Menuding Cermin

Friday, May 19, 2006

Sebuah seminar yang hendak saya ikuti telah menyebabkan afeksi saya naik-turun sejak pagi ini.

Harus bangun jam enam, sementara saya baru tidur empat jam sebelumnya.

Harus mandi pagi-pagi, sementara biasanya saya baru mandi menjelang tengah hari.

Harus menyetir si hitam selama sekitar satu setengah jam dengan rute Pondok Bambu – Sudirman. Dan ini hari kerja!

Hhhh... di saat-saat seperti inilah saya merasa sangat beruntung kalau ada yang bersedia menggantikan saya untuk menyetir si hitam. Supir taksi mungkin?

Anyway...

Satu hal yang jelas membuat saya [boleh sedikit] bergembira adalah tentang seminar yang hendak saya hadiri itu sendiri. Mmm... bukan seminar sih sebenarnya. Mungkin lebih tepat disebut diskusi. Diskusi dengan topik yang memang menarik: Corruption Culture and Corruption in Everyday Life, atau... yah kira-kira judulnya seperti itulah [*maaf, saya tidak ingat persis].

Diskusi ini diawali dengan pemutaran sebuah film dokumenter yang sangat menarik. Film ini menampilkan praktek korupsi yang terjadi pada keseharian masyarakat Indonesia. Film yang bagus. Film ini menampilkan apa yang memang terjadi, yang mungkin buat sebagian besar peserta diskusi, adalah hal yang... waaaahhhhh [mereka menyaksikan film tersebut dengan mata terbelalak dan berbagai komentar].

Beberapa adegan diantaranya diambil dengan menggunakan hidden camera. Adegan-adegan inilah yang justru menarik. Adegan-adegan inilah yang justru menampilkan hal-hal yang sudah sepatutnya kita tahu.

Bagaimana para penumpang tidak perlu membayar karcis peron ketika masuk ke dalam stasiun. Bagaimana para pemilik café pada malam hari harus keluar dan menyerahkan sebuah amplop tertutup kepada aparat yang menunggu di mobil mereka yang berhenti di depan café tersebut. Bagaimana cara memperoleh SIM hanya dalam beberapa jam jika saya membayar sejumlah uang kepada calo yang tersedia di dalam Kantor Polisi.

*sigh

Menonton adegan-adegan tersebut kembali memporak-porandakan emosi saya. Dan saya bersungguh-sungguh, bukan bermaksud mendramatisir.

Saya pernah mengetahui situasi yang kurang-lebih mirip dengan adegan-adegan itu. Saya pernah berbincang-bincang dengan mereka yang terlibat. Saya bahkan pernah menyaksikan sendiri situasi semacam itu, sebagai bagian dari proses interaksi saya dengan orang-orang yang terlibat ini.

Dan kamu mungkin tidak tahu, bahkan tidak menyangka bahwa semua itu membuat saya merasa... entahlah, seperti... dada saya terasa sesak, terasa sakit.

Bukan. Bukan semata-mata karena apa yang saya saksikan tersebut.

Tetapi karena saya pernah tahu, mengapa orang-orang tersebut melakukan apa yang ditampilkan di film tersebut, melakukan apa yang saya saksikan dengan mata saya sendiri, melakukan apa yang kemudian disebut dengan istilah korupsi.

Corruption...

Saya pernah sangat-sangat familiar dengan istilah tersebut. Selama sekitar dua tahun.

Penelitian yang tengah saya kerjakan saat itu menuntut saya untuk melibatkan diri dalam interaksi dengan beberapa orang yang memang terlibat di dalamnya [karena saya tidak suka ketika harus mengatakan bahwa... mereka memang melakukan korupsi].

Mungkin mendengarnya, kamu akan mengerutkan dahi, dan sesegera itu pula muncul bayangan-bayangan negatif mengenai... okay, let’s say... seorang koruptor. Istilah itu memang seolah-olah menggambarkan sosok mengerikan yang ‘memakan’ apa yang sebenarnya bukan miliknya.

Seperti halnya dirimu, pikiran yang sama itulah yang pertama muncul dalam kepala saya saat saya bertemu dengan mereka. Segala hal buruk saja yang ada di benak saya tentang orang-orang itu. Bagaimana mereka sungguh egois, hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, tidak pernah tahu bahwa orang lain akan terkena imbas atas perbuatan mereka, hanya menyusahkan orang lain saja mampunya, dan seterusnya-dan seterusnya...

Satu hal terluput dari kepala saya.

MEREKA JUGA MANUSIA.

Bahwa apa yang mereka lakukan [baca: korupsi] telah menimbulkan pergulatan batin hebat dalam diri mereka.

Membuat mereka tidak bisa tidur nyenyak, merasa bersalah saat pulang dan menemui keluarga mereka. Membuat mereka seringkali menolak untuk beribadah. Membuat mereka merasa tidak memiliki seseorang yang berdiri di samping mereka untuk menemani, tidak memiliki seorang pun untuk mendengarkan apa yang mereka rasakan itu.

Mereka seorang diri.

Mungkin karena itu pulalah mereka kemudian membanjiri saya dengan kisah tentang perasaan itu. Cerita tentang kekhawatiran mereka, ketakutan, pedih, sakit atas apa yang telah mereka lakukan, dan yang masih mereka lakukan. Mungkin karena sayalah yang ada di sana, di samping mereka.

Hal yang tidak pernah terbayangkan, bahkan sedikit pun, dalam kepala saya, telah menimbulkan sakit pula dalam dada saya. Melihat mereka menangis, di samping saya.

Dua tahun yang menyakitkan, jelas belum apa-apa jika dibandingkan bertahun-tahun rasa sakit mereka.

Dua tahun yang membuat saya membelalakkan mata, melihat, dan menyentuh perih itu sendiri. Membuat saya kembali menggarisbawahi bahwa mereka tetaplah seorang manusia, sama seperti saya.

Mereka tidak jujur, mereka berbohong dan berdusta. Saya juga.

Mereka bersembunyi dari kenyataan. Saya juga.

Mereka menyakiti orang lain. Saya juga.

Mereka mementingkan diri sendiri. Saya juga.

Mereka tidak ada bedanya dengan saya.

Dan barulah saya mungkin menyadari begitu blur-nya batasan benar dan salah. Setelah saya sadar bahwa saya juga melakukannya. Bagaimana jika saya tidak menyadarinya? Mungkin akan dengan mudah jari telunjuk saya mengarah kepada mereka saja dan dengan lantang meneriakkan nama mereka sebagai pihak bersalah.

Saya pun mungkin juga baru akan menyadari bahwa masalah benar dan salah itu kemudian menjadi amat relatif. Bukan karena mereka mencuri lalu mereka bersalah. Atau karena saya tidak mencuri lalu sayalah yang benar.

Kalau mereka mencuri untuk memberi makan keluarganya? Kalau saya memang tidak mencuri tetapi menyuruh orang lain untuk mencuri bagi saya?

Tidak sesederhana itu.

Bukan perkara sederhana pula saat saya menentukan apa yang benar atau salah. Saya hanya tahu bahwa apa yang saya lakukan itu beralasan [paling tidak, buat saya memang demikian]. Everything comes for a reason. Dan memang sayalah yang paling tahu apa alasan sebenarnya saya melakukannya.

Sama seperti mereka.

Mereka lah yang paling mengerti alasan mereka melakukan perbuatan mereka [lagi-lagi saya tidak ingin mengucapkan kata berawalan K itu]. Mereka pulalah yang memahami benar-salahnya perbuatan itu. Bukan saya. Bukan kamu. Bukan pula orang lain.

Ah, sudahlah...

Menceritakan tentang hal itu kepadamu membuat saya kembali ingin menangis saja.

website page counter

ADA 4 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

Very touchy...,
membuat saya berpikir tentang rasa bersalah yang mereka miliki [mungkin] seumur hidup.... who say crime doesn't pay

And when come to this:

Bukan perkara sederhana pula saat saya menentukan apa yang benar atau salah. Saya hanya tahu bahwa apa yang saya lakukan itu beralasan [paling tidak, buat saya memang demikian]. Everything comes for a reason. Dan memang sayalah yang paling tahu apa alasan sebenarnya saya melakukannya.

... again you're very-very right


ngomong-ngomong, 'mau diperpanjang lagi dua tahunnya?' Moga-moga bisa diteruskan sampai thesis/disertasi :-)

keep on writing girl [or Goddess of Penyuers] :))

May 19, 2006 11:46 AM  
» Blogger mbakDos:

japro:
wish me luck then, sir... ;-)

May 19, 2006 1:26 PM  
» Anonymous Anonymous:

Mana tulisannya yang lain lagi....

jangan layoutnya aja yang digonta ganti :-)

May 24, 2006 11:04 AM  
» Blogger mbakDos:

japro:
kan ngasih kesempatan agar tulisan ini bisa diresapi dulu ;D

May 24, 2006 11:14 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS