Surat yang Terakhir Dikirimkan

Tuesday, December 19, 2006

Saya tidak pernah dekat dengannya.

Saat mengangkat telepon dan menekan nomor tujuan, tidak pernah terpikir bahwa nomor teleponnya lah yang saya maksud. Saat berada di kota tempat tinggalnya, akan lebih baik untuk tidak memberikan kabar padanya. Saat kesempatan memang tersedia untuk bisa berjumpa dan bercakap-cakap, akan jauh lebih menyenangkan untuk sekedar mengangguk-angguk, tersenyum, dan membiarkannya yang lebih banyak bercerita.

Kalau memang memungkinkan, saya lebih memilih untuk menghindar darinya.

Lalu mengapa ketiadaannya seketika melemaskan lutut saya?

Saya menyadari ada yang tidak beres saat Ayah mengirim SMS kepada saya. Menanyakan apakah akan mengganggu jika beliau menelpon saya.

Memang sulit bagi Ayah untuk ‘mengganggu’ kegiatan (baca: pekerjaan) anak-anaknya. Beliau lebih memilih untuk memberitahukan belakangan, atau menghubungi pada jam-jam di mana kami mungkin sedang beristirahat (baca: makan siang). Dan jika sampai harus menghubungi saya, dengan kalimat seperti itu pula, pasti ada sesuatu yang demikian penting tengah terjadi.

Dan benarlah.

Ia baru saja pergi.

Satu jam sebelum Ayah mengirimkan SMS itu.

Tanpa sadar, saya segera merebahkan diri di atas kursi. Mendengarkan Ayah berbicara dari seberang sana, menyadarkan saya atas apa yang harus dilakukan.

Harus segera berangkat ke Semarang.

Ayah menawarkan untuk berangkat bersama dengannya, Ibu, dan SI KRIWIL. Atau bersama kakak-kakak saya di kloter berikutnya. Saya menolaknya. Ada pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Makalah-makalah para mahasiswa harus saya baca, diberi nilai, dan mengolah semua nilai di hari itu juga.

Saya katakan pada beliau, saya baru bisa berangkat sore atau malam harinya.

Setelah mengakhiri percakapan dengan Ayah, saya segera menghubungi maskapai penerbangan langganan kami. Namun sudah tidak ada lagi kursi yang tersedia pada jadual penerbangan ke Semarang hari itu. Maka saya memesan tiket untuk penerbangan pertama keesokan harinya.

Seharusnya saya kembali mengerjakan pekerjaan saya setelah memastikan bahwa semua sudah beres. Tiket sudah dipesan dan tinggal diambil. Ayah sudah diberi kabar. MAS TOLÉ yang akan berangkat bersama saya pun sudah dihubungi mengenai rencana keberangkatan itu.

Tapi ternyata saya tidak bisa lagi mencerna apa yang tertulis pada makalah mahasiswa yang tengah saya baca. Saya tidak bisa lagi melanjutkan pekerjaan saya.

Saya memilih untuk keluar lagi dari ruangan.

Dan saya tidak tahu apa yang tengah terjadi.

Badan saya lemas sekali, sampai terasa demikian sulitnya untuk berdiri di atas kedua kaki. Telapak tangan mendingin dan tidak mau berhenti bergetar. Dan sudah tidak ada lagi yang bisa saya pikirkan.

Yang bisa dilakukan hanyalah duduk bersandar dalam diam.

Masa’ iya semua ini terjadi akibat kepergiannya?

Kenapa?

Toh hubungan saya dengannya ‘kan tidak pernah sedekat itu?!

Malah tidak pernah berjalan dengan baik. Tidak ada pertengkaran, memang. Namun selalu diwarnai dengan perbedaan pendapat dan perdebatan-perdebatan yang tidak pernah ada akhirnya. Rasanya selalu ingin menutup telinga jika ia mulai melontarkan nasihat-nasihat buat saya.

Ia selalu menanyakan hubungan saya dengan (mantan) kekasih saya. Rasanya ia selalu ingin tahu apa yang tengah terjadi di antara kami. Dan jika ia menemukan bahwa ada perselisihan di sana, mulailah ia mengutarakan tips-tips menjalani hubungan agar selalu harmonis.

Saat ia mengunjungi rumah kami, rasanya ia selalu ingin berada dekat dengan saya. Ke mana saya pergi, ia pasti akan mengikuti. Saya duduk di depan sofa untuk menonton televisi, ia tiba-tiba akan ada di sana juga. Saya mengetik di depan komputer, ia tidak akan berada jauh dari saya. Saya makan di meja makan, ia akan ada di sana juga.

Masih sambil terus bercerita.

Saya toh tidak terlalu menyukai kehadirannya.

Sekalipun saya tahu bahwa saya menyayanginya.

Dan ia juga menyayangi saya.

Lalu...

Saya baru benar-benar sadar bahwa saya sudah kehilangan dirinya.

Tidak akan ada lagi yang rutin menanyakan siapa kekasih saya sekarang.

Tidak akan ada lagi celaan atas tindikan di hidung saya.

Tidak akan ada lagi pertanyaan mengapa saya tidak kunjung bekerja.

Tidak ada lagi perjalanan panjang dan bergelombang menuju rumahnya.

Karena tempat tinggalnya sekarang mungkin memang belum seharusnya saya kunjungi.

Di atas sana.

*untuk Budé tercinta, Verenanda Surati.

website page counter

ADA 4 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

badan lemas.. telapak tangan dingin dan bergetar.. itu mah belum sarapan kali hueheuhue. btw turut berduka cita ya..
:)

December 20, 2006 9:12 AM  
» Anonymous Anonymous:

selamat jalan bude ...

December 20, 2006 10:36 AM  
» Anonymous Anonymous:

dukiiiiiiiiii....

turut bersediiiiiiiiiiiiiiiih :((

December 21, 2006 7:23 PM  
» Anonymous Anonymous:

"The way to love anything is to realize that it might be lost."
(G. K. Chesterton)

Turut berduka...

December 22, 2006 2:29 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS