Ngupil Itu Menyehatkan

Friday, February 09, 2007

Melihat seorang wanita berambut panjang yang tengah duduk di ujung sana, ia langsung menghambur menghampiri. Berjalan dengan langkah panjang dan cepat tidak hanya membuatnya terengah-engah, tapi juga berhasil membuat wanita itu mengerutkan dahi kebingungan.

Yang lebih membuat wanita itu tidak mengerti, ia hanya menarik bibir dan mencoba tersenyum ketika ditanyakan mengenai apa yang tengah terjadi. Memang seharusnya ‘ada apa-apa’, karena kelihatannya bukanlah hal yang biasa menemukannya sampai harus berlari-lari seperti itu. Namun pertanyaan yang terus diajukan ternyata belum juga berhasil membuatnya mengeluarkan sepatah jawaban pun.

Malahan air matalah yang meleleh keluar. Diikuti dengan pelukan yang mendarat pada wanita itu.
Dan membuat wanita itu hanya bisa menyambutnya.

Sebelum kemudian mulai terdengar segala bentuk keluh kesah yang meluncur bagaikan rentetan kereta api yang tidak kunjung berhenti.

Bahwa sang kekasih telah berkhianat dan menjalin hubungan cinta dengan wanita lain. Bahwa hubungan yang selama tujuh tahun belakangan ini terjalin ternyata menjadi tidak berarti. Bahwa apa yang pernah diwanti-wantikan padanya mengenai pria itu telah terbukti benar. Bahwa ia merasa tidak berarti sekarang.

Murkalah wanita di sampingnya itu.

Berbagai wejangan yang sudah berulang kali terdengar kembali harus ditelannya. Bahwa kaum pria memang brengsek, tidak sepatutnya diberi kepercayaan yang begitu besar. Setelah habis berbagai kutukan mengenai pria, ia masih harus mendengar bagaimana sahabatnya itu kembali mengingatkan bahwa sudah sekian kali peringatan mengenai kemungkinan terjadinya hal seperti ini diberikan kepadanya.

Yang berbeda, kali ini ia juga mendengar dorongan yang diberikan padanya agar ia tidak tinggal diam. Menurut sahabatnya itu, ia harus mendatangi (mantan) kekasihnya dan wanita-baru-kekasihnya itu. Melabrak, begitulah istilahnya.

Untuk apa?

Ya untuk memperjuangkan kembali sang kekasih kembali ke dalam pelukannya. Untuk menunjukkan bahwa pria pujaan hatinya tidak semudah itu bisa direbut. Agar mereka mengetahui bahwa hanya dirinya lah yang pantas berdampingan dengan pria itu.

Karena ia begitu sempurna. Cantik, jujur, setia, benar-benar tidak ada yang kurang dari dirinya.

Ah… Dialog yang sinetron banget.

Okay, go on! Laugh at me!

Saya memang menontonnya.

Bahkan memang dengan sadar memindahkan channel ke saluran sinetron itu kembali setelah sempat mencoba menyaksikan acara yang lain. Saya tidak kuasa menahannya. Rasa penasaran yang luar biasa tentang akhir cerita pada episode itu telah membuat saya mengalahkan yang lain.

Bukan sekedar alur cerita yang sangat khas sinetron, yang menampilkan wanita santun pujaan hati setiap pria, namun si wanita justru dikhianati oleh kekasihnya. Tapi karena apa yang ditampilkan di sinetron itu sempat membuat saya bertanya-tanya, jangan-jangan ceritanya dibuat based on true story dari pemerannya?!

Kenapa muncul pertanyaan seperti itu?

Karena melihat bahwa perempuan yang dikhianati dan sang kekasih yang berkhianat itu diperankan oleh (mantan) sepasang kekasih yang sempat dikabarkan hendak menikah. Setelah kabar itu meluas dan menyebar ke mana-mana, justru terdengar kabar lain yang sama sekali bertolak belakang. Pria itu memang tengah melakukan persiapan pernikahan. Tapi bukan dengan wanita yang sama, yang sebelumnya dikabarkan akan dinikahinya.

Hubungan mereka?

Saya tidak tahu. Seperti tidak tahunya saya mengenai waktu pembuatan sinetron tersebut, apakah ketika mereka masih berstatus sebagai sepasang kekasih, atau justru setelah hubungan mereka kandas.

Komentar-komentar yang diperdengarkan oleh para narator infotainment maupun yang tertulis di media cetak lain pun bernada sama dengan cerita yang tersaji di sinetron tersebut. Menyayangkan mengapa mereka harus berpisah.

Mereka tampak sangat serasi.

Yang wanita, kecantikan alaminya sudah terpancar tanpa perlu mengenakan riasan. Selalu muncul dengan tutur kata yang menenangkan. Terlihat ramah dan baik hati. Juga sangat sabar dalam menanggapi gosip tidak menyenangkan yang menerpanya.

Sementara sang pria, ketampanannya masih belum berubah dari sejak usianya lebih muda beberapa tahun lalu. Karirnya sebagai seorang pemain sinetron pun tampaknya tidak pernah surut. Dan selalu saja ada wanita-wanita yang menjadi pendampingnya.

Apa namanya kalau bukan sempurna jadinya ketika mereka bersama?

Tunggu…

Sempurna?

Oke… Perempuan itu memang berkulit putih, wajahnya mulus dan licin tanpa noda, nada bicaranya halus, tidak pernah menampakkan wajah muram, dan memang tidak pernah terdengar kabar bahwa ia melakukan suatu perbuatan buruk. Sama halnya dengan sang pria, yang tampak tidak ada celanya.

Tapi apa iya karena itulah mereka dijuluki sempurna?

Apa karena itu juga hubungan mereka pun juga sebuah kesempurnaan?

Karena buat saya, yang namanya sempurna itu rasanya justru tidak ada hubungannya dengan semua itu.

Rambut yang panjang, sampai sudah mencapai pinggang, memang menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi seorang wanita. Apalah artinya sebuah kecantikan tanpa rambut yang indah, begitulah kira-kira. Memiliki rambut seperti ini, membuat banyak orang ingin memilikinya juga. Tapi mungkin tidak pernah terbayangkan bahwa saya harus lebih sering membiarkan rambut ini tergerai di bagian depan tubuh saya, melintasi bahu, kalau tidak mau mereka terjepit di sandaran kursi. Lalu ketarik ketika hendak menundukkan kepala, dan akibatnya harus berulangkali membenahi posisi duduk.

Mata yang besar dan bulat membuat saya terlihat misterius dan menyeramkan, namun juga sekaligus menantang. Walaupun mungkin sangat sedikit yang mengetahui bahwa hal itu telah membuat saya harus menyiapkan waktu yang lebih lama untuk berdandan. Saya harus sangat cermat dan berhati-hati saat memulaskan eye-shadow pada kelopak mata, kalau tidak ingin terlihat seperti orang yang habis kalah bertinju dan menyebabkan lebam di mata.

Hidung mancung kepunyaan saya ini selalu dianggap sebagai suatu hal yang luar biasa. Membuat saya tampak cantik, hampir tidak ada bedanya dengan KAJOL. Tapi toh tidak selamanya memiliki hidung mancung itu menyenangkan. Saya tidak pernah bilang saja bahwa seringkali keasyikan mengupil dengan hidung seperti ini harus terhenti karena sulitnya mengambil kotoran yang tersangkut di bagian dalam hidung, antara tulang hidung dengan bagian terdepannya. Saking menyempitnya bagian itu.

Bahwa ketika memiliki semuanya itu sudah sepantasnya dianggap sebagai suatu kesempurnaan, buat saya justru tidak demikian.

Bahwa semuanya bisa dianggap sebagai suatu hal tidak tercela, karena celanya itu tidak tampak, tidak diketahui, atau memang dengan sengaja tidak diperlihatkan.

Ya iya lah, masa saya harus membawa kursi sendiri yang tanpa sandaran setiap kali mengikuti perkuliahan?! Masa aktivitas merias diri harus dilakukan di toilet umum agar semua orang yang mampir ke sana akan mengetahui bahwa saya membutuhkan waktu lama hanya untuk merias kelopak mata?! Dan menjadi tidak lucu ‘kan kalau saya harus mengupil di tempat umum dan di depan orang banyak hanya agar mereka tahu bahwa memiliki hidung panjang dan melancip seperti ini tidak selalu menyenangkan?!

Tapi bukankah justru itu yang menarik?!

Memiliki rambut panjang yang harus dirawat dengan hati-hati dan dikeramasi setiap hari (Hush! Dilarang jorok!), memiliki mata yang benar-benar harus dicermati ketika meriasnya, memiliki hidung yang harus rajin dibersihkan, itu yang membuat kepemilikan terhadap mereka menjadi menyenangkan buat saya.

Mengetahui bahwa saya memiliki sesuatu, tapi di saat yang sama juga membuat saya harus berjuang keras untuk menjaga dan merawatnya baik-baik, itulah yang membuat keberadaan sesuatu ini menjadi sempurna.

Ya kalau tidak perlu rajin keramas, mana saya sadar bahwa rambut saya bagus?! Kalau tidak pernah mengeluh kesulitan merias diri, mana saya sadar bahwa saya memiliki mata yang indah?! Atau juga menyadari uniknya bentuk hidung saya, sampai membuat saya harus bersusah payah untuk membersihkannya?!

website page counter

ADA 8 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

kesempurnaan itu relatif yah :)

February 10, 2007 9:59 AM  
» Anonymous Anonymous:

hmm yang menilai sso / ssuatu itu sempurna, (biasanya) bukan kita ya.. tapi orang lain..

dan walaupun nobody's perfect, tp tiap orang (ato aku doang ya??) pny kriteria sendiri2 ttg arti 'sempurna'

gitu bukan mbak? *hehehe apaaa sih gue?*

iin

February 10, 2007 7:49 PM  
» Anonymous Anonymous:

satu lagi alasan cantik untuk mengupil

February 10, 2007 11:04 PM  
» Anonymous Anonymous:

keunikan akan bertambah jika ngupilnya pake jempol .... jempol kaki

February 12, 2007 3:55 PM  
» Anonymous Anonymous:

Mengupil itu mengenyangkan *hap!* :)

February 13, 2007 7:21 AM  
» Anonymous Anonymous:

Tulisan soal upil yang panjang. Hehehe. Renungan yang bijak.

February 14, 2007 8:13 PM  
» Blogger mbakDos:

anima:
sangad! ;-)

iin:
yang menilai sso / ssuatu itu sempurna, (biasanya) bukan kita ya.. tapi orang lain..
gak kebalik ya in?! ;-)

pakDok:
alasan yang cantik untuk mengupil ATAU alasan mengupil agar cantik?

sir mbilung:
situ kalok mau ngenyek pakDok mbok ya bilang langsung aja tho, sir ;D

rama:
waahh emang bisa? saya harus belajar dari sampeyan kalok gitu ;D

aginta:
tulisannya yang panjang atau upilnya yang panjang? jadi umbel dong kalok panjang?! ;D
*thank you :-)

February 15, 2007 12:21 AM  
» Blogger timo:

wah...Nobody's Perfect...
makasih loh udah dipromosiin...

aheuehauhueuhueah...

masih binun ngetik lanjutannya nih...
mohon dukungan dan doanya agar cepat selesai...

amien...

March 02, 2007 3:12 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS