Kadung Trisno

Friday, April 28, 2006

I’m fine… Trully…

Kalau saya memutuskan untuk kembali ke ruang kerja ini, it means that I’m fine already… Yah, at least I’m trying. Sentimentil sesaat bukan hal aneh kok… Saya cukup sering mengalaminya setelah bertemu dengan El, seperti kemarin. Tapi karena saya pikir sudah cukup ber-mellow-mellow-nya, ya memang sebaiknya saya kembali lagi ke sini. Menemuimu.

Lalu ketika saya memasuki ruangan ini, kamu tahu apa yang begitu menyebalkan? Mereka sudah tidak menyediakan kopi kesukaan saya lagi! Masa berlakunya sudah habis. Sudah kadaluwarsa barangkali. Bukan kopinya, saya yakin. Dan mereka menawarkan saya jenis kopi baru yang… mendengar namanya saja sudah aneh. Terlebih ketika saya berusaha membayangkan apa jadinya jika buah-berbentuk-panjang-dan-berwarna-kuning dicampurkan ke dalam racikan kopi? Mmm… sebaiknya saya memesan option kedua dari minuman kesukaan saya saja.

Kantuk yang amat sangat tampaknya telah menghilangkan minat saya untuk mencoba hal-hal baru, seperti yang biasa saya lakukan. Saya sedang tidak ingin.

Entahlah… wawancara hari ini begitu melelahkan saya. Sepertinya bukan wawancaranya sendiri, tapi perjalanan dari rumah saya menuju ke kantor tempat saya diwawancara.

Bukan. Saya bukan artis. Mmm… mungkin belum. *wink*

Sebuah perusahaan telah memanggil saya untuk mengikuti proses wawancara pegawai baru. Beberapa minggu yang lalu saya memang mengirimkan lamaran untuk menjadi reporter psikologi. Sounds unusual, isn’t it? Reporter dan Psikologi. Saya pun baru mendengarnya. Saya juga baru tahu bahwa keduanya bisa disatukan.

Reporter… profesi yang sempat saya inginkan bukan main semasa saya masih duduk di bangku SMA. Membayangkan pekerjaan yang memberikan saya kesempatan untuk travelling, mengunjungi tempat-tempat baru, menemui orang-orang baru pula, terdengar menyenangkan. Belum terpikir resiko di balik semua itu, pastinya. Namun saya tidak sempat melanjutkan pendidikan ke jurusan yang memang mendukung profesi itu. Secara kala itu banyak kasus di mana para wartawan mati di ‘medan perang’ atau – yang lebih mengerikan lagi – hilang entah ke mana. Resiko yang terlalu besar, bahkan untuk dibayangkan.

Lalu tersasarlah saya ke Psikologi. Bidang abstrak, yang bahkan saya tidak tahu arti dari kata Psikologi itu sendiri, kala itu. Entah dapat wangsit dari mana, kok saya bisa-bisanya mendaftarkan diri ke jurusan itu, dan diterima! Saya toh harus kuliah, melanjutkan pendidikan. Kalau Psikologi yang ada, ya saya coba untuk menjalaninya saja. It’s worth to try, kok… Atau mungkin lebih tepatnya, it’ll be worthless not to try it. Jelas! Sekian belas juta sudah dihabiskan untuk membiayai pendidikan saya di situ, gilak juga kalau saya bahkan tidak mencicipinya sedikit.

Kegiatan cicip-mencicip ini menjadi kegemaran saya kemudian. Apalagi pada matakuliah-matakuliah aplikatif. Saya bahkan sempat bertanya, mengapa hanya boleh mengambil tujuh matakuliah semacam ini? Sementara saya ingin mempelajari semuanya…

Coba saja kamu bayangkan: Psikologi Kriminal dan Forensik, Psikologi Remaja, Psikologi Bermain, Psikologi Emosi, Grafologi, Stress Management, wah… saya sih mau-mau saja menunda kelulusan jika – sebagai gantinya – saya diperbolehkan mengambil semuanya. Dan benar memang. Ketika saya mencoba mengambil matakuliah semacam itu, saya jadi rajin bukan main. Saya tidak segan mengeluarkan usaha ekstra agar dapat memahami setiap materi yang diajarkan. Kalau sebagai hasilnya, saya mendapat nilai baik ya… it suppose to be, 'kan?!

Sebagai akibatnya, saya toh tetap harus menguasai teori-teori Psikologi untuk dapat memahami materi di matakuliah-matakuliah tersebut. Hal-hal teoritis semacam inilah yang sebenarnya tidak saya sukai. But there’s a price to pay. Saya menyukai matakuliah aplikatif, yang tidak mungkin dapat saya pahami jika saya tidak mengerti teori-teori Psikologi yang diberikan pada matakuliah teoritis. Ironic.

But once again, I should try it.

And you know what? Berbuntut celaka! Semakin saya mencoba mendalami hal-hal yang sangat Psikologis ini, membuat saya semakin mencintai bidang yang sama. Saya pikir hanya mengenal dan mengetahui saja cukup. Ternyata tidak. Jika sekarang saya diminta bekerja pun, saya lebih memilih untuk bekerja pada bidang Psikologi itu. Cinta mati mungkin. Yang mulanya berawal dari cicip-cicipan saja.


*Psssttt… tampaknya mbak barista yang barusan itu mendengar pembicaraan kita ya?! Makanya barusan dia memberikan sampel minuman baru: campuran kopi dengan buah-berbentuk-panjang-dan-berwarna-kuning itu pada kita. Berharap kita bisa menyukainya juga barangkali. Ah, si mbak bisa saja…

website page counter

ADA 1 KOMENTAR:

» Anonymous Anonymous:

Iku jenenge... witing trisno jalaran soko kulino nduk...

April 30, 2006 11:45 AM  

» Post a Comment

 

« Kembali ke TERAS