Monday, July 31, 2006
Two times.
Sebagai hasil dari impulsivitas saya yang... kadang-kadang memang sangat sulit untuk dikendalikan.
Ibu pun kelihatannya sudah pasrah. Hanya bisa mengurut dada melihat kelakuan anaknya.
Setelah anaknya yang satu ini sempat tiba-tiba memunculkan diri di hadapan beliau dengan rambut yang terpotong sangat pendek dan menjadi hijau, kini muncul dengan sebuah anting baru yang terpasang di telinga kirinya.
Ralat.
Saya muncul di hadapan beliau dengan sebuah tindikan-baru-yang-tertutup-anting, di sebelah atas tindikan saya yang lama. Masih di telinga kiri yang sama.
Ibu hanya diam. Tidak berbicara apa-apa. Matanya pun tidak terbelalak. Entah sedang berusaha menenangkan diri, entah sudah mulai terbiasa.
Setelah beberapa minggu sebelumnya saya memamerkan hidung saya yang sudah bertindik. Sepulang dari jalan-jalan bersama MANJA dan adik saya. Siang itu saya tiba-tiba saja menarik saudara sepupu saya itu. Berniat mengajaknya berjalan-jalan setelah ia telah membuat saya merasa bersalah. Ia sudah datang jauh-jauh dari luar kota dan menginap selama beberapa hari di rumah saya. Setiap pagi kami hanya bertemu selama kurang-lebih satu jam sebelum saya meninggalkan rumah dan melakukan aktivitas. Lalu saat saya tiba kembali di rumah pada malam hari, ia pasti sudah terlelap di kamar saya. Saya bahkan belum sempat menemaninya barang beberapa jam saja. Nona rumah macam apa saya ini? Lalu saat saya [merasa] tidak memiliki aktivitas apapun yang [sebenarnya!] harus saya kerjakan, saya segera menculiknya. Dan kami pun pergi bertiga. Window shopping menjadi kegiatan yang kemudian kami nikmati bersama. Selain karena kami sedang tidak ingin membeli apa-apa, alasan utamanya pun jelas, kami tidak punya uang! Uang yang ada pada saya sudah saya setorkan ke bank, dan saya malas kalau harus ke ATM dan mengambilnya di sana. Jadilah saya ‘hanya’ mentraktir makan gado-gado di foodcourt. Lalu kami berpisah. Saya masih ingin melanjutkan window shopping dengan Manja. Adik saya entah hendak membeli apa. Tiap lantai pun kami susuri. Tiap toko yang kelihatan menarik kami masuki. Masih tetap dengan niat untuk tidak membeli. Hanya melihat-lihat sambil berharap kapan-kapan akan terbeli. Sampai... lho?! Ada toko baru di situ? Bukankah sebelumnya ada di lantai bawah? Wait... wait... Ooohhhh... ternyata ini!!! Seorang teman pernah menyebut nama toko ini pada saya! Ia bahkan menyarankan saya ke sini jika saya memang berniat membuat tindikan [baca: piercing]. Ya. Saya memang pernah bertanya kepada beberapa orang teman, meminta referensi dari mereka, di manakah saya bisa membuat tindikan. Lalu tempatnya ada tepat di depan saya. Sebelum datangnya hari itu, saya seringkali berdoa dalam hati agar kesempatan itu tidak datang. Agar saya tidak menemukan tempat untuk menindik, agar saya tidak punya waktu untuk menindik, agar tidak bertemu dengan teman yang memberikan referensi tempat menindik, yah... semuanya! Tapi di saat yang sama, saya toh berharap kalau si teman itu akan menemani saya menindikkan bagian tubuh yang saya inginkan. Saya berharap ada satu hari di mana memang tidak ada aktivitas penting yang harus saya lakukan. Saya bahkan berharap tiba-tiba saja tempat untuk menindik itu muncul di hadapan saya. Seperti ini. Then what the hell is this? Mengapa tiba-tiba saya merasa doa saya terkabul? Saya tidak menyukainya!! Saya tidak suka ketika saya sudah menutup rapat-rapat keinginan untuk menindik, tiba-tiba ‘ada’ yang menyediakan tempat menindik itu. Tepat di hadapan saya! Argh, dammit! Manja mulai tersenyum. Saya memang pernah menceritakan niatan saya untuk menindik. Tapi hanya obrolan sambil lalu, mengingat [atau berharap] adanya kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukannya. Lalu di saat situasi benar-benar memungkinkan? Seperti ini? Saya masih diam. Mengumpat-umpat dalam hati. Menahan diri untuk tidak masuk. Tapi toh tidak melawan saat Manja menarik tangan saya menuju ke toko itu. Ia hanya berbisik. Menyuruh saya untuk segera menindik saja. Sampai di dalam toko, si mbak tersenyum ramah. Menanyakan apa ada yang bisa ia bantu. Ada, Mbak. Mungkin Mbak bisa membantu saya untuk segera keluar dari toko Mbak ini? Saya pun bertanya. Meminta informasi mungkin tepatnya. Bagaimana proses penindikan dilakukan, alat yang digunakan, bagaimana perawatannya, dan seterusnya-dan seterusnya. Hanya agar saya tidak merasa malu karena sudah masuk ke dalam toko. Setelah memperoleh berbagai informasi, saya mengajak Manja keluar lagi. Mengajaknya kembali berjalan-jalan menjauh dari toko itu. Mengajaknya kembali window shopping, jalan-jalan, atau apalah... melakukan hal-hal lain. Tapi saya tetap tidak bisa mengalihkan pikiran dari toko yang kami masuki tadi. Dan Manja tampaknya mengerti. Kali ini, ia tidak lagi menyeret saya masuk ke dalam toko. Ia hanya [terus!] bertanya, kalau memang saya ingin ditindik, mengapa saya tidak melakukannya sekarang? Selagi sempat? And, that’s damn her!!! Saya tidak tahu mengapa saya tiba-tiba masuk ke dalam toko itu. Sesaat setelah Manja melontarkan pertanyaannya. Dan saat si mbak kembali tersenyum menyambut kehadiran kami, saya kembali bingung. Saat saya masih berpikir keras tentang apa yang harus saya katakan kepadanya, tiba-tiba saya sudah mengutarakan niatan saya untuk menindik kepada si mbak. Saya bahkan sudah menunjuk hidung saya sebagai tempat di mana tindikan itu akan diberikan. Saya benar-benar tidak tahu apa yang ada di kepala saya, bahkan sampai saat si mbak meminta saya untuk duduk di kursi yang sudah disediakannya. Si mbak kemudian memberikan tanda dengan spidol hitam pada hidung saya. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak besar berisi beberapa anting. Ia meminta saya memilih anting mana yang akan digunakan. Saya memilih satu. Dan si mbak memasangnya pada alat penindik yang bentuknya seperti pistol mainan. Anting yang saya pilih pun dipasangkan di ujung alat itu. Hah? Jadi alat seperti inikah yang akan digunakan? Rasanya cukup untuk membuat saya mati mendadak! Dan semprotan alkohol yang diberikan di atas hidung bertitik hitam itu benar-benar cukup memberikan efek dramatis. Benar-benar membuat debaran di dada saya semakin tidak bisa dihentikan. Saya menarik Manja. Memintanya duduk dekat dengan saya. Saya memegang erat-erat lututnya. Lalu... C’tok!!! Dan hidung saya pun snut-snut. Ngilu. Mata saya berair. Sulit sekali membuatnya terbuka. Kepala saya pening. Tiba-tiba saya seperti kehilangan keseimbangan. Saat akhirnya mata saya terbuka, si mbak