Pohon Pisang Tanpa Galah

Friday, June 23, 2006

Si saxophonist membungkuk, bersamaan dengan gemuruh tepuk tangan yang ditujukan padanya. Kemudian menghilanglah ia di balik panggung, bersama dengan seluruh anggota band pengiringnya.

Lalu orang-orang yang memadati tempat duduk di sekeliling saya mulai berdiri. Sebagian berjalan menuju pintu keluar, sebagian lagi menuju ke belakang panggung, sementara sebagian kecil lagi masih tinggal di tempat duduk mereka.

Sayalah salah satunya.

Karena saya sudah memenangkan taruhan atas si saxophonist ini. Setelah saya mengatakan padanya bahwa mantan kekasihnya itu akan menghadiri penampilannya malam ini. Si saxophonist berjanji akan mentraktir saya sepuas-puasnya jika tebakan saya benar.

Saya pikir-pikir, agak bodoh juga teman saya yang satu itu. Bagaimana mungkin mantan kekasihnya tidak hadir malam ini? Bagaimana mungkin mantannya itu tidak berniat menyaksikan permainan saxophone-nya yang sungguh luar biasa?

Pria ini tidak sekedar meniup dan menekan tuts-tuts untuk menghasilkan melodi yang harmonis. Ia mampu memasukkan unsur perasaan ke dalamnya. Ia tahu betul bagian melodi mana yang harus dimainkan secara cressendo, bagian mana yang cukup dimainkan dengan volume pelan, atau bagian mana yang membutuhkan nafas panjang karena harus dimainkan secara konstan.

Ia tahu betul emosi yang kemudian menyertai setiap melodi yang ia mainkan. He knows how to turn on those feelings by his saxophone.

Karena hal ini pulalah, pernah timbul keinginan saya untuk belajar memainkan alat musik.

Di usia SD, saya pernah ikut kursus organ di salah satu lembaga ternama. Saya menjalani kursus itu selama beberapa tahun, sampai akhirnya si guru pengajar yang saya senangi ini mengundurkan diri karena ia hamil. Digantikanlah ia dengan guru lain, yang tidak saya sukai.

Menginjak SMP, saya mencoba meneruskan dengan belajar memainkan keyboard. Sekalipun tampak secara fisik tidak jauh berbeda dengan organ, ada teknik-teknik lain yang harus saya kuasai. Saya harus bisa memainkan melodi dengan jari-jari tangan kiri, sebagaimana yang dilakukan tangan kanan. Sehingga, kedua tangan pun harus difungsikan secara maksimal.

Belum habis satu jilid buku pelajaran keyboard ini, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan proses belajarnya. Tidak ada alasan yang pasti. Saya hanya merasa bosan.

Di SMA, saya belajar memainkan gitar dan drum di saat yang sama. Saya tidak lagi mengikuti suatu kursus atau pendidikan tertentu untuk belajar bermain gitar. Saya mempelajarinya secara otodidak, dengan bantuan seorang teman.

Sementara untuk drum, lagi-lagi saya mengikuti suatu pendidikan non-formal itu. Masih menggunakan putih-abu-abu, saya memasuki ruang kelas yang berbentuk studio musik itu. Di sana tersedia dua set drum, satu untuk instruktur saya, dan satu untuk saya.

Selama beberapa saat saya mempelajari keduanya. Sampai akhirnya saya berhenti. Lagi-lagi tanpa alasan yang jelas. Hanya bosan. Itu saja.

Sama seperti belajar memainkan organ atau keyboard, gitar dan drum, kebosanan saya sepertinya bermula karena saya merasa sulit sekali untuk bisa memainkan alat-alat musik itu seperti yang diinginkan oleh guru atau instruktur saya. Sulit sekali untuk bisa memainkan setiap nada menjadi melodi yang harmonis, sekalipun saya sangat mengerti apa yang diminta dari saya. Saya membutuhkan waktu yang lebih lama dari orang-orang lain untuk bisa memainkan alat-alat musik itu.

Saya sempat berpikir... jangan-jangan saya memang tidak bisa memainkan alat musik? Sudah sekian lama saya belajar alat musik ini dan itu, tapi pada akhirnya tidak ada satu pun yang benar-benar saya kuasai.

Saya jadi iri.

Sementara saudara-saudara saya bisa memainkan alat musik.

Kakak pertama saya mahir memainkan organ, sekalipun sudah lama kemampuannya itu ditinggalkan.

Yang kedua, permainan gitarnya luar biasa. Saya tidak pernah berhenti terpukau melihatnya memainkan Sweet Child O’Mine milik Guns n' Roses.

Yang ketiga, mahir luar biasa memainkan gitar bass. Kalau yang ini, selalu membuat saya terkagum-kagum dengan permainan lagu-lagu Red Hot Chili Peppers yang sangat disukainya.

Yang keempat, saya agak bingung sebenarnya apa yang bisa dimainkannya. Dia bermain gitar, tapi bermain drum juga. Menguasai keduanya pula.

Tadinya saya pikir... makin ke bawah urutan kelahiran, kemampuan memainkan alat musik pun makin berkurang.

Tapi jelas tidak mungkin.

Toh kakak saya yang keempat, yang urutan kelahirannya tepat sebelum saya, justru menguasai dua alat musik. Lalu adik saya, mahir pula memainkan biola.

Hanya saya yang terlewati tampaknya.

Sekeras apapun saya belajar, saya tetap tidak bisa menguasai alat-alat musik itu. Sedangkan, tidak ada satupun dari keempat kakak saya yang secara sengaja mengikuti kursus atau pendidikan apapun untuk menguasai alat musik. Mereka mempelajarinya secara otodidak. Dan mereka menguasainya.

Hhh... mau iri bagaimanapun juga, saya toh tetap tidak bisa seperti saudara-saudara saya.

Memang sebaiknya saya menerima itu, 'kan?! Menerima bahwa saya memang tidak bisa memainkan alat musik. Cukuplah bagi saya untuk tahu di mana batas kemampuan saya.

Kalau saya hanya bisa merentangkan tangan sepanjang dua meter, saya tidak akan bisa memaksa tangan saya untuk merentang sejauh dua-setengah meter. Yang bisa saya lakukan, mungkin memperpanjang jangkauan tangan dengan menggunakan penggaris, galah, sumpit, atau apapun.

Tapi tetaplah yang penting bagi saya adalah tahu bahwa hanya sepanjang dua meter itulah tangan saya bisa terentang. Mau menggunakan apapun, yang akan diperpanjang adalah jarak jangkauannya, dan bukan tangan saya.

Mau mengikuti kursus alat musik apapun, yang akan bertambah adalah pengetahuan saya akan teknis permainan alat musik itu, dan bukan kemampuan saya untuk memainkannya. Kalau toh kemampuannya meningkat, saya tetap tidak akan bisa menguasai alat musik itu.

Saya tidak akan bisa mengubah penggaris, galah, atau sumpit menjadi bagian dari tangan saya. Mereka tetaplah bagian yang berbeda. Mereka bukanlah tangan saya.

Lalu yang saya lakukan sekarang... memaksimalkan penggunaan tangan saya ini. Bukan lagi untuk mendekap pohon jati, tetapi cukup untuk melingkarkannya pada pohon pisang. Keduanya memang kegiatan yang sama-sama tidak berguna sih, tapi paling tidak pohon pisang masih lebih mudah saya temukan daripada pohon jati. Masih tampak jelas pula kegunaannya bagi saya.

Selain karena pohon pisang itu memang merupakan keseharian saya, pohon itu memiliki lingkar yang lebih pas dengan lingkar tangan saya. Setiap hari saya bisa menemukannya, melingkarkan tangan saya padanya, bahkan sampai saya tahu betul setiap inci dari pohon itu.

Di sebelah mana daunnya, ada berapa banyak, di sebelah mana pula cacatnya, berapa banyak buah yang dihasilkannya, dan semuanya. Lagi-lagi ya karena saya menemukan pohon ini setiap harinya.

Kok bisa?

Lho... memang kamu kira yang sedang kamu kunjungi ini bukan salah satu pohon pisang saya?

website page counter

ADA 11 KOMENTAR:

» Blogger thornandes james:

wahh metafora yang bagus sekali!

saya jg balajar biola dan berjenti cuma sampai tahap do-re-mi-re-do dan memainkan sirene polisi saja. . setelah itu si biola hanya menjadi properti hiasan kamar saja dan terkadang digunakan utk props foto. . hehehe. .

I've tried so many arts, dan yang paling saya tidak kuasai cuma seni musik saja, meskipun saya bisa menggunakan musik untuk membangkitkan mood menulis. . mungkin emang kita lebih jodoh sama pohon pisang. . hehehehehe!

cheers!

June 24, 2006 1:08 AM  
» Blogger mbakDos:

james:
tosz buat pohon pisang! ;D

June 25, 2006 11:31 AM  
» Anonymous Anonymous:

dia terima les privat piano gak? ku pengen belajar nehh

June 26, 2006 4:02 PM  
» Anonymous Anonymous:

Waah kamu bisa bikin band keluarga tuuuh, trus kamu jadi vokalis aja, ga perlu main alat musik kaaan...

Emang susah kalo pohonnya ga cocok, ya cari yang cocok aja deeh...
BTW pisangnya udah buah belon nih ?

June 27, 2006 2:30 AM  
» Blogger mutiara nauli pohan:

aku mau pisang nya dongggg
i luv banana

June 27, 2006 2:51 PM  
» Anonymous Anonymous:

Gath.....
realistis & manusiawi bgt :)
tulisannya sederhana, empuk tp kena banget...
[akhirnya hutangku terlunaskan]

June 28, 2006 4:03 PM  
» Blogger mbakDos:

dork:
maksudnya sapa? si saxophonist teman saya itu? mmm... setau saya sih dirinya belum menjamah piano...

arma:
pernah denger the setyos belum? ya jelas belum... soalnya itu band keluarga kami yang tidak dipublikasikan ;D
btw, udah berbuah tuh beberapa. bukannya kamu sudah memakannya juga?!

uli:
monggo... silakeun jeng...

pini:
kalok keras ya bukan pisang atuh pin... tapi... ehm itu tuh *maluw ah
kan baru satu yang dilunasi tho?! yang lain masih menunggu kok... ;D

June 28, 2006 6:47 PM  
» Anonymous Anonymous:

rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau

well ungkapan yang pas untuk menyadari bahwa seringkali kita terlalu menginginkan apa yang orang PUNYA dibandingkan mencoba menghargai apa yang kita MILIKI. Kita menganggap apa yang diPUNYAi orang sangat 'cool' sementara menganggap yang kita MILIKI adalah hal yang biasa-biasa saja.

Glad... at last you find your banana tree ... (btw buah pisang adalah salah satu buah yang paling banyak dimakan orang di dunia lho... :)) )


Keep on going girl .... (btw IMA masih menunggu sambungan petualangan pertama Jaunne lho....)

PS:
Hope oneday aku dapat menghadiri peluncuran perdana 'buah pisangmu' dan berada di antrian nomor satu untuk mendapatkan tanda tangan dirimu pada pisang tsb...

June 29, 2006 3:40 PM  
» Anonymous Anonymous:

Juragan pu'un pisang:
Hehehe...

GOP:
wah....akyu banyak saingan dung.Akyu kan juga mau minta tanda tangan JPP (juragan pu'un pisang. Gimana kalo kita kolaborasi jadi distributor tanda tangannya JPP? :P

June 29, 2006 4:31 PM  
» Anonymous Anonymous:

pini:
mari kita membuat JPP Fans Club, mungkin ada yang berminat ikut lagi? :))

June 30, 2006 12:04 AM  
» Blogger mbakDos:

gop:
hmm pe-er saya banyak ya ternyata?! ;p yang satu sedang dalam pengerjaan, yang satu lagi udah ditagih2 melulu...
nantikanlah deh ya... ;-)

pini:
mariiiii nanti saya cariin lagi deh anggotanya ;D

June 30, 2006 4:40 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS