Wednesday, April 09, 2008
Jarum-jarum pada jam yang tergantung di dinding ruang makan sudah menunjuk ke angka delapan lebih sedikit. Sarapan yang disediakan Ibu sudah saya habiskan dari tadi. Tas berisi perlengkapan pun sudah siap diangkat.
Hanya dalam hitungan tidak sampai satu jam ke depan, acara class-meeting akan dimulai. Dan saya tidak ingin terlambat.
Bukan. Bukan karena saya merupakan salah satu peserta dalam pertandingan voli yang akan menjadi pertandingan pembukanya. Bukan juga karena pihak sekolah mengharuskan saya, sebagai siswa tingkat junior untuk mengikuti seluruh rangkaian acara.
Saya hanya tidak ingin membuang waktu yang sangat berharga untuk memandangi kakak-kakak kelas nan menawan. Semakin siang saya hadir dalam acara ini, maka kesempatan yang tersisa pun akan semakin sedikit, ‘kan?!
“Haduuuhh... lama amat sih?!”
“Lééé... ini lho, udah ditunggu adikmu...” seru Ibu, ikut-ikutan memanggil lantaran tidak tahan mendengar gerutuan dan wajah cemberut saya.
“Iya, iyaa...” sahutnya, sambil melangkahkan kaki turun meloncati beberapa anak tangga sekaligus.
“Lagian ngapain sih buru-buru? Wong kamu mainnya juga masih entar siang?!” lanjutnya.
Aarrrgghhhh!!! Benar-benar tidak pengertian!! Ya iya sih, mungkin kakak saya yang satu itu memang tidak terlalu punya kepentingan untuk menghadiri class-meeting. Selain karena jabatan Ketua OSIS yang secara tidak langsung mewajibkannya untuk hadir dan mengawasi anak-anak buahnya bekerja, rasanya tidak ada alasan lain. Dan sepertinya juga sudah tidak ada pertandingan yang hendak diikutinya. Entah, mungkin mulai merasa bosan setelah bertahun-tahun menyandang gelar bintang lapangan yang digilai wanita. Ah, situ bosan! Lha, siti...?! “Tapi jemput San dulu, ya?!” katanya tiba-tiba. Membuat saya segera menolehkan kepala mendengar nama itu disebutnya. Aduuhh... kenapa sih dia harus dijemput segala?! Memangnya gak bisa berangkat sendiri ya?! “Iyaaa... ya udah, buruan!” Saya pun segera menyambar tas yang masih teronggok di kursi dan segera menghambur keluar setelah berpamitan pada Ibu. Berulang kali saya membalik pergelangan tangan, terus menghitung menit yang masih tersisa. Sementara Mas Tolé memegang kemudi dan tetap memandangi jalanan di depan. “Mau masuk gak? Sebentar aja kok...” tanyanya sesaat setelah menghentikan laju kendaraan. “Nggak usah. Aku tunggu di sini aja.” Ia pun segera turun dari mobil dan masuk melintasi pagar rumah San. Benar. Tak lama, ia sudah keluar lagi dari sana bersama kekasihnya itu. Eh, lho... siapa itu di belakang mereka?! Itu ‘kan...? Ngapain dia ikutan juga?! “Dia ikut ya?!” kata Mas Tole, memberitahu, bukan meminta ijin. Saya diam saja. Seketika itu, saya langsung tahu maksud dari semua konspirasi ini. Mas Tolé sengaja mengajak saya berangkat bersama dengannya, lalu menjemput kekasihnya terlebih dulu sebelum kami menuju ke sekolah. Dan pria ini, diajaknya juga. Pasti dia dan San sudah tahu bahwa kami tengah bertengkar. Dan mereka bermaksud mendamaikan kami berdua. Pasti begitu! Dan memikirkan semuanya ini, membuat saya semakin jengkel. Mas Tolé, San, dan pria itu mulai membuka perbincangan. Membahas satu hal, lalu tertawa. Memperbincangkan hal yang lain, tertawa lagi. Menggosipkan teman mereka, yang kebetulan saya kenal juga, lalu kembali tertawa. Saya tetap diam. Seketika, saya mulai menyesal mengapa saya harus berpacaran dengan seorang pria yang notabene adalah sahabat Mas Tolé. Yang pada akhirnya membuat kakak saya itu, dan kekasihnya, turun tangan ketika menyadari bahwa sedang terjadi suatu masalah di antara kami berdua. “Kamu jadi ikut basket nanti?” tanya San. “Jadi,” jawab saya. “Duuhh... ini berdua malah diem-dieman aja,” lanjutnya sambil tertawa. Seperti tengah mencoba membuka percakapan antara saya dengan si pria di belakang itu. “Tau tuh... ada yang masih ngambek kayanya,” sahut pria itu sambil tertawa. Siapa yang ngambeekkk???? Gue gak ngambek! Gue marah tauukkk!!!! Sama looo!!! Mobil pun membawa kami semua memasuki halaman depan sekolah. Belum juga Mas Tolé berhasil memarkirkannya dengan sempurna, saya sudah membuka pintu dan meloncat keluar. Membanting pintunya dan bergegas melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung sekolah. Kepala saya berdenyut-denyut, degup jantung saya semakin memburu. Rasanya ingin meledak saja. Semua pertanyaan ikut berloncatan di dalam kepala. Sementara kemampuan saya untuk berpikir tiba-tibanya menurun dengan cepatnya. Saya hanya tahu bahwa saya harus segera menjauh dari mereka. Sebelas tahun kemudian, perasaan ingin meledak masih juga melanda saat saya kembali mengingat kejadian itu. Tapi kali ini, yang ingin meledak adalah rasa malunya Saya benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala saya waktu itu, sampai-sampai bisa sedemikian marahnya. Lalu kemarahan semakin menjadi-jadi ketika Mas Tolé dan San justru bermaksud untuk memperdamaikan saya dengan si pria (mantan) kekasih saya itu. Dan setelah kejadian itu, saya dan sang kekasih toh ternyata memang berbaikan kembali. Saya memang sangat kesal karena merasa Mas Tolé dan San telah mencampuri urusan pribadi saya. Mereka telah mengganggu privacy saya. Mereka telah masuk ke dalam area di mana mereka tidak seharusnya berada. Mereka memang adalah sahabat kekasih saya itu, tapi hubungan yang terjalin antara saya dengannya, ya bukan urusan mereka. Tapi rupanya, saya melupakan satu hal. Mereka berdua mungkin memang tidak sopan karena begitu saya melibatkan diri dalam permasalahan yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Ikut campur dalam permasalahan saya dan kekasih saya itu. Lalu jika mereka bermaksud membuat saya dan sang kekasih menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi itu, apa salah? Apapun yang mereka lakukan, pada akhirnya dilakukan untuk kebaikan saya juga, bukankah? Dan saat mengingat kembali tragedi membanting pintu mobil itu, saya pun berhenti bertanya-tanya kenapa kakak saya dan kekasihnya itu bisa mempertahankan status sebagai sepasang kekasih selama sebelas tahun lamanya. Mungkin... Mungkin karena apapun yang mereka lakukan, pada akhirnya juga dilakukan untuk kebaikan pasangannya. Sekalipun mungkin perilakunya menyebalkan dan mengesalkan, atau kata-kata dan ucapan yang menyakitkan hati. Dan pasangannya juga memahami makna di balik setiap hal yang tidak menyenangkan itu. Demi kebaikan mereka. Yaahh... pada akhirnya saya bisa mengerti. Kenapa Mas Tolé dan San tetap bisa bertahan menjadi kekasih bagi yang lainnya selama bertahun-tahun. Kenapa Mas Tolé selalu kembali lagi kepada kekasihnya itu, apapun yang terjadi. Kenapa kemudian saya bisa menyayangi San sebagai kakak saya sendiri, sekalipun awalnya membencinya setengah mati. Kenapa pada akhirnya saya juga merasa luar biasa senang saat mengetahui keputusan Mas Tolé untuk menikahi San.
Saturday, March 22, 2008
Tanpa sadar, saya segera menghela nafas panjang setelah mendengar Ayah mengucapkannya. Sepertinya saya harus kembali mengalami apa yang pernah terjadi dulu. Saat Mbakyu hendak menikah, sekitar tujuh tahun yang silam.
Sebagai anak tertua, perempuan pula, pastinya pernikahan Mbakyu harus dipersiapkan sesempurna mungkin. Terlebih jika mengingat bahwa kami memiliki seorang Ayah yang luar biasa perfeksionis, bisa dipastikan bahwa akan sangat banyak hal yang diurusi dalam rangka persiapan itu.
Dan sayalah yang kemudian ditenteng Ibu ke sana-kemari.
Mulai dari mendatangi penjual kain di Pasar Baru. Memilih kain yang akan digunakan untuk kebaya saya dan si Kriwil di kunjungan pertama, keluarga dari pihak Mbakyu maupun pihak si Mas di kunjungan kedua, juga untuk seluruh panitia yang akan terlibat, pada kunjungan-kunjungan berikutnya ke toko yang sama. Tentunya setelah sebelumnya melakukan perhitungan ini-itu mengenai berapa jumlah orang yang akan berkebaya.
Penjahit, menjadi sasaran kunjungan berikutnya. Dengan membawa kain-kain yang sudah dibeli itu, kami mengunjungi penjahit yang katanya biasa menghasilkan jahitan kebaya tanpa pernah mengecewakan para pelanggan.
Lalu menjumpai pemilik catering. Membaca dan meneliti baris-baris tulisan pada menu makanan yang disodorkan kepada kami. Menanyakan kepadanya mengenai nama makanan yang belum pernah kami dengar sebelumnya, sampai menu-menu andalan yang seringkali dipesan oleh para pelanggan mereka. Kunjungan pun diakhiri dengan membawa lembar menu di tangan untuk kemudian didiskusikan kembali setibanya kami di rumah.
Menemui Ibu perias, juga tentunya masuk ke dalam daftar yang harus kami lakukan. Sekaligus mendiskusikan tata cara pernikahan adat Jawa Tengah dengan salah seorang kerabatnya, yang paham betul dengan hal itu.
Sibuk berkeliling ke sana-kemari mencari ini-itu, memang merepotkan buat kami. Atau saya, tepatnya. Tapi yang membuat saya seringkali kelelahan, adalah karena masih harus menghadapi perdebatan yang terjadi berkaitan dengan persiapan pernikahan ini. Ibu dengan Ayah. Ibu dengan Mbakyu. Mbakyu dengan Ayah. Saya dengan Ayah. Saya dengan Mbakyu. Juga kangmas-kangmas lainnya. Dan undangan, merupakan salah satu sumber perdebatan terbesar. Antara saya dengan Ayah. Jumlah yang banyak, waktu yang sempit, membuat kami berdua sama-sama tertekan dengan permasalahan undangan itu. Saya, terus memikirkan waktu yang tersisa agar para penerima undangan tidak merasa bahwa tibanya undangan di tangan mereka hingga hari pernikahan Mbakyu terlalu mepet. Alhasil, saya pun seringkali mengetikkan nama dan alamat penerima undangan tersebut sesuai dengan apa yang saya baca pada daftar yang diberikan Ayah. Tanpa diperiksa lagi setelah masing-masing di-print dan siap untuk direkatkan pada undangan. Sementara Ayah, tidak ingin terjadi kesalahan pada penulisan nama dan gelar para penerima undangan. Sama sekali. Kurang satu gelar saja, saya harus mengulangi untuk mengetik dan menge-print lagi. Hal yang sama juga harus saya lakukan jika beliau menemukan bahwa saya menuliskan ‘Bpk.’ di bagian nama, padahal nama yang dimaksud itu dimiliki oleh seorang perempuan. Padahal pada undangannya juga sudah tercetak permintaan maaf jika terjadi kesalahan pada penulisan nama. Tapi kata-kata itu tidak berlaku buat Ayah. Bahkan tiba-tiba saja, setelah semua undangan dikirimkan, Ayah menelpon dari kantor untuk memberitahukan sejumlah nama tambahan yang hendak dikirimi undangan juga. Di mana saya tengah berada di dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan. Belum lagi ketika waktu hanya tersisa satu minggu menjelang hari pernikahan, sementara masih ada beberapa nama tambahan yang harus dikirimi undangan, tinta printer habis. Ayah kesal, marah-marah, mengeluhkan mengapa saya tidak mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Dan saya pun ikut murka. Rasanya ingin sekali meminta beliau membatalkan saja pernikahan Mbakyu itu. Tapi toh hal yang sama masih juga terjadi menjelang pernikahan Mas Jaliteng, tiga tahun kemudian. Mengurusi undangan masih saja menjadi sumber perdebatan antara saya dengan Ayah. Lalu ketika beberapa hari lalu mendengar permintaan beliau agar saya kembali mengurusi undangan pernikahan Mas Tolé yang akan dilangsungkan bulan depan, hhh... jadi saya harus mengulangi perdebatan yang sama?! Saya bisa saja menolak permintaan itu, sebenarnya. Dengan beralasan bahwa saat ini tengah sibuk berpraktek dan harus menyelesaikan laporan, tentu mau-tidak mau, Ayah pasti akan mengerti. Walaupun dengan segala kecemberutannya, ngomel-ngomel-nya, beliau akan bisa memaklumi. Tapi entah, saya sendiri tidak tahu kenapa saya tidak melakukannya. Bukannya memberikan berbagai alasan kenapa saya tidak bisa membantu, saya malahan mengangguk dan meng-iya-kan saja permintaan itu. Kalau dipikir-pikir, iya, Ayah mungkin akan mulai terbiasa dengan segala kesibukan menjelang pernikahan anak-anaknya. Ini toh sudah kali ketiga beliau menjalaninya. Dan lagi ini juga bukan pernikahan seorang anak perempuannya, jadi rasanya tidak akan terlalu merepotkan seperti layaknya pernikahan Mbakyu dulu itu. Namun kalau mengingat betapa perfeksionisnya Ayah saya itu, dan betapa keras kepalanya anak beliau yang satu ini, bukan berarti pengalaman yang dulu itu akan mengurangi terjadinya perdebatan tentang hal yang sama. Ya undangan itu. Bisa dipastikan, dalam beberapa hari ke depan, lagi-lagi saya akan sering cemberut, Ayah juga. Saya akan banyak mengomel, Ayah juga sama. Saya akan sering merasa jengkel, dan bisa jadi Ayah juga merasa kesal. Kalau sudah begini, pilihan untuk menolak saja permintaan mengurusi undangan akan jadi sangat menggiurkan. Tidak akan ada perdebatan yang terjadi antara saya dengan Ayah. Kami akan memiliki banyak waktu untuk membahas hal lain selain undangan itu, yang tentunya tidak akan memicu pertengkaran. Saya juga tidak akan lagi dipusingkan dengan segala urusan tetek-bengek persiapan pernikahan Mas Tolé. Jadi saya pun punya banyak waktu untuk melakukan hal yang saya sukai. Lalu, buat apa? Kalau saya bisa bersenang-senang, berbelanja, berjalan-jalan ke sana-kemari, menonton film ini-itu, toh akhirnya saya akan pulang kembali ke rumah. Kemudian menemukan Ayah, Ibu, dan Mas Tolé sedang resah mengurusi semua persiapan itu. Menemukan mereka semua tengah dilanda kegundahan dan kegelisahan, di rumah kami. Mana mungkin saya bisa gembira kalau begitu? Pada akhirnya, cara yang bisa dilakukan ya tinggal membantu mereka menyelesaikan semuanya. Melibatkan diri dengan segala urusan itu, walaupun mungkin akan memunculkan pertengkaran. Mungkin juga akan membuat saya jengkel, kesal, atau uring-uringan. Tapi buat saya, ya mungkin itulah cara mengungkapkan rasa sayang kepada mereka. Mencoba melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mereka, dengan segala konsekuensi yang mungkin akan terjadi. Yaa termasuk perdebatan dengan Ayah itu tadi. Kalau toh nantinya bertengkar, bukan berarti saya tidak menyayanginya, ‘kan?! Dan beliau juga pastinya tahu betul akan hal itu.
Saturday, March 15, 2008
Saya memang harus menempuh perjalanan ke Bandung pada jam 15.30 dan kembali tiba di rumah, yang notabene terletak di Jakarta, pada jam 02.30 dini hari.
Harus berdiri mengantri di depan pintu masuk gedung pertunjukan selama satu-setengah jam.
Harus bangun dari duduk sepanjang pertunjukan berlangsung, karena tiba-tiba saja begitu banyak penonton yang berdiri, merangsek ke depan panggung, dan menghalangi pandangan saya. Masih ditambah lagi pegalnya betis akibat mengenakan sepatu wedge-heels, yang tampaknya tidak seharusnya digunakan di saat seperti ini.
Dan juga masih harus merelakan waktu tidur yang hanya tersisa selama sekitar tiga jam, karena pada jam delapan pagi keesokannya sudah harus berdiri di depan kelas untuk mengajar.
Namun demikian, cinta saya pada Steve Lukather dan Leland Sklar tidak akan pernah tertandingi lah, pokoknya!
*foto oleh si Kriwil pada Toto Falling in Between Live World Tour 2008
Bandung, 14 Maret 2008, 8pm