Sunday, January 21, 2007
Tapi ternyata balasan yang saya terima, malah berondongan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan resepsi tersebut.
Bukannya bertanya tentang waktu berakhirnya resepsi, di mana persisnya lokasi gedung, jalan mana yang harus dilalui jika ingin terhindar dari kemacetan, atau bahkan menawarkan keberangkatan bersama. Yang saya terima malahan semacam todongan agar saya membawa seorang pria yang pernah kepergok sedang jalan berdua dengan saya. Saya harus memperkenalkannya, begitu kata mereka.
Lho, pria yang mana?!
Yang pernah jalan berdua dengan saya?
Memangnya teman pria mana yang tidak pernah terlihat sedang jalan berdua dengan saya?!
Tampaknya kali ini saya harus benar-benar memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan kepada mereka. Harus berbeda dari yang pernah saya berikan sebelumnya. Karena yang dulu-dulu sudah jelas bukan jawaban yang mereka harapkan.
“Lha, kalo dibawa ntar dikira pacar gue, lagi?!” » Tidak. Mendengar itu, mereka akan berkelit dan mengatakan bahwa tidak perlu selalu membawa kekasih ke acara resepsi perkawinan. Siapa tahu setelah dibawa, pria itu justru bisa menjadi kekasih saya, begitu pasti kata mereka. “Nggak lah… Sibuk kali, dia. ‘Kan ini masih hari kerja?!” » Jelas bukan yang beginian. Balasan seperti itu seolah langsung memberikan pembenaran atas dugaan bahwa pria yang pernah mereka temui memang kekasih saya. Sekalipun akan ada penjelasan berikutnya bahwa jumlah kekasih yang saya miliki adalah sebanyak jumlah pria yang pernah jalan berdua dengan saya. Gilak! “Kalo lo yang nyariin gandengan aja gimana?!” » Ehm… tidak juga. Sama saja, hanya berbeda sudut. Tetap merupakan jawaban atas asumsi-asumsi mereka, sekalipun kali ini jawaban yang diperoleh adalah status single and still looking yang ‘sepertinya’ ada pada saya. Kalau sudah begitu, pertanyaan intimidasi berikutnya pasti sudah menunggu. Mereka akan mempertanyakan mengapa saya tidak mencoba untuk menjajaki saja hubungan dengan pria itu. Tidak ada salahnya mencoba, pasti begitu nasihat mereka. Dan pastinya bisa dimulai dengan memintanya menemani saya di acara resepsi perkawinan ini. Tapi rasanya… benar juga! Kira-kira, apa yang akan terjadi ya kalau benar-benar ada seorang pria yang berjalan di samping saya ketika acara resepsi berlangsung? Pasti akan segera menjawab rasa penasaran itu. Dan memang tidak ada salahnya dicoba, ‘kan?! Janji pun dibuat dengan wedding date saya. Kami akan langsung bertemu di gedung tempat resepsi diselenggarakan. Karena kalau dia harus menjemput saya terlebih dulu, baru kami berangkat, pasti dia akan kelelahan. Secara jarak dari kantornya ke gedung tersebut lebih dekat jika dibandingkan ke rumah saya. Ternyata ia sudah tiba di gedung resepsi ketika saya masih harus melewati satu perempatan jalan lagi. Maka ia pun bermaksud menunggu di lobby agar saya bisa menjemputnya, lalu ia akan menemani saya membawa si hitam ke tempat parkir di bagian belakang. Memasuki gedung resepsi, saya langsung berjalan di karpet merah. Seolah tidak ada apa-apa, saya menggandeng tangan pria di samping saya itu dan terus mengikuti barisan untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai. Sementara saya tahu betul bahwa beberapa teman yang sempat berpapasan mulai tersenyum dan bertanya-tanya siapa gerangan pria yang berjalan di samping saya itu. Asik! Reaksi yang diharapkan pun muncul. Sekarang giliran saya yang harus bersabar untuk bisa mengakhiri red carpet moment dan turun kembali dari pelaminan untuk bertemu dengan teman-teman. Lebih tidak sabar lagi untuk segera memperkenalkan pria di sebelah saya ini kepada mereka. Dan tibalah saya di sana. Berdiri berduaan, memegang piring berisi makanan, sambil sesekali saling melontarkan komentar jahil. Sampai kemudian beberapa teman mulai menghampiri kami. Sambil tersenyum-senyum. Seketika itu, saya pun tahu yang ingin mereka temui bukan saya, tetapi pria yang sedari tadi mbuntut di belakang saya itu. Tanpa menunggu pertanyaan mulai diajukan, segera saja saya menoleh ke belakang, dan menunjuk dengan dagu pada pria berbaju batik coklat yang sedang berdiri tidak jauh dari situ. Lagi-lagi seperti yang sudah diduga, pertanyaan siapa pria itu pun mulai bermunculan, karena ternyata memang pria yang berbeda dari yang pernah mereka temui dulu (tidak tahulah siapa yang sebenarnya mereka maksudkan ini). “Itu Mas Jules, kakak gue.” Binar-binar di mata mereka pun pudar seketika. Lalu saya harus menyaksikan wajah-wajah kecewa dan juga mendengarkan kejengkelan karena merasa ditipu. Lha, di bagian mananya saya menipu? Saya ‘kan tidak pernah mengatakan akan membawa kekasih saya. Saya bahkan belum pernah menyebutkan bahwa saya memang memiliki kekasih. Jadi kalau ternyata pria yang menjadi wedding date saya malam itu adalah JULES, tidak ada salahnya ‘kan?! Toh tidak ada pengumuman bahwa pria di samping itu berstatus sebagai kekasih saya. Tidak ada juga billboard yang memampangkan tulisan bahwa memang sudah ada pria yang akan diperkenalkan sebagai seorang kekasih saya. Penjelasan dengan berbagai versi sudah diberikan. Acara diskusi mengenai hubungan percintaan juga sudah digelar. Dan semuanya bermaksud menegaskan bahwa memang belum ada yang harus di-launch. Kalau toh saya terlihat sedang jalan berdua dengan seorang pria, bukan berarti pria itu adalah kekasih saya ‘kan?! Masa iya, suatu hari status Ayah tiba-tiba berubah menjadi kekasih saya?! Tapi tetap saja, semua penjelasan itu belum juga dianggap memuaskan. Sementara saya sudah kehabisan cara. Yah… daripada membuat mulut saya lelah karena terus mencoba memberikan penjelasan atas pertanyaan yang tampaknya tidak pernah puas diajukan, rasanya memang lebih baik kalau saya membiarkan mereka melihat sendiri. Membawa JULES ke resepsi perkawinan, berjalan berdampingan, menggandeng tangannya, dan membuat semua orang menduga bahwa dialah kekasih saya, mungkin memang merupakan cara yang lebih tepat untuk memberikan jawaban. Biarkan saja mereka menduga bahwa JULES adalah kekasih yang saya maksud. Biarkan mereka merasa bahwa apa yang ada di dalam kepala mereka merupakan suatu kebenaran. Bahwa apa yang selama ini menjadi sebuah tebakan, memang benar adanya. Biarkan saja demikian. Sampai saat mereka meminta diperkenalkan, dan saya menyebutkan bahwa JULES adalah kakak saya. Habis bagaimana lagi? Kalau penjelasan dan jawaban yang selama ini diberikan ternyata dianggap belum cukup, membiarkan orang lain melihat sendiri dengan mata kepala mereka bahwa kebenarannya ada pada apa yang sudah pernah saya katakan sebelumnya, rasanya memang cara yang sebaiknya ditempuh. Ya kadang-kadang cara yang lebih mengena untuk menyampaikan sesuatu ‘kan tidak harus menggunakan kata-kata
ADA 10 KOMENTAR:
Paragraf terakhir itu moral cerita yang cool. Kadang kata-kata malah cenderung bombastis.
lho...kakak sendiri dipacari juga!?
hari Minggu aku kosong, kok
Let them play with their assumptions..:)
istilah iklan Axe jadul: "kesan pertama begitu mengejutkan, selanjutanya terserah anda.."
khahaha.. pertunjukan yg bagus..
btw kenapa ga telp ajah waktu ituh *halah* :P..
terserah orang mau pikir apa :)
wah mbak.. kenalin dong ama kakaknyaa.. secara ponakan2 nya teh lucu2.. nih mbak agatha.. kali ini aku jd penasaran juga deh dgn bapak2 dr para balita2 lucu tsb.. hehe;p
*mbak, aku kok error mulu gt deyy klo login pake nama ku..
_iin_
wah dalem nih meaningnya..
tapi kan terkadang kata-kata dapat lebih mendramatisasi suatu hal yang sebenarnya biasa-biasa saja..
*cieh ga mau kalah gini...hihihihi..
-timothy-
halah telat. tau gitu kan saya carikan lady escort profesional mbak :D
gpp duki...
kadang itu emang butuh management gosip biar cepat tenar...
hahahaha....