sudah menyodorkan cermin ke hadapan saya. Dari situ, saya bisa melihat anting yang saya pilih tadi sudah terpasang di cuping hidung saya yang memerah. Manja tertawa kecil melihat saya yang mendadak lemas. Geez... Should it be this hard? Kepala saya terasa penuh. Penuh dengan suara tembakan penindik yang mengejutkan nan kejam. Penuh dengan rasa sakit di kepala yang tiba-tiba muncul sesaat setelah suara tadi menghilang. Bahkan mungkin karena terlalu penuhnya isi kepala saya, saya tidak bisa lagi mengenali ada apa saja di dalamnya. Yang saya benar-benar ingat, rasa ngilu di hidung saya masih belum hilang. Lalu menjalar ke kepala. Menulari seluruh tubuh saya pula. Membuat saya lemas. Dan saya juga tidak mengerti, kenapa saya kemudian menambahkan lagi tindikan di tubuh saya. Setelah beberapa minggu berselang, saya mendengarkan niatan OCHEN untuk menindik telinganya, yang memang belum memiliki lubang tindikan sama sekali. Saya masih belum melupakan tragedi penembakan yang dilakukan oleh mbak penindik itu. Kalau toh pada akhirnya saya memutuskan untuk menindik lagi, prosesnya pasti akan sama. Akan memilih anting, diberi tanda titik hitam, disemprotkan alkohol, lalu... naaahhhh itu dia!! Rasa sakitnya pun pasti akan sama!! Bagian yang ditindik akan memerah, terasa snut-snut, lalu kepala saya pusing, dan badan saya lemas. Duh! Tapi... tidak apa-apa juga mungkin ya?! Setelah memegangi tangan Ochen, saya pun gantian duduk di kursi yang semula menjadi tempat eksekusinya. Dan bergantian pula, saya yang memegang erat-erat tangannya. Menggenggamnya keras, sampai... C’tok!!! Yah. Saya mendengar bunyi itu lagi. Dan jadilah satu tindikan lagi di telinga kiri saya. Ochen sempat bertanya, apakah saya akan menambahkan lagi jumlahnya yang sudah empat itu. Saya hanya tersenyum. Saya bahkan tidak tahu. Semula saya pikir tindikan di hidung itu akan jadi yang terakhir. Mengingat suara c’tok yang mengejutkan sekaligus mengerikan, rasa ngilu yang muncul kemudian, warna kemerahan yang timbul di tempat yang telah ditindik, ya memang mestinya saya kapok sih. Tapi di saat yang sama saya mengerti. Mengapa seorang teman yang pernah ditato, selalu ingin menambahkan lagi tato baru di tubuhnya. Mengapa teman lain yang telinganya pernah ditindik, masih memiliki keinginan untuk menindikkan bagian alis dan lidahnya. Mengapa orang-orang itu tidak berniat menghentikan keinginan mereka agar jarum tato ataupun jarum tindik tidak lagi memunculkan rasa ngilu? Bahkan ketika masih harus mengulangi kerepotan yang timbul setelahnya: baik melindungi bagian yang ditato agar tidak terkena air selama beberapa hari, maupun mengganti tindikan dan rajin mengusapkan baby-oil ke bagian yang ditindik? Mengapa mereka masih mengulangi rasa sakit yang sama? Hmmm... mungkin karena mereka melihat hasilnya ya?! Mungkin karena tato yang terlukis di kulit mereka tampak indah. Mungkin karena tindikan yang menghiasi tubuh mereka tampak bagus. Karena apa yang mereka dapatkan setelah semua proses menyakitkan itu ternyata jauh lebih memuaskan, mungkin itulah yang menyebabkan mereka belum berniat berhenti. Saya? Saya belum bisa janji macam-macam. Siapa tahu nantinya saat kita bertemu lagi, saya sudah menambahkan satu tindikan di lidah? Atau dagu? Atau di pusar?
ADA 17 KOMENTAR:
hal yang sama, mungkin, terjadi pada para perokok... pecandu narkoba... atau yang sekedar hobi blogging yang menambah pengeluaran untuk connect.
hehehe...
weks, aku 1 tindikan aja ga punya
pain killernya dh abis wkt nonton felem malem minggu kmrn mbak :D
duh serem juga ngebayangin c'tok nya yah
tapi btw selamatttttt...
ayo ayo di tambahin lagi ;p
what ???
keren ya jadi cewek itu
badannya bisa dibolong bolong sesuka hati...
hahaha
btw salam kenal yah :)
sering sering mampir,...
ancilla:
including dirimu dwonk?! ;D
stella:
kirain masih ada. kalok masih, mau minta sumbangan satu nih...
uli:
hah? nambah lagi?
*kok kaya' makan nasi sate?!
mata:
bolong-membolong emang ada kaitannya sama jenis kelamin yak?! ;D
salam kenal juga...
Hmm.. senangnya melihat namaku tertulis di blognya ibu yang satu ini. hehe iya, saya salah satu korban yang harus mendengar bunyi "c'tok" itu minggu lalu. fiewwwww.. untung ada ibu ini yang membolehkan lengannya digenggam erat!=D... kadang masih snutsnut juga nih ta.. kmaren sudah accidentaly kesenggol, kepencet, dan kegaruk karena lupa sudah ada tindikan..hehe.. btw, judul tulisannya menyeramkan sekali. tapi pasti lebih mending di'stab' yang ini kan ta... dari pada di backstab oleh orang lain??? hehe (sedikit curcol seperti biasa)..
hmmm...aku juga benernya pengen tindik hidung. cm krn skrg sdh berjilbab, jadi gag bisa lagi *jaim modeON*
ortu-ku gag pernah prites klo penampilan anak2nya antik or 'beda'.
adekku anak IKJ, rambut ala ariel peterpan dan dicat biru TERANG... alhamdulillah tp dia ga ditindik :D
blogmu aku link ya...!
http://tyka82.blogspot.com/
ochen:
masih membutuhkan lengan saya untuk digenggam dalam rangka menahan sakit akibat backstabbed tak chen?!
kalok masih, lengan saya selalu tersedia kok ;-)
tyka:
asiiikkk adikmu rambutnya biru?
*berasa punya temen ;D
wah... makasih lho udah di-link. sering2 berkunjung ya...
gw jg pernah nemenin temen gw nindik idung. . huhuhu. .
maap baru sempet ol lagi!
Tha..next time coba puser!! Unforgettable moment deh! Dijamin seru, dan pastinya nggak ada bunyi ctok2...hahaha..
Selamat mencoba.. =)
james:
gak ikutan nindik juga?! ;-)
iya nih... kangen padamu, sudah lama tak jumpa...
anggi:
iya sih, lucu juga kaya'nya...
btw, yang unforgettable itu proses menindiknya atau karena letaknya di puser?
shrivas: hehehe... blogging seru siiiiiiiiiii....
hmmm... untuk saat ini siy masih ada lengan yang lain untuk saya genggam. tapi kalau-kalau lengan itu pergi, sepertinya saya membutuhkan lengannya ibu agatha lagi.. :-)
btw..foto2nya mantab! pas lagi diriku manyun2nya... hehe
ancilla:
stuuuujjjjjj
ochen:
tapi sebelumnya minta maap ya cen kalok lengan saya tidak sebesar yang diinginkan ;-)
hayuk... nanti kita poto2 lagi pas abis wisata kuliner...
*kapaaaannn???
Prosesnya donk Tha...pas dikira ah cuma segini nih? Eeeehhh sakitnya menggila. Dan pas mau bilang: stooopp...hentikaaannn....eh udah selesai. Ckckck...sungguh memacu adrenalin.
Eh kok ada kata2 wisata kuliner yah... KAPAN???
ochen dan shrivas:
"tapi sebelumnya minta maap ya cen kalok lengan saya tidak sebesar yang diinginkan ;-)"
maybe the other parts of 'her' body yang besar chen ... =))
anggi:
ah engkau membuat saya ingin mencobanya nggi...
wisata kuliner? mmm... coba ditanyakeun pada pak bos aja ya...
japro:
itu namanya aset mas... ;D