Sunday, December 03, 2006
Jelas saya sadar sesadar-sadarnya bahwa hari kelahiran saya baru berlalu beberapa hari kemarin. Terlebih lagi saat ucapan selamat berdatangan. Melalui SMS, telepon, e-mail, maupun jabat tangan dan ciuman di pipi.
Lalu saya pun hanya bisa terpana saat melihat kedua angka di bagian atas profile Friendster itu. Karena memang hanya itulah reminder-nya.
Tidak ada perayaan atau pesta.
Tidak ada hiruk-pikuk kakak-kakak dan adik di pagi hari yang membangunkan saya.
Tidak ada hari libur.
Tidak ada yang berbeda dengan hari-hari lainnya.
Ayah, yang sekarang kembali bertugas di Jakarta, sedang bekerja di kantor. Ibu, layaknya ibu rumah tangga, menunggu kedatangan Ayah sambil memasak (ehm... tapi sepertinya itu hal yang tidak mungkin). SI KRIWIL masih menuntut ilmu di kabupaten seberang. Kakak-kakak saya... yah... pastilah sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing.
Tidak jauh berbeda dengan mereka, saya, di hari ulang tahun, masih tetap bekerja. Bahkan harus bertugas ke Cikampek pula.
Dan akhirnya saya benar-benar menyadari bahwa tidak ada yang begitu istimewa di hari ulang tahun kali ini. Dalam perjalanan pulang, saya jadi asyik melamun. Melihat-lihat ke luar jendela mobil. Lapangan luas berumput dengan diselingi pohon-pohon besar yang dijumpai sepanjang perjalanan Cikampek-Jakarta. Dominasi warna hijau dengan sedikit coklat akibat kekeringan. Mengingatkan akan perjalanan pulang kampung saja. Iya, saya memang senang sekali melakukan hal yang sama ketika berada di dalam kereta api. Bengong-bengong tanpa kejelasan. Hanya melihat pemandangan di luar dari jendela, dan membuat isi kepala saya beristirahat sejenak. Melihat sawah berwarna hijau dengan gubuk coklat kecil di tengahnya. Orang-orang membungkuk menanam padi dengan separuh kaki terendam lumpur. Anak-anak saling berlarian mengejar layangan yang putus dari benangnya. Mobil-mobil yang berjalan pelan di samping kereta yang saya tumpangi. Juga ada jajaran tiang listrik yang dihubungkan oleh kabel-kabelnya. Yang berhasil menyita seluruh perhatian saya. Tidak ada hal lain yang saya lakukan selain memakukan pandangan pada tiang listrik yang menjulang, juga pada kabel tebal yang melengkung di antara tiang yang satu dengan tiang yang lain. Kabel yang semula ada di ujung tertinggi, menjulur ke samping, membentuk lengkungan ke bawah, naik lagi, sampai kemudian terhubung lagi pada tiang yang lain. Di antara lengkungan kabel itu, kadang ada beberapa ekor burung bertengger. Diam di atasnya, entah melakukan apa. Lalu beberapa ekor lagi datang menyusul teman-temannya untuk ikut hinggap di sana. Atau ada layang-layang yang terputus benangnya dan tersangkut. Tertiup angin, berputar-putar, namun bukannya terbang, benangnya malahan semakin membelit dan membuatnya tidak bisa terlepas dari kabel listrik. Atau, ada juga bola-bola putih yang kelihatannya memiliki lubang di bagian tengahnya. Dan melalui lubang itulah, kabel-kabel tebal bisa diselipkan di sana. Hingga antara kabel dan bola-bolanya, tampak seperti kalung manik-manik. Dan sampai sekarang saya masih tidak tahu apa sebenarnya fungsi bola itu direkatkan di sana. Saya hanya menyadari bahwa bola semacam itu tiba-tiba saja menghalangi jalan yang hendak saya lalui. Ukurannya bisa sebesar batu kali, batu apung, atau sekecil hanya kerikil. Tapi sayangnya, saya baru menyadari keberadaan mereka justru di saat sudah tersandung bola itu. Padahal memar dan luka yang sebelumnya didapat akibat menghantam tanah setelah menyandung bola yang lebih besar, terpeleset, dan terjerembab, masih belum sembuh benar. Kejadian buruk rasanya tak ada habisnya terus merundung saya. Yang satu masih belum usai, muncul masalah yang lain. Yang ini sedang diselesaikan, yang lain sudah menunggu untuk ikut dituntaskan. Yang lebih menyebalkan, dan juga lebih menarik sekaligus, matahari justru tiba-tiba muncul dari balik gumpalan awan di saat saya merasa dunia akan runtuh menimpa kepala. Mendadak hujan reda dan jalan yang hendak dilalui tampak jelas kembali. Kaki saya pun tidak perlu lagi meraba-raba apa yang ada di depan, agar tidak tersandung dan jatuh kembali. Tapi bagaimana kalau matahari tidak akan lama berada di sana?! Bagaimana jika langit kembali gelap dan saya tidak bisa lagi melihat dengan jelas apa yang akan dilalui?! Toh saya tahu bahwa tidak selamanya langit akan terbebas dari awan hitam. Dan tidak berarti bahwa perjalanan menuju tiang listrik berikutnya di depan sana akan mulus-mulus saja. Kalau sebelumnya hanya menemui bola putih yang menghalangi kabel, bisa saja kemudian saya akan menemui kawanan burung yang sedang hinggap dan saling berbincang satu dengan yang lainnya. Atau mungkin layangan putus yang tidak pernah terlepas karena benangnya melilit kabel di mana saya berjalan. Dan kalau rintangan-rintangan semacam itu ada pada kabel yang akan dilalui, apa artinya saya harus duduk diam dan menunggu sampai hujan mereda dan matahari akan muncul?! Saya ‘kan masih punya tangan yang bisa digunakan untuk melindungi kepala dari tetesan air. Saya juga masih punya kaki yang sanggup berjingkat untuk menahan badan agar tidak tergelincir. Saya masih punya mata yang bisa dipicingkan agar lebih terlihat di mana letak benang layangan yang mungkin membuat saya tersandung. Masa’ iya saya menghentikan perjalanan sementara di depan sana masih banyak tiang yang harus saya capai?! Dan saya tahu, untuk bisa mencapai tiang-tiang itu, saya hanya bisa menggunakan kabel-kabel yang menghubungkan satu dengan yang lainnya. Saya tahu bahwa kabelnya melengkung ke bawah. Saya juga tahu bahwa ada saatnya kabel itu akan naik kembali ke atas, ketika sudah mencapai titik terendah. Karena memang hanya dengan begitulah ia bisa terhubung dengan tiang listrik yang berikutnya. Tapi saya tidak pernah tahu apa yang mungkin saya temui di sana. Kawanan burung kah?! Layangan putus dengan benang yang terlilit kah?! Atau bola-bola putih kah?! Kalau yang ada di hadapan saya ternyata layangan?! Ya mungkin sebaiknya saya berjalan mlipir sambil berjinjit agar tidak terbelit benang layangan itu juga, seperti bagaimana ia membelit kabel listrik. Tapi kalau yang saya hadapi ternyata kawanan burung?! Tentunya saya tidak mungkin melakukan cara yang sama. Kalau dengan berjalan jinjit dan mlipir ternyata mengejutkan burung-burung itu, dan membuat mereka malahan menyerang saya?! Yah... saya tidak tahu cara apa yang paling tepat untuk digunakan sebelum saya tahu apa yang ada di hadapan saya. Dan saya tidak pernah tahu apa yang akan dihadapi sebelum saya tiba di sana. Saya hanya tahu bahwa lengkungan ini mungkin bukanlah satu-satunya yang paling rendah. Mungkin ada lagi yang jauh lebih rendah. Dan kemudian sayalah yang bertugas untuk membawanya naik kembali. Agar bisa mencapai tiang berikutnya. Karena saya yakin, sepanjang Cikampek-Jakarta, tiang listrik yang ada pasti lebih dari dua-puluh empat jumlahnya.
ADA 7 KOMENTAR:
cieh dukiduk...
hmph...
langit emang tak akan slalu biru jernih... tapi bukankah ketika kita tahu betapa suram muramnya langit ketika mendung atau hujan, maka kita menghargai birunya?
waaaaaaahh happy b'day thaaa!
huhu. . miss u already too tha. . ngupi yuk. .
wahh selamat.. selaamatt..
jadi nanti bkn hanya sekedar teh manis duank dunk;) ya minimal ada pemotongan kueh misalnya:D
awan hitam? ada apah memang dgn mereka? hitam juga warna lho, seperti halnya biru, merah ato putih.. bahkan pepatah bilang "HITAM SAPA TAKUTT!"..
Happy birthday MbakDos. Sudah tambah besar ya, eh, dewasa *guyonan garing*
happy belated bday :)
hepi belsdeyh yak!
wiz yu oll de bezt....
http://ceritaria.blogspot.com/
Iiih..baru liat. Ada namaku disebut. Uuughhgg bangganyaaah!!