Mencukur Rambut Bapak Supir

Sunday, November 05, 2006

Kalau saja sedang tidak kelelahan dan membutuhkan tumpangan (badly!), saya pasti sudah meminta bapak supir menghentikan kendaraan, membuka pintu, lalu mengajak Ibu turun dari taksi itu sedari tadi.

Firasat saya sudah buruk.

Sebelum berangkat, saya memesan taksi untuk jam lima sore. Karena masih ada waktu 30 menit, saya bermaksud mandi terlebih dulu sementara Ibu membereskan kamarnya. Setelah bersiap ini-itu, kami pun meninggalkan rumah dengan menggunakan taksi yang sudah dipesan.

Baru selesai menyebutkan tujuan kepergian, dahi saya berkerut saat si bapak supir bertanya untuk jam berapakah kami memesan taksi. Saya jawab jam lima. Si bapak menyahut, ia sudah memarkir taksinya di depan rumah saya sejak jam setengah-lima. Katanya lagi, sang operator memang tidak menyebutkan jam keberangkatan kami.

Oke. Lalu...?

Tidak ada sambungannya.

Yah... mungkin si bapak supir memang hanya ingin memberitahu saja.

Sore itu saya bermaksud mengantar Ibu ke RS Carolus untuk memeriksakan diri yang memang terlihat sedang tidak sehat. Sebelumnya, kami mampir dulu di sebuah laboratorium di kawasan Salemba karena harus mengambil hasil tes darah untuk diserahkan ke dokter Ibu di RS Carolus.

Ibu sudah membuat janji dengan dokter untuk bertemu pada jam enam. Jadi kami masih punya waktu yang cukup. Lagipula, jarak rumah kami ke RS Carolus juga tidak terlalu jauh.

Tapi entah mengapa, bapak supir melajukan taksinya dengan kecepatan tinggi. Salip sana salip sini, kalau tidak memperoleh jalan untuk melewati kendaraan lain, tiba-tiba terdengar bunyi ciiitttt. Lalu mendadak badan saya dan Ibu condong ke depan, sambil tetap mencoba bertahan untuk tetap bersandar ke belakang.

Bapak supir bersuara lagi. Ia menanyakan rute yang kami pilih untuk dilewati. Belum sempat saya menyahut, ia sudah menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri. Ia hanya memberitahu bahwa kami akan melewati daerah Bukit Duri. Saya he-eh saja.

Tapi mangkèl.

Memasuki daerah Matraman, ia kembali memacu taksinya.

Saya hanya bisa menahan napas sambil terus berbisik dalam hati (atau berdoa?!) agar tidak terjadi sesuatu yang buruk. Saya menengok, melihat Ibu diam saja, terus menatap ke depan. Dan kejengkelan saya semakin menjadi.

“Saya sama Ibu lagi nggak buru-buru kok, Pak. Jadi, jalan pelan aja juga nggak apa-apa.”

“Pak, kami mau ke rumah sakit, artinya penumpang Bapak ini ada yang lagi sakit. Jadi, bisa tolong pelan-pelan nggak Pak, bawa mobilnya?”

“Atau mungkin Bapak lagi buru-buru? Kalo iya, berhenti di depan situ ya, Pak. Biar saya sama Ibu turun di depan situ aja.”

Jangankan satu kalimat, toh ternyata tidak satu pun kata yang terlontar dari mulut saya.

Yang ada saya mengunci mulut semakin rapat. Mangkèl luar biasa.

Setelah mengambil hasil tes darah dan melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal, Ibu bertanya pada saya, berapa angka yang tertera di argo untuk kami bayar. Beliau juga bertanya, akan diberi tambahan berapa. Dan saya pun menyebutkan jumlah nominal uang yang akan kami bayarkan kepada bapak supir.

Dengan tambahan yang tidak banyak. Tidak sebanyak jumlah yang biasa kami berikan sebagai tambahan ongkos taksi.

Ya jelas!

Caranya menyetir sama sekali tidak enak. Ngebut ke sana-kemari, salip sana-sini, mengerem suka-suka, benar-benar membuat saya dan Ibu harus rajin mengatur kembali napas kami.

Pertanyaan yang diajukannya pun bukanlah benar-benar sebuah pertanyaan, karena toh dia juga yang menjawab dan memutuskan sendiri untuk kami. Rute mana yang akan kami lalui, akan berbelok ke arah mana, atau bahkan sudah berbelok sebelum saya sempat mengklarifikasi jalan mana yang akan dilewati.

Jadi, bagaimana mungkin jumlah yang sama bisa kami berikan kepada bapak supir itu?!

Setibanya di tempat tujuan, mulailah saya mengomel. Mengeluhkan tentang perjalanan yang tidak menyenangkan itu.

Ibu yang mendengarnya hanya tersenyum, lalu menyahut, “Kok ya nggak bilang sendiri sama supirnya tadi?”

Ya nggak bisa lah! Soalnya ‘kan... mmmm... yaaa.... yaaa... gitu deh.

Iya ya?!

Kenapa juga saya tidak secara langsung meminta bapak supir untuk memperlambat laju taksinya? Kenapa juga saya tidak memintanya untuk lebih berhati-hati? Kenapa juga saya tidak menyebutkan saja rute yang saya maksudkan untuk kami lalui?

Kenapa saya malahan diam saja?

Mangkèl-mangkèl sendiri juga tidak akan menyelesaikan masalah bukankah?

Mana bisa bapak supir mengetahui bahwa saya (dan mungkin Ibu juga) tidak suka dengan caranya menyetir? Tidak mungkin ia bisa tahu bahwa saya lebih memilih untuk melalui jalan Slamet Riyadi dan bukan melalui depan bioskop Nusantara?

Yang ia tahu, hanyalah bahwa ia menerima uang kembalian yang jumlahnya tidak seberapa. Itu pun kalau dia menyadari bahwa jumlahnya lebih sedikit dari jumlah yang biasa kami berikan.

Kalau tidak?

Pada akhirnya ia akan beranggapan bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa kedua penumpangnya ini merasa puas dengan pelayanan yang diberikannya selama perjalanan. Dan ia tidak akan ragu-ragu untuk memberikan pelayanan yang sejenis kepada penumpang yang lain.

Lalu kalau pada suatu hari saya menumpang taksi yang dikendarai oleh bapak supir yang sama?!

Dan akan kembali mengalami deg-degan, sesak napas, marah-marah dan mangkèl-mangkèl dalam hati?!

Kasihan juga bapak supir itu.

Tidak tahu-menahu apa masalahnya, merasa tidak ada yang salah, lalu tiba-tiba saja saya memutuskan untuk segera turun kembali dari taksinya setelah mengetahui bahwa bapak inilah supirnya (oke, saya tahu bahwa saya tidak mungkin melakukan tindakan sekeji itu).

Seorang sahabat pernah memarahi saya karena tiba-tiba saja saya mengubah kembali format majalah dinding yang semula sudah ditatanya. Saya merasa bahwa format semacam itu terlalu ramai, dan tulisan maupun isi dari majalah dinding tidak akan terbaca. Namun saya tidak pernah mengungkapkan apapun berkaitan dengan apa yang telah dibuatnya.

Saya pikir, toh dia akan mengerti.

Yang ada, dia marah pada saya, “Vas, tukang cukur itu nggak pernah bisa nyukur rambutnya sendiri!”

Ya iya, sih.

Memang seharusnya saya membahas hal itu dengannya. Saya menyampaikan bahwa dekorasi majalah dinding itu terlalu ramai, dan justru lebih menarik perhatian ketimbang isinya. Dengan begitu, si sahabat ini tahu di mana letak perbaikan yang harus dilakukan.

Saya tidak mungkin meminta orang lain bertindak sesuai dengan apa yang saya harapkan, kalau saya tidak pernah menyampaikannya, ‘kan?!

Yah... lain kali kalau bertemu dengan bapak supir taksi itu, saya akan memastikan lagi bahwa ia tidak menjalani profesi ganda. Sebagai seorang tukang cukur juga.

website page counter

ADA 17 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

jadi kamu nyukur rambut supir? karna kurang bayar? hheheiheiheie..
emang pesen taksi apah? sampe sebegitunya pasti yang tarif lama yah!..

November 06, 2006 12:17 PM  
» Anonymous Anonymous:

kenapa kok ngga bawa mobil sendri aja ? lebih enak kan ?

November 06, 2006 12:45 PM  
» Blogger iin:

mungkin pak supirnya temen baiknya si sopir metromini pembawa berkah kali mbak.. so makanya dia gak mau kalah ikutan ngedrift juga sama kaya mbak agatha dulu ;)

*aduh gak penting lagi komennya*

November 06, 2006 4:35 PM  
» Blogger thornandes james:

jeeengg ya amppuunn. . maaf yaaa sedang full schedule! x(

November 06, 2006 10:54 PM  
» Blogger mutiara nauli pohan:

supir nya batak kaliii ex. supir metromini hehehe

November 07, 2006 10:09 AM  
» Blogger mbakDos:

memed:
kalok saya nyukur rambutnya si bapak supir itu, mustinya beliyaw yang bayar bukankah?! ;D
*pantang sebut merk ah ;-)

mata:
nah tuh dia... kalo bisa sih saya juga pengennya bawa sendiri aja

iin:
kaya'nya sih in... jangan2 malah dia kernet metromininya?!

james:
jeeemmzzzz kangen tauk!

uli:
nanti coba dikonpirmasikeun lagi ;D

November 07, 2006 10:32 AM  
» Anonymous Anonymous:

Kalau bawa mobil sendiri balapan sama metromini. Kalau naik taksi.....

November 07, 2006 8:45 PM  
» Anonymous Anonymous:

Mungkin si supir taxi itu berada diantara mules mau BAB dan ngejar setoran (makanya dia ngebut) :).

MbakDos,kenapa nggak ditereakin aja si supir sontoloyo itu? :) biar dia tau kalau dia itu nyetirnya macam gak keruan gitu, ibarat situkang cukur, si kampret itu gak akan tau kalau cara nyetirnya bikin orang mabuk darat..

Mungkin dia sebelumnya biasanya ngangkut ternak sapi atau domba garut yang mau nikung kesana-kemari gak akan protes.. :)

Mudah2an dengan banyaknya kawanyang mampir & mberi komentar udah gak kesel2 lagi yah..

November 07, 2006 11:29 PM  
» Blogger -ndutyke:

Kali tu supir cita2 jd pembalap A1 gt yak?

November 08, 2006 11:35 AM  
» Anonymous Anonymous:

mbak doz, sampean mesti jadi ahli kebatinan yang cukup dengan membatin orang lain langsung tau maunya sampean ... :D .. jaz spik out, mbak!

November 08, 2006 9:02 PM  
» Anonymous Anonymous:

Tindakan Anda sudah benar untuk tidak menggunakan ke-frontal-an, karena...
si pak supir bisa saja melakukan hal2 tak terduga jika anda memarahinya.
Hal-hal itu misalnya menyetir dengan gaya yang lebih ciamik gilanya, atau
mengeluarkan kunci pas dan mulai mengancam Anda..
*ah, terlalu banyak menonton Buser*

November 08, 2006 9:03 PM  
» Anonymous Anonymous:

susah ternyata ya mengendalikan supir taksi, lebih susah mengendalikan diri sendiri apa orang lain? terlalu rugi jika kita terlalu mengendalikan orang lain, sedangkan kita? (mau jadi apa?) :)

November 09, 2006 1:20 AM  
» Blogger bebex:

jangan suka marah2 gitu ama si pak supir,,,
kalo ternyata dy lagi kebelet beol gimana?
xixixi,,,,

November 10, 2006 3:41 PM  
» Blogger mbakDos:

pakDok:
paling nyemangatin bapak supir buat balapan juga *halah gak mau kalah gini teteup! ;D

mas kampred:
atau mungkin dia biasa nganterin rumput yang keburu ditunggu sama si domba garut itu kali ya?! ;D

tyka:
saya juga mau dong jadi yang begituan ;D

pak ndoro:
nah... itu juga menarik untuk dipelajari tuh pak ;-)

si kriwil:
makanya... nontonlah drama percintaan sesekali ;D

medon:
mau jadi... supir taksi gimana?! ;D

bebex:
saya antarkeun ke tempat beol terdekat aja kali ya... lha trus ibu saya pegimana nasibnya?

November 12, 2006 10:42 PM  
» Anonymous Anonymous:

Semakin bijak niih buDos gegege...

November 16, 2006 10:19 PM  
» Blogger mbakDos:

arma:
jadi maluw :")

November 18, 2006 10:47 AM  
» Blogger sayyidina:

lam kenal kenal, sy membaca kisah tentang tukang cukur ini...laen kali mbak agatha percaya ama instingnyanya trus ambil keputusan cepat ato bicaranya tegas dikit dgn supir taksi model gitu

January 18, 2008 2:34 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS