Skripsi nan Dejavu

Tuesday, June 20, 2006

“Lo ngapain ke kampus?”

“Ya apa lagi?”

“Emang belum selese skripsinya?”

“Kupret! Kalo udah, ngapain juga gue ke sini? Emang elo? Belum puas kuliah, kerja masih di sini juga?!”

“Setan!”

Awal perbincangan kami di dalam lift, yang membawa kami naik ke lantai teratas, turun ke lantai dasar, lalu naik lagi, turun lagi. Dan baru setelah sekian kali putaran, saya merelakannya turun di salah satu lantai yang memang ditujunya.

Dia sudah hampir dua tahun menghilang.

Saat saya berjumpa kembali dengannya siang ini, saya seolah telah menekan tombol ON di punggungnya. Lalu mulailah ia menceritakan segala keluh-kesahnya, segala macam uneg-uneg, yang tidak pernah disampaikannya pada saya.

Tentang sang kekasih yang pergi meninggalkannya setelah sekian tahun mereka bersama.

Tentang dunia kerjanya yang seringkali menjadi stressor yang luar biasa hebat. Namun di saat yang sama dunia itu demikian dicintainya, dan ia tidak ingin meninggalkannya.

Tentang skripsinya yang tak kunjung selesai, padahal sudah lebih dari satu setengah tahun berlalu sejak ia mulai menyentuh matakuliah itu.

Dan ia mulai khawatir.

Karena pekerjaan yang tengah dijalaninya sekarang telah begitu menyita waktunya, perhatiannya, dan juga kesenangannya. Sekarang ia lebih memilih untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan kantor, sekalipun harus menyita waktunya sampai larut malam.

Pilihan yang jelas.

Daripada bersusah payah menyelesaikan skripsi dan tidak ada yang dihasilkan selain satu buah jilidan bersampul ungu, tentunya jauh lebih baik untuk bekerja lembur di kantor, bahkan tidak pulang, tetapi menghasilkan sesuatu yang dinamakan uang.

Hasilnya jelas. Demikian pula wujudnya. Begitu katanya.

Mendengarkan cerita itu, jadi terasa seperti... deja vu...

Hmm... satu setengah tahun.

Yah... paling tidak munculnya kesadaran untuk menyelesaikan skripsi itu masih relatif lebih cepat dibandingkan saya.

Saya membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk skripsi. Belum lagi tambahan setengah tahun untuk mempersiapkannya.

Kalau dipikir-pikir... separuh dari masa studi saya telah saya habiskan hanya untuk menyelesaikan skripsi.

NOTE: menyelesaikan ≠ mengerjakan lho ya...

Setengah tahun pertama [di luar masa dua tahun itu] saya mulai mempersiapkan penelitian yang akan saya lakukan. Menemukan fenomena yang akan diteliti bukanlah perkara sulit. Hanya butuh waktu satu hari. Kuliah Psikologi Moral yang saya ikuti pada suatu hari telah memunculkan ide akan fenomena tersebut.

Dan baru dimulailah penderitaan sesungguhnya.

Saya mencoba menemui beberapa orang dosen yang saya rasa memahami fenomena yang saya maksudkan tersebut, dan mencoba mendiskusikannya dengan mereka. Semakin banyak saya berdiskusi, saya menjadi semakin bingung. Semakin meningkat pula rasa penasaran saya. Dan naluri untuk memuaskan keingintahuan itu pun semakin besar.

Mengganti-ganti konsep psikologis seakan sudah menjadi keseharian saya.

Saya membaca buku A, saya menemukan bahwa teori A tidak cocok untuk digunakan. Saya membaca buku B, ternyata teori C yang lebih tepat bagi penelitian saya. Saya menemukan teori D, teori C menjadi tidak berguna lagi.

Semakin pusinglah saya.

Semakin penasaran pula untuk bisa segera menuntaskan penelitian itu.

Satu bulan...

Dua bulan...

Tiga bulan...

Beberapa bulan berikutnya...

Lalu muncullah kebosanan itu.

Saya mulai merasa lelah karena apa yang saya kerjakan tidak kunjung selesai juga. Saya merasa jenuh karena tidak juga beralih dari pembahasan yang itu-itu saja. Dan saya merasa tidak bergerak ke mana-mana.

Seakan mendapat berkah, tiba-tiba berbagai tawaran part-time job datang pada saya.

Tanpa pikir panjang, segera saya terima tawaran itu.

Pekerjaan yang menarik, sesuai pula dengan bidang Psikologi yang tengah saya tekuni.

Tapi... alasan sebenarnya ya... karena saya pikir pekerjaan ini akan membantu mengalihkan kebosanan saya yang amat sangat akan skripsi.

Dan benar saja!

Pekerjaan baru ini telah menyita waktu saya seharian.

Pagi hari berangkat ke kantor. Bekerja. Siangnya beristirahat barang satu jam sambil makan siang. Lalu bekerja lagi. Sore hari masih memeriksa kembali pekerjaan-pekerjaan yang telah saya lakukan selama satu hari itu. Baru di malam hari saya pulang ke rumah.

Capek? Jelas!

Tapi menyenangkan.

Satu bulan...

Dan saya mulai merasa kehilangan rasa menyenangkan dari pekerjaan itu.

Bagaimana bisa menyenangkan jika setiap harinya yang saya lakukan adalah men-scoring lembar-lembar alat tes yang sudah dikerjakan. Serangkaian alat tes yang sudah dikerjakan oleh sekian ribu orang.

Jauh lebih membosankan. Sebenarnya.

Lalu saya mencoba menggali rasa menyenangkan dari gundukan kebosanan itu juga.

Yang terjadi kemudian... makin akutlah rasa bosan yang saya alami!

Rasanya sisi menyenangkan yang sempat saya alami itu tampaknya bukan berasal dari pekerjaan yang tengah saya lakukan. Tapi karena saya bisa keluar dari rutinitas untuk mengerjakan skripsi.

Yang sayangnya... kemudian saya terjebak dalam rutinitas untuk melakukan scoring alat tes.

Sebenarnya sudah sangat jelas. Bahwa dari awal, saat saya ditawari untuk melakukan pekerjaan tersebut, saya pasti akan melakukan suatu pekerjaan rutin. Bahwa saya akan menghadapi sesuatu yang tampaknya lebih membosankan dari pengerjaan skripsi.

Tapi toh saya menerima tawaran itu juga.

Hanya karena pekerjaan yang akan saya lakukan itu BERBEDA dari pengerjaan skripsi.

Lalu bencana tiba-tiba datang saat Pembimbing Skripsi saya menghubungi saya [baca: mengultimatum] agar saya segera menyelesaikan skripsi dalam tenggat waktu yang telah diberikannya. Jika tidak, saya terpaksa mencari pembimbing baru!

Waaahhh... gawat gawat!!!

Jadilah saya harus berjuang setengah mati untuk tune-in lagi pada apa yang sudah saya tinggalkan beberapa lama.

Yang membuat jauh lebih sulit adalah menarik kembali mood saya untuk mengerjakan skripsi itu. Mengingat rasa bosan yang semakin mendarah-daging.

Maka... kerja rodilah saya.

Tetap tinggal di rumah setiap harinya. Saya hanya akan keluar rumah jika tujuannya adalah ke kampus untuk mencari bahan-bahan skripsi atau ke kantor tempat Pembimbing Skripsi saya bekerja.

Duduk di depan komputer selama sekian jam setiap hari. Dengan buku-buku literatur tebal berbahasa Inggris di samping saya. Pagi dan siang hari ditemani oleh es teh manis berukuran besar, sementara sore dan malam harinya digantikan dengan kopi.

Sulit bukan main. Menyebalkan pula. Bahkan seringkali kemarahan sudah sampai di ubun-ubun, tinggal menunggu untuk meledak. Umpatan-umpatan sudah tidak terhitung barangkali.

Sangat jauh lebih mudah bagi saya untuk meninggalkan saja skripsi itu. Toh saya sudah bekerja. Kalau pekerjaan yang ini tidak menyenangkan, masih ada pekerjaan lain yang ditawarkan pada saya. Saya masih punya banyak pilihan lain, tetapi jelas bukan mengerjakan skripsi.

Tapi saya tetap harus mengerjakan skripsi itu kan?! Saya tetap harus menyelesaikannya.

Kalau saya masih berniat untuk lulus dari Fakultas Psikologi.

Sekalipun saya sudah bekerja, menghasilkan uang dalam jumlah besar, toh saya masih menyandang status mahasiswa.

Jawabannya jelas.

Mengerjakan dan menyelesaikan skripsi itu.

Benar-benar deja vu...

Yah... mendengarkan cerita teman di lift tadi, saya hanya bisa tersenyum-senyum saja.

Mau memberi komentar apa? Berusaha memberikan semangat padanya, bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja?

Tidak mungkin 'kan?!

Wong dulu saya juga tidak pernah beranggapan bahwa semuanya akan baik-baik saja...

website page counter

ADA 8 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

DE JAVU jugaaa...

Kirain yang ngalamin penderitaan skripsi yang mood-mood-an kaya daku cuma daku seorang ternyata ada juga tooh gegege...

Daku malah 2,5 tahun terhambat dan ini gara2 pembimbing [nyari kambing item banget ga seeh], soale itu dosen pembimbing yang kebetulan ngga aku sukain kenapa ?
karena dia sombong banget mentang2 S3 sedang dosen ditempatku kebanyakan S2, tapi sayangnya sombongnya dan resenya itu ga sesuai ma kemampuannya [under-dock], dan seneng nyari2 kesalahan mulu.

Dan kalo ditemuin sok sibuk dan susah banget, daku kan sambil KERJA juga gitu looh, mbok ya kasih waktu gituu, wong dia juga cuma dikampus ga ke tempat laen dan untung aja daku ga anarkis hwekekeke...

Looh koq jadi curhatitis... ?
Yaa bgitulaah bu dosen.

June 20, 2006 3:17 PM  
» Blogger thornandes james:

uuhhh, bagaimana penderitaanku nanti skripsi yaa? ? 1 smester lagi selsay langsung nyusuun niij! huks. .

June 21, 2006 2:07 AM  
» Blogger Ancilla:

tapi faktor pembimbing emang krusial juga si ya...
selain faktor kepepet lainnya. hehehe..

June 21, 2006 7:21 AM  
» Blogger mbakDos:

arma:
curhatitis bukan tindakan ilegal kok... mengingat yang dicurhatin adalah seorang dosen juga ;D

james:
welcome to the club, dear... ;-)

ancilla:
faktor kepepet itu including faktor pembimbing sih bek ;D

June 21, 2006 8:51 AM  
» Blogger mutiara nauli pohan:

bu dosen ntar klo jadi pembimbing yg asik yah biar mahasiswa nya semangat ngerjain skripsi :)

June 23, 2006 8:21 AM  
» Anonymous Anonymous:

Wah, kalo mbak ini jadi pembimbing skripsi?

Moga-moga mahasiswAnya bisa berkonsentrasi dengan baik saat pembimbingan (tatap muka) dengan beliau... =))

June 23, 2006 8:47 PM  
» Blogger mbakDos:

uli:
waduw... saya jadi pembimbing skripsi?? amiiinnnnn ;D

gop:
yaahhh... kok dibuka rahasianya di sini sih? ntar kalok tiba2 banyak yang berminat jadi mahasiswA bimbingan saya kan... jadi repot?! ;D

June 23, 2006 10:17 PM  
» Blogger mbakDos:

anton:
naaahhhh akhirnya tergerak juga hatimu untuk memberikeun komen... ;-)
kapan pak publishing tulisanmu?
sudah tak sabar ingin membacanya nih...

August 08, 2006 7:58 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS