Babi dalam Gua

Saturday, June 10, 2006

Di mana pula ini?

Saya yakin ini saya sudah melalui jalan yang sama seperti yang sebelumnya pernah saya lewati.

Melalui sepasang batu besar, pohon-pohon randu, padang ilalang, dan baru saja saya menyeberangi sungai. Lalu, mengapa saya tiba di sini? Bukankah seharusnya yang saya temui adalah padang rumput?

Mengapa justru jajaran pohon randu yang lain lagi?

Apa mungkin saya berjalan berputar ke tempat tadi?

Rasanya tidak.

Saya ingat betul. Sepasang batu besar, pohon-pohon randu, padang ilalang, sungai, dan padang rumput.

Setelahnya saya akan menemukan sebuah gua.

Tapi ini? Setelah menyeberangi sungai, lagi-lagi menemui jajaran pohon randu.

Mungkinkah saya melupakan sesuatu?

Hhhh... kalau saja bukan Ibu Babi yang meminta bantuan... kalau saja bukan si Babi yang harus saya temui, saya tentunya akan lebih memilih untuk duduk-duduk di rumah bersama Ibu. Daripada... tersesat seperti ini?

Entahlah...

Ibu pun masih terus bertanya pada saya, mengapa saya tidak pernah bisa menolak permintaan Ibu Babi untuk membantunya, membantunya menghadapi anaknya sendiri.

Saat si Babi bermain di sungai dan terbawa arus, saya yang mengulurkan ranting pohon kepadanya.

Saat ia tergelincir ke sisi jurang karena berlari-lari di tepiannya, saya yang mengulurkan sulur-sulur tanaman.

Saat harimau mengejarnya di tengah padang, saya ikut berlari dan membawanya bersembunyi di balik semak.

Bahkan saat terjadi pertengkaran antara dirinya dengan kakak Babi, sayalah yang berdiri di tengah mereka dan mencoba berbicara kepada keduanya.

Lalu sekarang?

Baru saja terjadi pertengkaran hebat. Kali ini antara si Babi dengan ibunya. Dan si Babi pergi dari rumah. Minggat. Rasanya ke tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tempat yang selalu menjadi persembunyiannya jika bertengkar, entah dengan kakaknya atau dengan ibunya.

Dan ia baru akan pulang, jika saya menjemputnya.

Yah... memang wajar jika Ibu selalu mempertanyakannya.

“Nak, dia toh bukan keluarga kita... Untuk apa kamu bersusah payah seperti itu?”

“Dia memang bukan keluarga kita, Bu... Tapi dia kan keluarga Babi, anak dari Ibu Babi. Bisakah Ibu bayangkan bagaimana khawatirnya Ibu kalau saya yang menghilang seperti itu?”


Tapi ternyata jawaban itu justru membuat perdebatan antara Ibu dan saya makin panjang. Dan baru berakhir setelah Ibu menyerah dengan kekerasan hati saya untuk tetap mencarinya.

Saya mengerti keberatan Ibu.

Terlebih sejak si Babi pulang dari perantauannya beberapa saat yang lalu.

Dia tidak lagi bermain di sungai, tidak lagi berkejar-kejaran sepanjang padang rumput, bahkan tidak lagi bermain dengan saya. Yang disibukkannya hanya menghias dirinya saja. Dia bahkan hampir tidak pernah keluar rumah.

Tidak seperti si Babi yang saya kenal.

Tidak seperti si Babi teman saya.

Entah apa yang terjadi di hutan seberang sampai membuatnya demikian.

Ooohhh... itu dia guanya! Tampaknya saya menyeberangi sungai dengan arah yang sedikit berbeda. Makanya yang saya temukan tadi justru pohon randu itu.

Tapi saya yakin betul bahwa itu adalah gua tempat si Babi bersembunyi.

“Untuk apa kamu ke sini?”

“Menjemputmu.”

“Aku sudah dewasa! Aku bisa pulang ke rumah sendiri!”

“Aku ingin menemanimu.”

“Aku tidak ingin ditemani! Pulanglah...”

“Tidak... aku ingin menemanimu.”

“Dasar Monyet! Kamu pikir aku tidak tahu jalan pulang?”


Dan Babi berlari kencang-kencang keluar dari gua, menuju deretan gelap pohon randu, yang tadi sempat menyesatkan saya. Rupanya hendak membuktikan kebenaran kata-katanya.

Saya mencoba menghadangnya, ia terus berlari.

Saya mencoba mengarahkannya ke padang rumput, ia terus menyusuri deretan pohon randu.

Saya mencoba berlari. Mengejarnya. Menyejajarinya.

Sampai kami menemukan aliran sungai. Ya, kami tinggal menyeberanginya.

Tapi... ini bukan sungai yang tadi. Bukan sungai yang biasa kami lalui.

Sebentar... rasanya saya tahu sungai ini.

Ibu pernah memarahi saya karena hendak melalui sungai ini.

Ini sungai buaya!

Saya kembali berlari, menyejajari si Babi. Saya mencoba memberitahunya. Tapi ia terus berlari menyeberangi sungai itu.

Berlari melalui batu-batuan. Mengakibatkan cipratan air ke sana-kemari.

Dan sebuah batu bergerak mendekat.

Bukan. Itu bukan batu.

Itu buaya!!

Tepat di belakang saya!!

Si Babi terus berlari dan berlari. Saya mengikuti di belakangnya sambil berteriak, memberitahunya bahwa ada buaya di belakang saya.

Kami terus berlari... berlari... lebih cepat...

Namun kaki saya... Kaki saya!!!

•••

Suara Ibu...

“Nak... syukurlah...”

Ibu tersenyum. Tampak samar-samar.

Kepala saya sakit sekali.

Saya menatap Ibu.

Ibu tahu.

“Si Babi... dia sudah tiba lebih dulu. Lama sebelum Paman Beruang membawamu pulang. Dia yang menyelamatkanmu dari buaya itu.”

Saya segera bangkit untuk duduk.

Ugh... badan saya sakit semua. Terasa kaku. Dan kepala saya pening bukan main.

Lalu, ke mana si Babi?

Ibu Babi duduk di samping Ibu. Ke mana anaknya?

“Hhh... kami habis bertengkar lagi.”

Ibu kemudian menatap saya. Berharap.

Tapi saya tidak bisa.

Maaf, Bu...

Saya harus kembali ke sana.


*to Guido Ogilvy Dwandra,
happy 2nd birthday, dear...

website page counter

ADA 16 KOMENTAR:

» Blogger thornandes james:

interesting, an analogy or simply a fable?

June 11, 2006 6:07 AM  
» Blogger mbakDos:

james:
which one's more interesting to you? ;-)

June 11, 2006 10:32 AM  
» Blogger thornandes james:

hmm, simply a fable or an analogy is no matter actually, and afterall fable itself is a story with moral messages that symbolized with animal character, it's not different that much with an analogy. . aight? =p

June 11, 2006 5:12 PM  
» Blogger mbakDos:

james:
not different that much with most of my writings either ;-)

June 12, 2006 11:48 AM  
» Blogger Unknown:

i like i like..

i hope its just a fable tho.. it'll make my life easier.. really enjoyable... and your vocab is awesome...

June 12, 2006 12:19 PM  
» Blogger mbakDos:

cherry:
take it as a fable as you like it, then ;-)

June 12, 2006 5:22 PM  
» Anonymous Anonymous:

Fable ?
Ummm I prefer this based on the true story isn't it ?

But this is an unclose story, does it has a sequel ?

June 13, 2006 12:22 AM  
» Blogger mbakDos:

arma:
every story has its own sequel, aight? ;-)

June 13, 2006 9:12 AM  
» Blogger mutiara nauli pohan:

kok babi sihhhh ???

June 13, 2006 12:13 PM  
» Blogger Ancilla:

mutiara nauli pohan:
kalau bebek itu jadi cerita saya :)

dukiduk: well, kadang memang persahabatan itu sangat amat penting. tapi akankah si babi merasakan hal yang sama?

June 13, 2006 3:40 PM  
» Blogger mbakDos:

uli:
stuju sama ancilla... kalok diganti bebek, ntar jadi cerita tentang dia donk?! ;D

ancilla:
when it comes to caring for another person, jadi gak penting kan apakah si babi akan merasakan hal yang sama?!

June 13, 2006 6:13 PM  
» Blogger Ancilla:

memang duk, tidak penting... ingat the unconditional love?

but, does your caring behavior to the piggie is a kind of an unconditional love also?
or there is something else? :)

June 13, 2006 6:19 PM  
» Blogger mbakDos:

ancilla:
caring is used to be an unconditional thing in my term. but when it comes to love... it's just a different matter, isn't it? ;-)

June 13, 2006 7:14 PM  
» Anonymous Anonymous:

sergio mendez itu pemain bola yak?

June 13, 2006 7:28 PM  
» Blogger mbakDos:

dork:
sampe sekarang sih yang saya kenal, dia masih main musik belum pindah ke bola ;D

June 14, 2006 8:53 AM  
» Blogger Ancilla:

yupes. but sometimes caring not always the unconditional thing either...

June 14, 2006 1:40 PM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS