Friday, March 16, 2007
Baru saja berniat memindahkan saluran televisi dan mencari acara yang bisa menemani menjelang waktu tidur, seketika itu pula saya membatalkannya.
Setelah mendengar suara yang keluar dari bibir mereka.
Kata-kata yang dinyanyikan terdengar asing buat saya, sekalipun pada bagian bawah layar televisi sudah tertera teks yang bisa dilafalkan jika berminat untuk ikut berdendang. Namun demikian, tetap saja saya tidak mengerti artinya. Selain “Sherly,” yang memang terdengar seperti nama seorang perempuan, tentunya.
Dan memang bukan itu yang membuat saya tertarik.
Melainkan suara ala The Beegees.
Dengan suara tinggi nan tipis dan vibrato yang lambat.
Sungguh!
Jika saja saya menutup mata dan tidak perlu melihat bahwa tiga orang pria berjas itulah yang sedang bernyanyi, saya pasti akan menduga bahwa mereka adalah The Beegees. Tengah menyanyikan salah satu lagu dalam collectible album, yang tanpa sepengetahuan saya, ternyata berbahasa Batak. Dan saya tidak kuasa menahan diri untuk tetap menyaksikan penampilan panggung mereka. It amazed me! Perjumpaan ketiga kawan setelah sekian lama, memicu mereka untuk mengadakan suatu kegiatan bersama. Karena sama-sama memiliki suara yang bagus, sama-sama memiliki waktu luang, membentuk trio vokal menjadi pilihan yang ‘tidak ada ruginya’. Maka mulailah mereka berlatih dan manggung ke sana-kemari. Mungkin itulah yang terjadi, bertahun-tahun sebelum hari ini. Jauh sebelum saya menemukan mereka muncul di televisi. Atau justru terbentuknya trio vokal terjadi secara dadakan. Tiga orang pria yang tidak pernah saling mengenal, bertemu di suatu acara, dan setelah perbincangan singkat mereka langsung memutuskan untuk bergabung. Apalagi secara kebetulan, ada tawaran untuk mengisi acara perkumpulan orang Batak di stasiun televisi ini. Rasanya tidak ada alasan untuk menolaknya. Dan mungkin itu pula yang akan saya lakukan, jika saya menjadi salah satu anggota The Spurious Beegees* ini. Karena yang saya tahu, menembus dunia hiburan seperti itu bukanlah hal yang mudah. Persaingan dengan si ini dan si itu membuat para peminat harus menampilkan sesuatu yang unik, yang tidak hanya bisa menarik minat juri, tetapi juga menarik bagi orang-orang yang mungkin akan menyaksikan penampilan mereka. Belum lagi jam terbang yang ikut menentukan apakah sudah cukup pantas untuk ditampilkan di televisi. Dan bagian terpentingnya, mau-tidak mau, faktor kenalan atau orang dalam atau apalah namanya itu, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bahkan jika yang ke-tiga ini sudah didapat, tanpa perlu mempertimbangkan kemampuan ataupun jam terbang, menjadi sangat mungkin bahwa pintu untuk memasuki dunia hiburan sudah di depan mata. Dan mungkin saya yang terlalu bodoh karena tidak menyadarinya. Ketika tiket terusan untuk melintasi dunia yang saya inginkan sekaligus meraih mimpi yang dicita-citakan sudah ada dalam genggaman, hanya tinggal menunjukkannya kepada ‘petugas penjaga pintu’, saya justru melepaskannya. Ketika sedang gandrung-gandrung-nya menulis skenario cerita, tiba-tiba saja terdengar kabar bahwa seorang penulis skenario film layar lebar tengah mencari asisten penulis. Bersama dengan beberapa orang lain, saya pun ikut mengirimkan contoh tulisan kepadanya. Buat saya, tidak ada alasan untuk tidak ikut mengajukan diri. Siapa tahu sayalah yang terpilih, menjadi asisten penulis dalam beberapa film, sampai akhirnya saya bisa menjadi penulis utama dan membuat skenario film saya sendiri. Walaupun kemudian ternyata bukan sayalah yang terpilih untuk mendampingi mbak penulis tersebut. Karena penasaran, saya mencoba mengirimkan e-mail padanya dan memulai perbincangan mengenai kriteria pemilihan sampai akhirnya memutuskan bahwa si orang inilah yang dipilihnya. Si Mbak memang tidak memberikan jawaban secara gamblang atas pertanyaan tersebut, namun dari penjelasan yang diberikannya, karena orang yang dicarinya ini memang akan bekerja sebagai asisten beliau, maka ia memang mencari seseorang yang cara menulisnya tidak jauh berbeda dengannya. Sehingga asistennya ini tidak akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan cara penulisan. Pertanyaan berikutnya, sebenarnya cara penulisan yang baik itu yang seperti apa? Si Mbak memberikan tanda senyuman (dan saya yakin bahwa ia memang tersenyum saat menerima pertanyaan semacam ini). Tulisan karyamu sendiri, dan biarkan datang dari hati. Begitu jawabnya. Tidak perlu meniru cara menulis orang lain, tidak perlu menjadi orang lain, saya hanya perlu menuliskan apa yang ingin dituliskan. Maka dengan sendirinya akan terlihat apakah menulis memang dunia milik saya. Tentunya sambil terus rajin mengirimkan tulisan ke media yang memungkinkan bagi orang lain untuk ikut menikmati. Karena merekalah juri yang sesungguhnya. Begitu imbuhnya. Benar-benar menjawab keingintahuan saya. Banyak hal yang masih harus dipelajari. Menulis mungkin memang kegemaran saya. Tapi tetap tidak akan ada yang terjadi jika saya tidak pernah mencoba untuk mempublikasikan tulisan-tulisan itu, melalui majalah, surat kabar, atau media apapun yang memungkinkan. Akan menjadi percuma jika tulisan-tulisan itu hanya sekedar memenuhi hardisk komputer ataupun lembaran kertas pada buku. Jadi untuk apa saya bermaksud menyampaikan pesan melalui tulisan kalau begitu? Wong tidak ada yang pernah membacanya. Baru saja selesai mengirimkan balasan e-mail kepada si Mbak penulis dan mengucapkan terima kasih, tiba-tiba saja handphone saya berdering. Dan saya terkejut ketika mendengar pria di seberang sana menyebutkan namanya dan perusahaan tempatnya bekerja. Ditambah lagi nama si Mbak yang disebutkan sebagai pemberi nomor handphone saya dan juga pemberi saran untuk mencoba menghubungi saya. Nama pria ini cukup sering saya lihat pada deretan main title maupun credit title tayangan-tayangan di televisi. Perusahaan yang disebutkannya pun merupakan sebuah production house yang cukup ternama, tempat di mana si Mbak juga bekerja. Ia menanyakan apakah saya tertarik untuk ikut menulis skenario sebuah sinetron. Wait… Sinetron? Seketika itu, bayangan berbagai cuplikan adegan yang sering muncul di televisi pun mulai berkelebatan. Gadis-gadis es-em-a mengenakan riasan menor, menghadiri prom night demi mengejar pria pujaan, lalu mulai bertingkah centil di hadapan sang pria. Atau jagoan basket yang digilai oleh gadis-gadis di sekolah, namun ternyata malah memilih gadis yang rupanya tidak cantik. Atau seorang perempuan muda yang dibuang oleh ibu tiri, menjadi pengemis, kemudian bertemu dengan prince charming, mereka menjadi sepasang kekasih, dan hidup bahagia selamanya. Bukankah itu yang dimaksudkan dengan sinetron? Dan saya diminta untuk ikut menulis alur cerita yang seperti itu? Saya pun meminta maaf dan mengatakan bahwa saya tidak tertarik. Lalu sekarang, lebih dari lima tahun berselang setelah menerima telepon tersebut, jangan dikira saya tidak menyesali kejadian itu. Seseorang yang cukup dikenal dalam dunia sinema sudah menghubungi saya dan menawarkan sebuah kesempatan, malahan saya tolak. Memang sinetron. Tapi apa salahnya? Saya toh tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia sinetron itu. Saya tidak pernah tahu bagaimana proses penulisan skenario sampai kemudian cerita seperti itulah yang muncul. Saya bahkan tidak tahu bagaimana proses pemunculan ide, diskusi, sampai kemudian diputuskan bahwa cerita gadis malang bertemu pangeran tampanlah yang dipilih untuk dibuat. Kalau saja tawaran itu saya terima, dan kemudian saya ikut bergelut di dalamnya, justru semua rasa penasaran dan keingintahuan akan terjawab dengan sendirinya. Apakah dugaan-dugaan itu bisa dibenarkan atau tidak. Siapa tahu, setelahnya, saya justru bisa membuat skenario yang lebih baik. Karena sudah mengetahui apa kelebihan dan kelemahan dari alur cerita di sinetron tersebut. Memang bukan sinetronnya itu sendiri yang membuat saya menyesal. Melainkan kesempatan untuk terlibat dan belajar lebih banyak di sana. Karena sampai sekarang pun, si Mas atau si Mbak tidak pernah memberikan tawaran itu lagi. Dan belum tentu dalam beberapa tahun ke depan, kesempatan itu akan datang lagi pada saya, ‘kan?! *The Spurious Beegees ini nama buatan saya saja kok
ADA 7 KOMENTAR:
kalau ditinjau etimologinya, sinetron berasal dari sinema elektronik. Entah kenapa isinya melulu prince charming, dan hamil diluar nikah :p.
Jujur, kadang cerita sinetron sadisnya gak karuan. Kalau penulisnya masih betah menulis cerita payah begituan, pasti masih ada kesempatan buat anda mbak Dos.
tito:
*crossing fingers ;-)
tapi terus giat berusaha khan?.. .
ituh lomba cerpen ditempat kita "ngumpul" sudah kirim berapa hayooo! saya liat belum ada namamu disituh:> ..
saya sangat suka tulisan2nya mbakDos...
dan benar kata tito^^, kesempatan untuk si mba pasti masih terbuka lebar (^^)
segala sesuatu memang indah pada waktuNya kan, mba?? (",)
memed:
waahhh kurang teliti kali liyatnya tuh! hehehe... gak ding! emang belum ngirim kok :P
sisisusu:
segala sesuatu memang indah pada waktuNya kan, mba?? (",)
pastinya, su! ;-)
wah, kalo gue sih seringnya ngebayangin...
kalo nanti gue ditawarin untuk bermain sebagai pemain sinetron, akan gue tolak dengan tegas...karena dengan gue terlibat dalam dunia sinetron (termasuk menontonnya), berarti gue juga turut membantu kehancuran moral dan mental nusa dan bangsa...
haueheauhaeuhaeuhauhaeuhae...
haduh, ga ada hubungannya yah...
eh ada ding...ada sinetron-sinetronnya...haeuhauehuae..
tapi kalo suatu waktu situ jadi penulis skenario sinetron, saia mau deh turut serta menjadi aktor...
amien!!
timo:
jadi ibu tiri begitu maksudnya? boleh boleh...