nJawani

Monday, April 09, 2007

Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tiga sore saat saya melambaikan tangan kepada teman-teman yang berpamitan pulang.

Sedangkan saya masih saja duduk di salah satu sudut kantin, bersama dengan notebook, beberapa literatur berbahasa Inggris nan tebal, juga segelas besar jus alpukat. Masih mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Ibu-ibu dosen tadi. Lalu seperti biasa, mengakibatkan kepala ini tidak mau berhenti ikutan bertanya-tanya juga, kalau jawaban itu tidak kunjung ditemukan.

Buku-buku tebal itu sudah dibaca berulang kali. Daftar isi dan subject index di bagian belakang sudah ditelusuri. Bahkan sampai membolak-balik tiap halaman pun sudah dilakukan. Tapi tetap saja merasa belum menemukan apa yang dicari. Situs pencarian jitu milik Google juga belum berhasil membantu. Kata kunci yang dimasukkan tampaknya terlalu umum, sehingga hasil pencariannya menjadi terlalu banyak untuk dilihat satu-persatu.

Rasanya memang tidak ada pilihan lain selain kembali mengunjungi perpustakaan.

Lagipula, masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum saya mengajak si hitam kembali pulang ke rumah.

Tanpa perlu menelusuri database di komputer pencarian yang tersedia, saya masih hafal betul letak rak di mana buku-buku yang saya cari itu berada.

Buku coklat kecil itu sudah pernah dibaca. Juga buku tebal dengan kertas yang sudah menguning di sampingnya. Yang putih dan merah itu sudah pernah dipinjam, pada periode sebelum saya meminjam buku-buku yang sekarang. Yang besar itu, yang diterbitkan tahun lima-puluh-sekian, yang juga pernah direferensikan oleh seorang teman, semuanya sudah dibaca.

Eh, tunggu…

Buku yang ini… kok kemarin tidak ada ya?!

Author index… D… Drigotas

Ternyata ada!

Ooohhh… ini memang buku yang selama beberapa hari belakangan saya cari-cari. Buku ini tertera di antara beberapa buku yang ada dalam daftar hasil pencarian pada komputer database perpustakaan. Namun karena sedang dipinjam, baru sekaranglah ditemukan kembali di raknya.

Kalau begitu saya harus meminjamnya sekarang!

Mumpung si Mas petugas bagian peminjaman juga belum diantri.

Segera saja buku tersebut diserahkan padanya. Sambil menyebutkan nomor mahasiswa saya, berhubung kartu mahasiswa yang dinantikan belum juga didapat.

“Oke… Agatha, ya?!”

“He-eh.”

“Kamu belum ngasih foto buat di-scan ya?!”

“’Kan kemaren udah, Mas?!”

“Masa’ sih? Ngasihnya ke siapa?”

“Lho, panjenengan (baca: kamu) gitu…”

Si Mas pun mengerutkan dahi, menatap saya, lalu memberikan senyuman sumringah.

Mulailah ia mengajak saya berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Mengatakan bahwa ia lupa apakah memang sudah pernah menerima foto yang dimaksud, lalu mulai mencari hasil scanning foto tersebut di dalam file.

Dan memang sudah ada.

Hanya saja belum dimasukkan ke dalam database atas nama saya.

Si Mas kemudian terkekeh geli dan meminta maaf, lalu memberikan buku itu kembali kepada saya.
Meminta saya melakukan scanning sendiri di atas scanner di dekatnya. FYI, ini memang salah satu bagian dari proses peminjaman buku, yang notabene mestinya adalah tugas si Mas.

Mengko nek muni yo balik rene wae, Mbak,” (baca: “Nanti kalau bunyi [sensornya] ya balik lagi aja ke sini, Mbak,”) serunya sambil tertawa, setelah saya mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar.

Seketika itu, membuat saya teringat pada Ayah.

Yang adalah orang Solo tulen.

Bahasa Jawanya sudah tidak perlu diragukan lagi. Baik yang ngoko, kromo, sampai kromo inggil, Ayah patut diacungi empat jempol. Sebagai bukti kecanggihannya berbahasa Jawa, beliau pun sudah berpuluh kali diminta oleh rekan-rekannya untuk menyusun dan memberikan kata sambutan dalam pernikahan adat Jawa. Belum lagi termasuk menjadi wakil dari pihak keluarga untuk melamarkan calon mempelai perempuan, menemui dan meminta ijin kepada para sesepuh, yang semua dialognya menggunakan bahasa Jawa.

Bahkan bahasa Jawa ini pun digunakan dalam komunikasi sehari-hari keluarga kami.

Mungkin saking seringnya dipergunakan, bahasa tersebut benar-benar sudah sangat mendarah-daging dalam diri Ayah. Alhasil, setiap kali bertemu dengan orang (yang diduga adalah orang) Jawa, beliau akan dengan serta-merta mengajaknya berbicara dalam bahasa Jawa, atau hanya sekedar mengungkapkan istilah bahasa Jawa. Tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran bahwa lawan bicaranya itu memang memahami bahasa Jawa.

Istilah-istilah sederhana seperti inggih (baca: iya), atau mboten (baca: tidak), atau matur nuwun (baca: terima kasih), yang kadang diungkapkan oleh si lawan bicara mungkin sebenarnya hanya merupakan bentuk sopan-santun atau basa-basi, karena mengetahui bahwa Ayah adalah orang Jawa.

Namun ternyata bagi Ayah, pengungkapan istilah tersebut membuatnya merasa menemukan teman sekampung di tengah kota Jakarta ini. Yang bisa diajak bercakap-cakap dengan bahasa kampung mereka.

Padahal mereka baru saja bertemu untuk pertama kalinya.

Tidak heran jika Ibu kemudian berkomentar, “Koncomu ki akeh ya, ‘Kung?! Ono ning ngendi-ngendi.” (baca: “Temanmu itu banyak ya, ‘Kung?! Ada di mana-mana.”)

Ayah sih hanya tertawa saja. Sudah sangat maklum dengan komentar sang istri yang bak aktris Srimulat itu tampaknya.

Tapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikomentarkan oleh Ibu.

Ayah sudah lama meninggalkan kota kelahirannya itu.

Kini tinggal di Jakarta. Di mana percakapan dengan orang lain sewajarnya dilakukan dalam bahasa Indonesia, atau mungkin dalam bahasa prokem Jakarta. Bukan bahasa Jawa, tentunya.

Beberapa kali saya memang menemukan beberapa orang berbincang dengan menggunakan bahasa daerah yang bukan bahasa Indonesia. Kedua teman sekelas saya misalnya, sebagai sesama orang Padang, tidak jarang mereka berbicara dalam bahasa yang hanya diketahui oleh mereka sendiri. Atau beberapa orang yang kebetulan saya temui di sebuah restoran cepat saji, berbicara dalam (kalau tidak salah) bahasa Menado, tampaknya tengah memperbincangkan anak dalam gendongan masing-masing.

Atau para kapster salon yang menggunakan bahasa gaul ala mereka sendiri untuk saling bercerita satu dengan yang lain.

Di mana bisa dipastikan bahwa percakapan itu terjadi karena mereka mengerti apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Dan juga karena mereka sudah saling mengenal, bisa dibilang sudah cukup dekat.

Kemudian saya menemukan Ayah berbicara dengan orang baru, menggunakan bahasa Jawa.

Oke, saya tidak akan mempertanyakan hal itu.

Secara… saya baru saja melakukan hal yang sama dengan si Mas perpustakaan.

Mengungkapkan istilah bahasa Jawa padanya. Sementara saya sendiri tidak bisa memastikan apakah ia memang orang Jawa. Atau setidaknya, mengerti bahasa Jawa.

Tapi yang lucu, si Mas langsung menimpali dengan kalimat dalam bahasa Jawa juga!

Padahal dengan menggunakan kata panjenengan itu, belum bisa disimpulkan bahwa saya memahami bahasa Jawa. Mungkin saja saya pernah mendengarnya dari Ayah atau Ibu, dan kemudian barulah mengerti bahwa kata tersebut setara dengan istilah kamu dalam bahasa Indonesia. Mungkin saja sebenarnya saya tidak mengerti bahasa Jawa.

Lagipula, wajah saya tidak tampak seperti orang Jawa.

Jadi dari mana ya si Mas bisa menyimpulkan bahwa saya adalah orang Jawa, yang akan mengerti kalimat berbahasa Jawa yang dilontarkannya?

website page counter

ADA 15 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

lah, mas penjaga perpustakaan itu kan penggemar blog sampean to cah ayu?

April 09, 2007 7:44 PM  
» Anonymous Anonymous:

Met kenal ndoro...

April 10, 2007 5:51 AM  
» Blogger iin:

untung gak dibalesnya dgn "aku tresno karo kamu" gitu mbak.. kan repot.. ;p

eh bener gak ya ky gt bhs nya?hhihi..

salamkedip

April 10, 2007 7:07 AM  
» Blogger rymnz:

jadi kamu keperpus tuh nyari kamus bahasa jawa gtuh?:-/ =)).. ..

April 10, 2007 9:01 AM  
» Anonymous Anonymous:

lho panjenengan wong jawa tho, tak kira wong londo...

londo India
(wong irunge mbangir ngono)



Note:
ini gurauan kok....
mbak agatha ini 'harus'nya memang orang jawa karena bapak - ibunya jawa tulen, tapi waktu kecil ketuker dengan bayi India di RS

=)) pis.. pis.... nduk

April 10, 2007 6:20 PM  
» Anonymous Anonymous:

ndoro kakung:
lho ternyata ndoro lagi menyamar jadi si mas petugas perpustakaan tho?

ahmad dzikir:
wah, kenalan sama ndoronya sampe ke sini, mas?! ;-)

iin:
gak bisa ujug2 bilang tresno kan in? kan harus pdkt dulu ;-)

memed:
salah satunya sih, med... gak diceritain aja tapinya. kan malu ;p

japro:
nah kan... bawa2 rumah sakit sih... skalian aja diceritain kalo dulu sayah pernah tinggal di pasar baru ;D

April 11, 2007 8:38 AM  
» Blogger dung2x:

Hahahhaha... ngakak baca komen2 di atas... apalagi seng teko londo India. Hahahhahahaa... di India mana ya duduk wong londo, wong bawang mas... huahuahuhauhauha...

Lucu2... Nice story btw :)

April 12, 2007 4:06 PM  
» Anonymous Anonymous:

dung-dung:
hush hush! ojo melu2 tho... ;p

April 15, 2007 9:53 PM  
» Blogger L. Pralangga:

meski nggak gitu ngerti jawa alus, tetep dibuat tersenyum dgn postingan yang satu ini..

Kayaknya harus ambil kurus bahasa Njawani dulu deh, agar bisa nyambung ngobrol dgn si mas-nya :)

April 17, 2007 12:52 AM  
» Anonymous Anonymous:

hahaha, ya iyalah ngomong pake bahasa daerah sendiri itu lebih enak, lebih ngeglosor gitu, hihihi.
aku disini baru belajar mesen sate lho pake boso jowo, mboten ngangge lami... :P

April 17, 2007 9:06 PM  
» Anonymous Anonymous:

luigi:
si akang ikutan kursus gih, biyar bisa ngobrol pake bahasa jawa kita ;D

rama:
emang sate apaan yang pake lami? enak?

April 19, 2007 12:33 PM  
» Anonymous Anonymous:

Kula tresna, niki saestu :p . Ngomong apaan sih yak?

April 22, 2007 7:13 PM  
» Blogger timo:

oalah, sampeyan wong jowo tho...
ternyata akeh yo, wong jowo neng kene...
tapi aku mboten ngertos jowo ngoko, kromo, karo kromo inggil...

April 24, 2007 1:46 AM  
» Anonymous Anonymous:

pakDok:
tresna karo sinten pakdok?! ;D

timo:
kromo "mawon" saget? ;D

April 24, 2007 2:26 PM  
» Blogger Johannes Krauser II:

seperti kata Denny P-Project:
"Widodo! Kamu ora ono!"

October 28, 2008 6:08 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS