimana sulitnya menghentikan debaran di dalam dada ketika tiba-tiba saja tangannya digenggam erat saat mereka tengah menonton film di bioskop. Atau bagaimana tidak sabarnya ia menunggu hari ulang tahunnya karena begitu ingin mengetahui apa yang akan diberikan oleh sang kekasih kepadanya.

Namun di saat yang lain, ia memberikan wajah muram dan mata sembabnya kepada saya. Lelah akibat menangis semalaman sampai akhirnya tertidur karena dering handphone yang dinantikannya tidak kunjung terdengar. Sakit hati karena tidak lagi merasa menjadi prioritas dalam hubungan mereka. Atau mengomel dan mrepet ke sana-kemari tanpa kejelasan akibat rasa khawatir yang berlebihan bahwa akan terjadi sesuatu pada hubungan mereka.

Yang kekhawatiran seperti itu sebenarnya sudah terjadi secara berulang.

Kalau saja dia masih ingat.

Kalau saja dia tidak lupa bahwa saya selalu duduk di hadapannya, di ruang kerja saya, mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibirnya, menatap matanya, dan mencoba memahami apa yang ia rasakan.

Tapi entahlah…

Mungkin ia memang lupa, mungkin tidak ingat, atau berpura-pura bahkan tidak peduli. Ia masih saja mengulangi adegan yang sama, yang sudah diperagakan berkali-kali.

Yang bahkan telinga saya pun masih ingat betul bagaimana isi percakapan kami yang lalu.

Yang tidak ada bedanya dengan saat ini.

Dan membuat saya menghela napas panjang.

I’m tired.

Saya lelah terus mendengar kisahnya yang itu-itu saja. Yang tidak pernah terselesaikan.

Lalu untuk apa ia meminta saya datang, mendengarkan ceritanya, lalu mengharapkan saran yang terbaik baginya?!

“We’ve been talk about it, right?! Several times, Dear… Again and again…”

“I know It, Gat... I know it. Hhhh… If only you knew what I feel…”

“…”

“Gue takut. Takut kalo tiba-tiba dia pergi gitu aja, ninggalin gue.”

“…”

“Gue gak sanggup kalo harus jalan tanpa dia. Dia udah jadi bagian hidup gue, dan gue gak tau apa yang akan terjadi kalo dia gak ada.”

“…”

“Gat! Lo dengerin gue nggak sih?”

“Buat apa? Gue masih bisa nebak kok apa yang bakal lo ceritain habis ini?! Kalo lo gak akan bisa kerja, gak akan bisa mikir, gak makan gak minum cuma gara-gara mikirin dia. Gitu bukan?!”

“…”

“Kenapa gak mati aja sekalian?”

Sontak ia melemparkan tisu yang sedari tadi diremas-remasnya ke wajah saya.

Menatap saya dengan marah.

Dan seketika itu pula saya tahu bahwa ia berusaha menahan diri setengah mati untuk tidak melayangkan tinjunya ke hidung saya. Atau paling tidak, agar tidak mengangkat gelas dan mengguyurkan isinya ke atas kepala saya.

Oh shit! What did I say?

“Listen… I’m sorry… Gue gak bermaksud…”

“Whatever…”

“I’m really sorry… (*sigh) Gue cuma ngerasa kalo masalah lo ini gak selese-selese. Berulang terus. Dan akan terus begini kalo gak dituntasin.”

“It’s okay… Kalo berulang juga gak pa-pa ‘kan?! Elo toh udah hafal apa yang akan terjadi. Mungkin gue cuma butuh variasi cerita. Beneran mati barangkali?!”

“What the…? Lo jangan gila!”

Ia hanya tersenyum menatap saya yang terbelalak.

Lalu berdiri, meninggalkan saya yang masih belum hilang terkejutnya begitu saja.

Entah karena kesadaran yang belum kembali ke tempatnya semula, atau memang benar-benar bodoh, saya tidak bisa menghalanginya pergi. Malahan menatap punggungnya menjauh.

Barulah kemudian mencoba menelponnya berulang kali, setelah menyadari bahwa ia telah benar-benar pergi dari hadapan saya.

Namun tidak berhasil.

Tampaknya ia telah mematikan handphone-nya.

Shit!!!

Kalau saja masih berusaha menahan sedikit kekesalan, pasti semuanya tidak akan terjadi. Kalau saja mau meregangkan sedikit saja kesabaran, pasti hal ini akan terhindarkan.

Kalau saja saya tidak mengatakan hal seperti itu kepadanya, pasti semuanya akan lebih baik.

Paling tidak, saya tidak… yah… saya memang telah menyakitinya.

Saya kesal, jengkel, dan mulai marah karena ia terus datang dengan membawa masalah yang sama. Saran yang diberikan berkali-kali untuk menyelesaikan masalah tersebut, ternyata tidak kunjung diikuti, dan ia kemudian datang dengan membawa masalah itu kembali.

Dan apa yang dikatakan tadi hanya merupakan bentuk kekesalan yang meluncur keluar dari bibir saya. Tidak lebih.

I never mean it.

Bagaimana mungkin saya setega itu?

Bagaimana mungkin saya benar-benar menyuruhnya membunuh dirinya sendiri, dan mati?

Bagaimana mungkin… ia tidak menganggap bahwa apa yang saya katakan itu memang serius?

Oh, shit!!

Hanya karena saya kesal, lalu mengatakan apa yang seharusnya tidak terucapkan. Hanya karena bosan mendengarkan cerita yang sama, saya kemudian menyakiti hatinya.

Saya tidak tahu apa namanya ini jika bukan kebodohan yang amat sangat.

website page counter

ADA 4 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

sometimes its better just to listen, even though it wont solve anything but at least it eases the pain

dont worry dear, shit happens. you're gonna get through this, and her too ;)

February 15, 2007 10:29 AM  
» Blogger Samsjul Hudha:

are your tired, take rest please
but keep writing forever

February 15, 2007 4:26 PM  
» Blogger kodokijo:

yup, sekali-kali boleh donk bales ceritanya dgn 'pukulan' yg pedas, atau jgn2x curhat kayak gitu udah jadi hobbynya ? btw kalo saya sih paling males denger curhat orang, apalagi sampe cengeng, huuu...salam kenal Agatha !

February 16, 2007 11:25 AM  
» Anonymous Anonymous:

meluapkan isi hati kadang gak perlu dicicip dulu rasanya, siapkan saja wadah untuk menampungnya, karena sahabat terbaik selalu memiliki itu. wadah yang tak pernah penuh. Hmmm, tapi tak apa, she'll come back to you :), cheer up!

February 23, 2007 9:56 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS