Saturday, March 22, 2008
Tanpa sadar, saya segera menghela nafas panjang setelah mendengar Ayah mengucapkannya. Sepertinya saya harus kembali mengalami apa yang pernah terjadi dulu. Saat Mbakyu hendak menikah, sekitar tujuh tahun yang silam.
Sebagai anak tertua, perempuan pula, pastinya pernikahan Mbakyu harus dipersiapkan sesempurna mungkin. Terlebih jika mengingat bahwa kami memiliki seorang Ayah yang luar biasa perfeksionis, bisa dipastikan bahwa akan sangat banyak hal yang diurusi dalam rangka persiapan itu.
Dan sayalah yang kemudian ditenteng Ibu ke sana-kemari.
Mulai dari mendatangi penjual kain di Pasar Baru. Memilih kain yang akan digunakan untuk kebaya saya dan si Kriwil di kunjungan pertama, keluarga dari pihak Mbakyu maupun pihak si Mas di kunjungan kedua, juga untuk seluruh panitia yang akan terlibat, pada kunjungan-kunjungan berikutnya ke toko yang sama. Tentunya setelah sebelumnya melakukan perhitungan ini-itu mengenai berapa jumlah orang yang akan berkebaya.
Penjahit, menjadi sasaran kunjungan berikutnya. Dengan membawa kain-kain yang sudah dibeli itu, kami mengunjungi penjahit yang katanya biasa menghasilkan jahitan kebaya tanpa pernah mengecewakan para pelanggan.
Lalu menjumpai pemilik catering. Membaca dan meneliti baris-baris tulisan pada menu makanan yang disodorkan kepada kami. Menanyakan kepadanya mengenai nama makanan yang belum pernah kami dengar sebelumnya, sampai menu-menu andalan yang seringkali dipesan oleh para pelanggan mereka. Kunjungan pun diakhiri dengan membawa lembar menu di tangan untuk kemudian didiskusikan kembali setibanya kami di rumah.
Menemui Ibu perias, juga tentunya masuk ke dalam daftar yang harus kami lakukan. Sekaligus mendiskusikan tata cara pernikahan adat Jawa Tengah dengan salah seorang kerabatnya, yang paham betul dengan hal itu.
Sibuk berkeliling ke sana-kemari mencari ini-itu, memang merepotkan buat kami. Atau saya, tepatnya. Tapi yang membuat saya seringkali kelelahan, adalah karena masih harus menghadapi perdebatan yang terjadi berkaitan dengan persiapan pernikahan ini. Ibu dengan Ayah. Ibu dengan Mbakyu. Mbakyu dengan Ayah. Saya dengan Ayah. Saya dengan Mbakyu. Juga kangmas-kangmas lainnya. Dan undangan, merupakan salah satu sumber perdebatan terbesar. Antara saya dengan Ayah. Jumlah yang banyak, waktu yang sempit, membuat kami berdua sama-sama tertekan dengan permasalahan undangan itu. Saya, terus memikirkan waktu yang tersisa agar para penerima undangan tidak merasa bahwa tibanya undangan di tangan mereka hingga hari pernikahan Mbakyu terlalu mepet. Alhasil, saya pun seringkali mengetikkan nama dan alamat penerima undangan tersebut sesuai dengan apa yang saya baca pada daftar yang diberikan Ayah. Tanpa diperiksa lagi setelah masing-masing di-print dan siap untuk direkatkan pada undangan. Sementara Ayah, tidak ingin terjadi kesalahan pada penulisan nama dan gelar para penerima undangan. Sama sekali. Kurang satu gelar saja, saya harus mengulangi untuk mengetik dan menge-print lagi. Hal yang sama juga harus saya lakukan jika beliau menemukan bahwa saya menuliskan ‘Bpk.’ di bagian nama, padahal nama yang dimaksud itu dimiliki oleh seorang perempuan. Padahal pada undangannya juga sudah tercetak permintaan maaf jika terjadi kesalahan pada penulisan nama. Tapi kata-kata itu tidak berlaku buat Ayah. Bahkan tiba-tiba saja, setelah semua undangan dikirimkan, Ayah menelpon dari kantor untuk memberitahukan sejumlah nama tambahan yang hendak dikirimi undangan juga. Di mana saya tengah berada di dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan. Belum lagi ketika waktu hanya tersisa satu minggu menjelang hari pernikahan, sementara masih ada beberapa nama tambahan yang harus dikirimi undangan, tinta printer habis. Ayah kesal, marah-marah, mengeluhkan mengapa saya tidak mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dan saya pun ikut murka. Rasanya ingin sekali meminta beliau membatalkan saja pernikahan Mbakyu itu. Tapi toh hal yang sama masih juga terjadi menjelang pernikahan Mas Jaliteng, tiga tahun kemudian. Mengurusi undangan masih saja menjadi sumber perdebatan antara saya dengan Ayah. Lalu ketika beberapa hari lalu mendengar permintaan beliau agar saya kembali mengurusi undangan pernikahan Mas Tolé yang akan dilangsungkan bulan depan, hhh... jadi saya harus mengulangi perdebatan yang sama?! Saya bisa saja menolak permintaan itu, sebenarnya. Dengan beralasan bahwa saat ini tengah sibuk berpraktek dan harus menyelesaikan laporan, tentu mau-tidak mau, Ayah pasti akan mengerti. Walaupun dengan segala kecemberutannya, ngomel-ngomel-nya, beliau akan bisa memaklumi. Tapi entah, saya sendiri tidak tahu kenapa saya tidak melakukannya. Bukannya memberikan berbagai alasan kenapa saya tidak bisa membantu, saya malahan mengangguk dan meng-iya-kan saja permintaan itu. Kalau dipikir-pikir, iya, Ayah mungkin akan mulai terbiasa dengan segala kesibukan menjelang pernikahan anak-anaknya. Ini toh sudah kali ketiga beliau menjalaninya. Dan lagi ini juga bukan pernikahan seorang anak perempuannya, jadi rasanya tidak akan terlalu merepotkan seperti layaknya pernikahan Mbakyu dulu itu. Namun kalau mengingat betapa perfeksionisnya Ayah saya itu, dan betapa keras kepalanya anak beliau yang satu ini, bukan berarti pengalaman yang dulu itu akan mengurangi terjadinya perdebatan tentang hal yang sama. Ya undangan itu. Bisa dipastikan, dalam beberapa hari ke depan, lagi-lagi saya akan sering cemberut, Ayah juga. Saya akan banyak mengomel, Ayah juga sama. Saya akan sering merasa jengkel, dan bisa jadi Ayah juga merasa kesal. Kalau sudah begini, pilihan untuk menolak saja permintaan mengurusi undangan akan jadi sangat menggiurkan. Tidak akan ada perdebatan yang terjadi antara saya dengan Ayah. Kami akan memiliki banyak waktu untuk membahas hal lain selain undangan itu, yang tentunya tidak akan memicu pertengkaran. Saya juga tidak akan lagi dipusingkan dengan segala urusan tetek-bengek persiapan pernikahan Mas Tolé. Jadi saya pun punya banyak waktu untuk melakukan hal yang saya sukai. Lalu, buat apa? Kalau saya bisa bersenang-senang, berbelanja, berjalan-jalan ke sana-kemari, menonton film ini-itu, toh akhirnya saya akan pulang kembali ke rumah. Kemudian menemukan Ayah, Ibu, dan Mas Tolé sedang resah mengurusi semua persiapan itu. Menemukan mereka semua tengah dilanda kegundahan dan kegelisahan, di rumah kami. Mana mungkin saya bisa gembira kalau begitu? Pada akhirnya, cara yang bisa dilakukan ya tinggal membantu mereka menyelesaikan semuanya. Melibatkan diri dengan segala urusan itu, walaupun mungkin akan memunculkan pertengkaran. Mungkin juga akan membuat saya jengkel, kesal, atau uring-uringan. Tapi buat saya, ya mungkin itulah cara mengungkapkan rasa sayang kepada mereka. Mencoba melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mereka, dengan segala konsekuensi yang mungkin akan terjadi. Yaa termasuk perdebatan dengan Ayah itu tadi. Kalau toh nantinya bertengkar, bukan berarti saya tidak menyayanginya, ‘kan?! Dan beliau juga pastinya tahu betul akan hal itu.
ADA 34 KOMENTAR:
waaah tampaknya sama-sama keras kepala, Ayah dan Anak
like father like daughter
anak bapaknya ya....(peace,peace... nduk)
mungkin harus cepet2 nyusul kawin kali mbak.. ehh nikah maksudnya.. hehe
bagaimana kalau undangannya dikirim via email saja? lebih ringkes dan cepet. :)
oh ya souvenirnya siapa yg ngurus?
Nanti kalau kamu kawin, siapa yang nulis undangannya ??
* Jangan lupa undang saya
makanya jangan kelamaan njomblo, jeung. jangan kebanyakan milih. langsung sergap aja, hahaha...
menarik melihat kondisi di belakang layar. ya sudah. nikmati saja tugas itu. kan (mudah-mudahan) hanya sekalinya untuk si mbakyu.
Halah ribet...hahaha
eh...Kapan menyusul...nikah maksudnya ?
NB : wis tak link sisan lah...
Aku melu ngenteni 'ketiban sampur' nya mbakDos aja. Barangkali berjodoh
(*pipi merah*)
nyang ngaku2 slf crew:
hush! jangan dibongkar di sini! nanti si bapak tau :P
iin:
kawin kok disusul?! ;D
kw:
saya gak berani mengusulkan ide itu. lha wong ayah saya itu tradisionil bin konpensional kok :P
mas iman:
maaaassss... masa iya aku kawin ngundang2 dirimu?? mentang2 sutradara, lalu per-kawin-anku hendak disyut gitu? isin tho! ;D
ndoro kakung:
lha trus kalok ndak dipilih, masa iya saya ambil seadanya?! panjenengan gitu, misalnya?! :D
pak budi:
doakan ya pak... *halah, mulai hiperbola! :P
wong kesambet:
lha nikah itu kok pake nyusul?! ;D
embun:
ketiban dapur? waduh... jangan! berat!
undangan pernikahan kayaknya memang lebih personal dan spesial bagi Bapak kepada rekan, teman atau kerabatnya.
Salah nama atau gelar bisa membuat yg diundang gak dateng :p
tambahi tulisan di undangan:
"kagak dateng, awas!!!"
Salam kenal bu Dos,
Saya juga punya pengalaman serupa, yaitu ngurusin nyetak label nama undangan.
Karena saya anak sulung, istri saya juga sulung, dan adik kami banyak, maka nama-nama undangan saya bikin di database.
Jadi kalau kelak ada adik saya yang mau nikah, tinggal bongkar lagi tu database. Paling cuma tinggal nambahin kenalan baru (malah bisa jadi berkurang karena dah ada yang meninggal hehe)
tambahin lagi biar lengkap:
"kagak dateng, awas!!!"
"Gue tunggu di pengkolan!"
*kabuur*
jadi kapan mbak dos? :D
wah jadi inget dulu pas nikah, yg paling ribet malah dandane---->>>terlalu banyak ponakan soale
banyak perdebatan kan sebetulnya banyak persamaan sifat, sama2 keras kepalane tho :D , salam
elmogran:
hehehe iya, akhirnya saya memang memahami yang satu itu :P
mbilung:
itu undangan khusus yang ditujukan pada panjenengan tampaknya ya ;D
yahya:
nah ya itu dia, pak! saya udah punya database juga sebenernya, tapi males niteni satu2 mana yang udah pindah, mana yang masih sama alamatnya, dst dst itu :P
btw, salam kenal juga...
elmogran lagi:
*timpuk pake undangan*
aprikot:
bulan depan, kok... eh, kawinan si kangmas kan maksudnya?! ;D
kenny:
wah, kalo masalah dandan, iya banget, budhe! lha jam 4 pagi aja masih ngantuk2 udah harus sanggulan.
persamaan sifat? hehehe *gak komen ah!* ;D
jadi pingin kawin lagi...
yang mau ngado cukup hosting gratis seumur hidup saja!
:D
klo perlu cari camer yang perfeksionis juga . . .
*siul2 . . . (maksud loooooooooooo)
wah, itu persis kayak sayah denger :
"Tik, anter Ibu kesini.."
wuih!!
persiapan mulai dari muter CD yang diputer, menahan kaki buat ndak ngebut, milih jalan super halus, milih jalur yang ndak banyak macet, milih nada suara super halus kalo ngomong, nyuci mobil dulu, milih baju super rapi, dan senyum terpasang sepanjang perjalanan..
itu aja masih harus ada ada protes : "aduuuhh... kenapa sih mobil ini berantakan? kamu gak beresin, Tik..??!!"
hhh..
*lemes nahan emosi*
mas slamet:
hah? kawin lagi? ya monggo lho, mas... :D
ebess:
modyar sayah! apalagi kalok perfeksionisnya kaya panjenengan, trus anaknya kayaaa... ;D
tikabanget:
ooohhh kirain pernah suruh kawin juga sama ibumu ;D
Besok mbak pas nikah pake EO aja. eh, eyangku klo gak diajakin ribut dan repot malah tersinggung lhoo..merasa tidak dilibatkan. aneh ya?
dina:
trus kenapa bukan si eyang aja yang jadi EO? :D
misi..
numpang lewat.
blognya bagus nih
saya dulu hobinya ngetik undangan temen :(. CUma kecipratan susahnya. Kapan nikah, mbakDOs?
hohoho saya jugak dari dulu ngurusi nikahan sodara sodara, situ enak mbak kebagian urusan undangan. saya dari dulu ngurusi supir dan sekuriti. ndak naik naik pangkat ya, ya gitu aja terus.. tante saya juga kebagian ngurusi katering dari saya esde sampe sekarang. dan sampe sekarang saya masih jeles sama tante saya yang kepala bagian katering itu, soalnya dia bisa jawil jawil makanan enak...
gak papa mbak... itung2 buat latihan ntar waktu ngurus nikah sendiri...
iya, sebaiknya cepetan nyusulin nikah aja... nanti pasti bertengkarnya lebih hebat lagi, gak cuma soal undangan aja.. hi..hi...
mbakdos menikah?
Tidaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkk.... dak dak dak dak.
patah hati dah. huhuhuhu
antown:
makasih :-)
pakDok:
kan nunggu antrian habis dirimu dulu ;D
bubba:
yaaa namanya IKUT ngurusi pernikahan orang lain sih ya tetep aja kurang enak kalo dibandingin ngurusi pernikahan sendiri kali ya ;D
sigit:
latian menikah?! *halah ngarep! :P
may's:
lhaa kalo yang mau disusulin adalah pertengkarannya, saya sih mendingan jalan di tempat aja ;D
bangsari:
lhooo jangan patah hatiii... masih ada si oom yang selalu menyenangkan hati orang lain bukankah?! ;D
Sabar ya Mba... nanti kalo Jeunk yang nikah pastinya... Lebih repot lagi... huahahahaha.. secara dirimu juga perfeksionis bukankah? hmmm... ga kebayang deh hebohnya. Jangan lupa ngundang2 ya?!? hehehe..
Hmmm....
Ga ngerti saya...
bisa ga kasih ringkasannya
waktu kemaren merit, cm pny waktu 7 minggu sejak lamaran, u mempersiapkan semuanya.
masalah undangan nih salah satu yg bikin puyeng. kesuwen...wes kirim via email ae :D
resiko menikah dgn persiapan mepet y gn ini, hihihi...
pengalaman memang mahal harganya...
paling ndak, mbak dos kan jadi berpengalaman menyiapkan pernikahan.
kalo soal undangan, bisa pesen saya... *halah ngiklan*
baru baca blog anda yang ini ( bersama bbrp blog anda sebelumnya ), melihat foto profile anda jauh lebih muda dr saya, tapi proses penelaahan hubungan keluarganya jauhhhh lbh tua dr saya. saya jadi tersadar, terima kasih banyak.