TujuhBelas-Delapan-EmpatLima

Tuesday, August 15, 2006

“Kamu gak dimarahin mama?”

“Enggak sih... Cuma dicemberutin aja.”

“Nggak diomelin?”

“Enggak.”

Pertanyaan yang sama.

Hanya saja, kali ini MANJA yang mengajukannya.

Setelah ia melihat sebuah tindikan baru di telinga kiri saya.

Ia-lah yang menemani saya ketika saya membuat satu tindikan di hidung sebelumnya. Dan waktu itu saya memang tidak pernah mengatakan bahwa saya akan menambah lagi jumlah tindikan yang sudah saya miliki.

Jangankan memberitahukan niatan itu kepadanya. Terpikir di kepala saya pun tidak.

Keinginan untuk menambahnya memang baru terbersit sesaat sebelum saya menemani OCHEN membuat sepasang tindikan di telinganya, yang memang belum bertindik sama sekali.

Lalu saat Manja kembali berkunjung, dan melihat tindikan baru saya, ia hanya menggelengkan kepala. Sambil terus menanyakan bagaimana reaksi Ibu saya.

Yah... Ibu memang tidak pernah mengomel untuk mengungkapkan kemarahannya. Yang ada, ia pasti akan diam seribu bahasa dengan wajah berlipat-lipat.

Kalau saya mendengar ia mengomel, berbicara tanpa henti, mengeluhkan sesuatu, bukan berarti ia sedang marah. Mungkin ia hanya jengkel atau kesal.

Karena kalau marah...?

Ya begitulah.

Like mother like daughter, huh?!

Tapi rasanya sudah sepantasnya Ibu memperlakukan saya demikian.

Mungkin karena sayalah satu-satunya anak yang sering membuatnya mengurut dada.

Karena tampaknya saya terlalu sering memberikan kejutan baginya.

Suatu hari saya pulang dengan rambut memendek dan menghijau.

Di hari yang lain saya pulang sudah mengenakan tindikan di hidung.

Hari berikutnya, saya muncul dengan tindikan baru di telinga kiri.

Atau saat saya menghilang, bermain ke rumah teman tanpa pamit.

Atau ketika suatu hari saya membawa segerombolan teman-teman pria ke rumah.

Atau saat... saya membawa pacar baru.

Untuk dua urusan yang terakhir, Ayah [hampir!] selalu berada di pihak saya.

Berteman dengan banyak pria... sudah menjadi hal yang wajar buat saya.

Nongkrong, jalan-jalan, makan, bahkan belajar bersama pun saya lakukan bersama dengan teman-teman saya itu.

Entahlah, rasanya menyenangkan berada bersama mereka.

Bisa membicarakan apapun yang kami inginkan. Mereka akan bertanya tentang ‘hal-hal perempuan’ kepada saya, dan tentunya sebaliknya, saya juga akan mencari tahu lebih banyak tentang dunia pria kepada mereka.

Bahkan membincangkan sesuatu yang saru, jorok, tabu, atau apapun itu, kami tidak jarang melakukannya juga.

Membawa mereka ke rumah hanya merupakan salah satu bagian dari pembukaan diri saya kepada mereka.

Mereka sahabat-sahabat saya, jadi sudah sewajarnya jika mereka mengunjungi saya di rumah.

Tapi ternyata tidak demikian bagi Ibu.

“Kamu tuh kalo punya pacar satu aja, tho.”

“Ya iya lah, Ma... Lagian kalo punya pacar banyak juga, masa’ iya mau kubawa ke rumah bareng-bareng begitu?!”

Rupanya saya memberikan jawaban yang salah.

Sampai harus memberikan tugas tambahan untuk Ayah: menenangkan Ibu, sekaligus memberikan penjelasan dengan bahasa yang lebih halus.

Lalu saat saya hanya membawa seorang pria ke rumah, Ibu tersenyum, menggelengkan kepala, dan menghela napas.

“Baru?”

Hey!

I know what you’re thinking about!

Saya tidak sesering itu berganti pacar.

Jika dibandingkan dengan kakak-kakak saya yang hanya satu atau dua kali pacaran lalu menikah, jelas secara kuantitatif saya memenangkan perbandingannya. Jika dibandingkan dengan jumlah yang hanya satu atau dua.

Tapi tampaknya itu pun sudah terlalu banyak buat Ibu.

Dan Ayah pun kembali bertugas. Kali ini berusaha memberikan penjelasan kepada Ibu bahwa pergantian pacar itu memang wajar terjadi di usia saya. Proses pengenalan diri, begitu dalihnya.

And now you’re thinking that I’m a daddy’s daughter, aren’t you?!

Kamu toh bukan orang pertama yang mengatakannya.

Saya sadar betul akan hal itu.

Bahwa Ayah selalu [tampak] membela saya, berada di pihak saya, memberikan apapun yang saya inginkan.

Tapi apa yang terjadi sebenarnya tidaklah seperti apa yang terlihat.

Bahwa mungkin tidak banyak yang tahu, bahkan anggota keluarga kami yang lain pun, kalau pernah terjadi perdebatan, bahkan pertengkaran hebat antara kami berdua.

Ayah adalah orang yang keras kepala. Begitu juga Ibu.

Dapat ditebak ‘kan dari mana kepala batu saya ini berasal?

Dan mungkin kamu juga bisa membayangkan apa yang terjadi ketika dua kepala batu itu bertengkar.

Saya tahu apa yang dikatakan Ayah saat itu sangat masuk akal. Setiap alasan yang dikemukakannya terdengar sangat rasional.

Tapi saya tidak bisa menerimanya.

Tanpa saya bisa mengungkapkan penjelasan lebih lanjut ketika Ayah menanyakannya.

Karena saya memang tidak punya alasan untuk itu.

Saya hanya merasa bahwa saya harus mempertahankan pendapat saya.

Saya bahkan sempat berniat untuk minggat dari rumah jika Ayah tetap berkeras dengan keputusannya.

Terdengar seperti sebuah ancaman, memang.

Dan terdengar sangat kurang ajar.

Tapi apa yang dilakukan Ayah kemudian?

Ia hanya mengangkat bahu. Seolah menyerahkan seluruh keputusannya pada saya.

Menurutnya, ia sudah menyampaikan apa yang harus ia sampaikan. Ia menganggap saya sudah dewasa, sudah bisa memutuskan sendiri apa yang sebaiknya saya lakukan.

Lalu saya menganggap permasalahan itu selesai.

Ia tetap dengan keputusannya.

Saya tetap dengan pendirian saya.

Walau tanpa diakhiri dengan kabur dari rumah.

Sampai suatu hari apa yang sempat dikatakan Ayah itu ternyata terbukti.

Membuat saya mengunci diri seharian di dalam kamar.

Menangis.

Menjelang malam, Ayah datang. Ia masuk ke kamar.

Membuka tangannya, dan seketika itu saya memeluknya.

Membiarkan tangisan saya semakin deras hingga membuat dada saya sesak dan mata saya bengkak.

Ayah tidak berbicara apa-apa.

Bahkan mengeluarkan suara pun tidak.

Ia hanya memeluk saya.

Saya tahu bahwa Ayah sangat menyayangi saya. Saya tahu bahwa ia akan ada di belakang saya apapun yang akan terjadi.

Tapi saya bukanlah boneka. Dan Ayah bukanlah pawangnya.

Ayah melepaskan saya karena ia tahu saya punya kehendak sendiri. Saya memiliki keinginan sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain, yang mungkin juga berbeda dengannya.

Ia, atau orang lain, tidak memiliki hak apapun untuk mengatur hidup saya.

Saya-LAH yang memiliki kuasa penuh atas hidup saya sendiri.

Saya-LAH yang boleh menentukan apa yang harus saya lakukan.

Saya-LAH yang berhak menunjuk jalan yang ingin saya lalui.

Termasuk merasakan sakitnya lutut yang lecet atau berdarah setelah tersandung batu dan terjatuh.

Termasuk memutuskan apakah saya akan segera berdiri, merangkak dulu sebentar sampai sakitnya berkurang, atau tetap duduk saja di situ.

Yang mungkin seringkali saya lupakan.

Saya hanya ingat bahwa tidak ada orang lain yang berhak memegang kendali atas hidup saya, selain saya sendiri.

Tanpa saya ingat bahwa konsekuensi tidak menyenangkan yang mungkin saya temui, JUGA merupakan bagian dari kehidupan pilihan saya itu.

website page counter

ADA 11 KOMENTAR:

» Blogger -ndutyke:

sama.
Mama ku juga gag pernah marah kalo bukan untuk hal yg puentiiing bangged.

Seumur hidup, bisa diitung jari, brapa kali aku dimarahin.

August 16, 2006 9:56 AM  
» Blogger konnyaku:

my mom erm..
ga pernah bnr2 complain

my dad..
always complains to mom klo aku bermasalah...

August 16, 2006 5:30 PM  
» Anonymous Anonymous:

sebagai ayah, saya lagi mencoba menghitung sudah berapa kali memerahi anak ya... :)

August 18, 2006 7:11 AM  
» Blogger -ndutyke:

pasang SB donk Say :x

August 18, 2006 7:32 AM  
» Blogger budibadabadu:

wah, tipe pemberontak nih. suka melabrak aturan :)

August 18, 2006 9:39 AM  
» Blogger bebex:

eh,,bex juga pernah ditindik macem2,,,
huuuu sakitnaaa...kaya digebugin ama sribu tentara :)) *bo'ong banget*

jadi inget jaman SMU :P

August 18, 2006 10:39 AM  
» Blogger mbakDos:

tyka & stella:
lain ayah lain pula ibu ya...

paman tyo:
ngitungnya pake apa paman?! ;D

tyka lagi:
sb?! wah, saya masih menikmati yang beginiyan nih... ;-)

budibadabadu:
siapa? saya? ;D
*sesungguhnya engkau bernama sapa sih?! ;-)

bebex:
tentara apa dulu nih bex?! ;D

August 18, 2006 10:03 PM  
» Anonymous Anonymous:

Uncle tyo...

'memerah-i'?

berapa liter? :-))

August 18, 2006 11:12 PM  
» Anonymous Anonymous:

Ayah adalah orang yang keras kepala. Begitu juga Ibu.

Dapat ditebak ‘kan dari mana kepala batu saya ini berasal?

Dan mungkin kamu juga bisa membayangkan apa yang terjadi ketika dua kepala batu itu bertengkar .


wah tampaknya ini keluarga batu-batuan...

btw kamu memang benar-benar berkelakuan rambo tapi berhati rinto shrivas...

nice family

August 18, 2006 11:22 PM  
» Anonymous Anonymous:

Pakabare mbakdos ?
Kalo ga penting2 banget mah daku males adu batu sama ortu.
Kalo di larang yaa enaknya emang dilanggar bwat uji kemampuan hwekeke....

TOSSH... mbakdos

August 19, 2006 12:43 PM  
» Blogger mbakDos:

japro:
semula saya kira keluarga saya itu adalah keluarga sayur, tapi kelihatannya memang lebih tepat disebut keluarga bebatuan aka. the flinstones ;D


arma:
waduh... kalok yang beginian sih saya udah kapok!
masalah uji kemampuan, ayah saya jagonya! pasti kalah duluan kalok sama dia ;p

btw btw apa kabar nih si mbledos???
sudah lama tak jumpa ;D

August 19, 2006 5:30 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS